Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Cerita di larut malam

Sandiwara radio di rri nusantara ii yogyakarta yang ditangani soemardjono sudah dimulai sejak tahun 1945 sedangkan rri jakarta, seksi drama dipegang oleh john simamora sejak 1960.(ter)

30 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPALA Stasiun Tugu, Yogyakarta, mengadakan perjalanan ke Jakarta. Di Purworejo, masih dalam kawasan Jawa Tengah ban mobilnya gembos. Untuk menambal ban tersebut harus dipotong. Tetapi tukang tambal tidak berani melaksanakannya sebelum minta ijin sesuai dengan sopan-santun Jawa. Tapi tatkala ia menanyakan bab pemotongan itu, Kepala Stasiun cepat-cepat menyela 'Nanti saja setelah sandiwara selesai! " Cerita kecil ini sudah lama terjadi. Soemardjono, dedengkot sandiwara radio yang bermukim di RRI Studio Nusantara II Yogyakarta, menceritakannya kembali kepada TEMPO untuk menunjukkan betapa besar pengaruh sandiwara radio pada masyarakat. Dengan budget Rp 12.500, siaran tetap yang di udara setiap Minggu malam setelah wartaberita pukul 10 tersebut ternyata sudah menyelusup dalam. Soemardjono yang sudah menulis sekaligus menyutradarai sekitar 500 buah naskah atau tema, menjadi tokoh penting di udara larut malam -- setidak-tidaknya dalam batas daerah Jawa Tengah. Sandiwara radio, pionir yang menghibur keluarga, mendahului layar perak dan tv, di Studio Nusantara II Yogya sudah dimulai sejak tahun 1945. Sekitar tahun 1945-1955 berdirilah "Keluarga Yogya" yang secara tetap mendukung pengudaraan cerita tersebut dalam bahasa Indonesia. Mula-mula waknunya hanya 45 menit. Sesuai dengan watak para pendent. di Yogyakarta yang terbiasa mendeng. kan ketoprak sampai semalam suntuk panjang sandiwara radio kemudian ditambah satu setengah sampai dua jam. Sekitar tahun 1966-1967 muncullah cerita "Katri" yang kemudian menjadi cerita paling berkesan digemari oleh begitu banyak orang, sampai sekarang. Hamlet Soemardjono yang kini berusia 48 tahun, tetap menjadi tulang punggung. Ia paling senang dengan tema-tema kekeluargaan. Selain menulis sendiri, ia juga sering menterjemahkan, menyadur atau diilhami oleh karya-karya besar dari khasanah lakon Mancanegara. Tersebutlah misalnya lakon "Hamlet" yang pernah dimainkannya di dalam sandiwara radio bahasa Jawa. "Literatur saat dunia kita bikin sedemikian rupa, di sesuaikan dengan keadaan di sini. Plot dan ide-ide yang kita ambil, sering menimbulkan kegemaran," kata Soemardjono. "Grup sandiwara radio Yogya, sekarang ini adalah grup tetap seperti keroprak," kata Soemardjono dengan sederhana. Ia memiliki sesuatu yang khas karena mempergunakan bahasa Jawa. Penggemarnya tidak terbatas pada kalangan tua, kaum muda dan para mahasiswa juga doyan. Bahkan meskipun udara sekarang disesaki oleh pemancar radio non-RRI, belum lagi kibasan layar tv -- toh sandiwara radio tidak ditinggalkan penggemarnya. Setiap lakon umumnya dimainkan oleh sekitar 5 orang. Para pemain ini banyak yang sudah punya nama di hati pendengar. Mereka tidak semuanya karyawan RRI. Mengingat keberhasilan dari sandiwara radio selain karena naskahnya juga karena nama-nama pendukungnya, sangat mengherankan juga bagaimana hanya dengan honor Rp 1.000 untuk setiap pemain, pertunjukan rutin ini masih bisa bertahan dengan kegetolan yang tidak luntur. Kepala Urusan Siaran TVRI stasiun Yogya, M. Habib Bari adalah seorang pemain sandiwara radio sejak 1963. Sekarang usianya 40 tahun. Tapi sejak dulu ia selalu kebagian peran orang gaek. Bukan karena potongannya yang kerempeng (yang tak kelihatan di radio, tapi karena intonasi dan sikapnya. Ia sendiri pernah melihat seorang tua diberi peranan tua malah tidak meyakinkan sebagai orang tua. Waktu mulai main tahun 1963, honor Habib hanya Rp 35. Tahun 1976 honornya sudah jadi Rp 300 untuk sekali siaran. Dalam cerita "Katri", Habib menjadi Ketua RK. Sampai sekarang, selang belasan tahun, masih ada saja yang menyebutnya "Pak RK". Kadang-kadang ada juga yang memanggilnya "Godril". Padahal ia sudah tidak aktip lagi sejak tahun 1976. Mengapa? Seseorang pernah mengusulkan kepada Habib agar menyerahkan tugasnya sebagai pemain sandiwara radio kepada orang lain. Habib setuju. Ia pikir itu sebagai tanda setidak-tidaknya satu orang sudah ada yang jemu dengan suaranya. Praktis Kalau di Yogya ada Soemardjono, di RRI Jakarta juga ada seorang raja. Namanya John Simamora. Setelah Moh. Rais Baheramsyah (sekarang di TV) dan Victor Tobing (sudah pensiun), kursi seksi drama dipegang oleh John sejak 1960. Bekas Mayor Angkatan Laut yang masuk RRI pada tahun 1952 ini, dua tahun lagi sudah masuk MPP. Tidak terhitung sandiwara radio yang sudah disutradarainya, yang muncul setiap Jum'at malam pukul 21.00 sampai 21.57. Berbeda dengan Yogya, sandiwara radio RRl Jakarta lebih mahal. Budgetnya Rp 50 ribu sekali produksi. Ada 3 macam sandiwara sampai sekarang. Selain sandiwara Jum'at yang berbahasa Indonesia, setiap hari Senin ada sandiwara bergilir bahasa daerah: Jawa, Sunda, Minang dan Betawi. Yang ketiga adalah sandiwara bersambung setiap hari dengan panjang 14 menit. Yang bersambung ini sekali siaran harganya Rp 26.500. Ketika tulisan ini diturunkan, cerita bersambung yang dibawakan berjudul "Butir-butir Pasir Laut". Disiarkan sejak 28 Pebruari 1977, kini cerita itu mencapai siaran ke 449. Diperkirakan pada siaran ke 460, jatuh 27 September 1978 ini, cerita yang mempermasalahkan keluarga berencana itu akan selesai. John membagi sandiwara radio itu menjadi 3 macam. Pertama yang sifatnya memperingati hari-hari tertentu. Kedua yang memberikan penerangan untuk menggalakkan pembangunan, dan kemudian yang merupakan hiburan. Dengan cekatan, kalau toh isinya penerangan, diusahakan tidak kehilangan unsur hiburannya. Sedangkan kalau memang hiburan tetap dipertahankan adanva misi tertentu. "Kami seteliti mungkin membaca naskah untuk menghindarkan hal-hal yang tak diinginkan," kata John. Barisan pemain datang dari karyawan RI sendiri antara lain: Olan Sitompul, Benny Hasyim, Arif Rustam, Hasti Askasari, Ning Suseno dan Mariati. Ada juga pemain luar, misalnya dari Sanggar Pratiwi - sebuah studio rekaman swasta (Katolik) yang aktif. "Belum tentu seorang penyiar bisa main sandiwara radio," kata John. Honornya tidak begitu besar, hanya sekitar Rp 2000 - Rp 4000. Untunglah rekaman biasanya dilakukan sesudah pukul 12.00 masih dalam jam kerja, jadi tidak memberatkan karyawan yang ikut terlibat. Sebagai sutradara, John mendapat honor Rp 10 ribu sekali siaran. Sebesar itu pula yang diterima oleh pengarang naskah. Tidak semua sandiwara yang direkam lancar. "Setelah rekaman, saya dengarkan lagi. Kalau saya anggap tidak baik, tidak jadi disiarkan," ujarnya tenang. Sebagai gantinya untuk mengisi acara rutin itu diangkatlah rekaman ulangan. Siaran ulangan juga seringkali dilakukan untuk memenuhi permintaan pendengar. Seorang ibu misalnya sempat mendengar buntut sebuah sandiwara. Ia tertarik, iapun menulis surat agar sandiwara itu diulangi. John sangat menghiraukan permintaan-permintaan semacam itu, meskipun tidak mengabulkan semuanya. Paling tidak dengan begitu ia tahu bahwa rakyat masih mendengarkan apa yang dikerjakannya, tidak hanya mendengarkan siaran dari radio non-RRI. "Orang lebih mudah menangis daripada ketawa," kata John. Ini berdasarkan pengalamannya bahwa ternyata lebih mudah bikin sandiwara yang sedih daripada yang lucu. Sementara itu ia lihat pula perkembangan apresisi pendengar terhadap sandiwara radio sudah meningkat. "Itu sebabnya sandiwara radio sekarang lebih praktis," ujarnya. Sebagai contoh, untuk peristiwa orang duduk, dulu harus diurut terlebih dahulu dengan suara kursi ditarik. Sekarang langsung saja. Ini membuat sandiwara menjadi lebih dinamis. Olan Bagi penggemar RRI lama, ada nama Raden Lingga Wisnu. Ia salah seorang penulis sandiwara radio yang paling aktif selama 17 tahun, antara 1950 - 1967. Sekitar 50 buah naskah digarapnya. Honor pertama yang diterimanya sebesar Rp 50 -- waktu itu sudah cukup untuk hidup seminggu. Pada tahun 1967 -- sebelum ia berhenti menulis karena masuk ke TVRI -- honornya naik sampai Rp 3000. Ia tidak berani memberikan komentar tentang sandiwara radio yang ada sekarang, terutama katena dirasanya "alirannya" berbeda. "Dulu lebih menekankan kepada khayalan, sekarang pada realitet. Centa horor tahun 50-an digemari, sekarang dikritik dianggap tidak mendidik," kata Lingga. Lalu apa kata pemainnya? Olan Sitompul yang terlibat dalam sandiwara radio sejak ia bekerja di RRI tahun 1963, mengatakan yang menyebabkannya larut adalah minat. Dari pemain. kini ia sudah beberapa kali menyutradarai. Meskipun sejak dahulu ia keluarga Teater Angkasa RRI Jakarta, ternyata ia sangat mengagumi sandiwara radio RRI Yogyakarta, Sampai sekarang tak habis herannya kenapa setiap kali pemilihan sandiwara radio terbaik (terakhir tahun 1967) yang menang selalu Jakarta. "Padahal Yogya punya naskah baik dan pemainnya sungguh-sungguh," kata Olan. Mungkin karena Yogya lebih bebas dari propaganda?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus