KEPALA Stasiun Tugu, Yogyakarta, mengadakan perjalanan ke
Jakarta. Di Purworejo, masih dalam kawasan Jawa Tengah ban
mobilnya gembos. Untuk menambal ban tersebut harus dipotong.
Tetapi tukang tambal tidak berani melaksanakannya sebelum minta
ijin sesuai dengan sopan-santun Jawa. Tapi tatkala ia menanyakan
bab pemotongan itu, Kepala Stasiun cepat-cepat menyela 'Nanti
saja setelah sandiwara selesai! "
Cerita kecil ini sudah lama terjadi. Soemardjono, dedengkot
sandiwara radio yang bermukim di RRI Studio Nusantara II
Yogyakarta, menceritakannya kembali kepada TEMPO untuk
menunjukkan betapa besar pengaruh sandiwara radio pada
masyarakat. Dengan budget Rp 12.500, siaran tetap yang di udara
setiap Minggu malam setelah wartaberita pukul 10 tersebut
ternyata sudah menyelusup dalam. Soemardjono yang sudah menulis
sekaligus menyutradarai sekitar 500 buah naskah atau tema,
menjadi tokoh penting di udara larut malam -- setidak-tidaknya
dalam batas daerah Jawa Tengah.
Sandiwara radio, pionir yang menghibur keluarga, mendahului
layar perak dan tv, di Studio Nusantara II Yogya sudah dimulai
sejak tahun 1945. Sekitar tahun 1945-1955 berdirilah "Keluarga
Yogya" yang secara tetap mendukung pengudaraan cerita tersebut
dalam bahasa Indonesia.
Mula-mula waknunya hanya 45 menit. Sesuai dengan watak para
pendent. di Yogyakarta yang terbiasa mendeng. kan ketoprak
sampai semalam suntuk panjang sandiwara radio kemudian ditambah
satu setengah sampai dua jam. Sekitar tahun 1966-1967 muncullah
cerita "Katri" yang kemudian menjadi cerita paling berkesan
digemari oleh begitu banyak orang, sampai sekarang.
Hamlet
Soemardjono yang kini berusia 48 tahun, tetap menjadi tulang
punggung. Ia paling senang dengan tema-tema kekeluargaan. Selain
menulis sendiri, ia juga sering menterjemahkan, menyadur atau
diilhami oleh karya-karya besar dari khasanah lakon Mancanegara.
Tersebutlah misalnya lakon "Hamlet" yang pernah dimainkannya di
dalam sandiwara radio bahasa Jawa. "Literatur saat dunia kita
bikin sedemikian rupa, di sesuaikan dengan keadaan di sini.
Plot dan ide-ide yang kita ambil, sering menimbulkan
kegemaran," kata Soemardjono.
"Grup sandiwara radio Yogya, sekarang ini adalah grup tetap
seperti keroprak," kata Soemardjono dengan sederhana. Ia
memiliki sesuatu yang khas karena mempergunakan bahasa Jawa.
Penggemarnya tidak terbatas pada kalangan tua, kaum muda dan
para mahasiswa juga doyan. Bahkan meskipun udara sekarang
disesaki oleh pemancar radio non-RRI, belum lagi kibasan layar
tv -- toh sandiwara radio tidak ditinggalkan penggemarnya.
Setiap lakon umumnya dimainkan oleh sekitar 5 orang. Para pemain
ini banyak yang sudah punya nama di hati pendengar. Mereka tidak
semuanya karyawan RRI. Mengingat keberhasilan dari sandiwara
radio selain karena naskahnya juga karena nama-nama
pendukungnya, sangat mengherankan juga bagaimana hanya dengan
honor Rp 1.000 untuk setiap pemain, pertunjukan rutin ini masih
bisa bertahan dengan kegetolan yang tidak luntur.
Kepala Urusan Siaran TVRI stasiun Yogya, M. Habib Bari adalah
seorang pemain sandiwara radio sejak 1963. Sekarang usianya 40
tahun. Tapi sejak dulu ia selalu kebagian peran orang gaek.
Bukan karena potongannya yang kerempeng (yang tak kelihatan di
radio, tapi karena intonasi dan sikapnya. Ia sendiri pernah
melihat seorang tua diberi peranan tua malah tidak meyakinkan
sebagai orang tua.
Waktu mulai main tahun 1963, honor Habib hanya Rp 35. Tahun 1976
honornya sudah jadi Rp 300 untuk sekali siaran. Dalam cerita
"Katri", Habib menjadi Ketua RK. Sampai sekarang, selang belasan
tahun, masih ada saja yang menyebutnya "Pak RK". Kadang-kadang
ada juga yang memanggilnya "Godril". Padahal ia sudah tidak
aktip lagi sejak tahun 1976. Mengapa? Seseorang pernah
mengusulkan kepada Habib agar menyerahkan tugasnya sebagai
pemain sandiwara radio kepada orang lain. Habib setuju. Ia pikir
itu sebagai tanda setidak-tidaknya satu orang sudah ada yang
jemu dengan suaranya.
Praktis
Kalau di Yogya ada Soemardjono, di RRI Jakarta juga ada seorang
raja. Namanya John Simamora. Setelah Moh. Rais Baheramsyah
(sekarang di TV) dan Victor Tobing (sudah pensiun), kursi seksi
drama dipegang oleh John sejak 1960. Bekas Mayor Angkatan Laut
yang masuk RRI pada tahun 1952 ini, dua tahun lagi sudah masuk
MPP. Tidak terhitung sandiwara radio yang sudah disutradarainya,
yang muncul setiap Jum'at malam pukul 21.00 sampai 21.57.
Berbeda dengan Yogya, sandiwara radio RRl Jakarta lebih mahal.
Budgetnya Rp 50 ribu sekali produksi. Ada 3 macam sandiwara
sampai sekarang. Selain sandiwara Jum'at yang berbahasa
Indonesia, setiap hari Senin ada sandiwara bergilir bahasa
daerah: Jawa, Sunda, Minang dan Betawi. Yang ketiga adalah
sandiwara bersambung setiap hari dengan panjang 14 menit.
Yang bersambung ini sekali siaran harganya Rp 26.500. Ketika
tulisan ini diturunkan, cerita bersambung yang dibawakan
berjudul "Butir-butir Pasir Laut". Disiarkan sejak 28 Pebruari
1977, kini cerita itu mencapai siaran ke 449. Diperkirakan pada
siaran ke 460, jatuh 27 September 1978 ini, cerita yang
mempermasalahkan keluarga berencana itu akan selesai.
John membagi sandiwara radio itu menjadi 3 macam. Pertama yang
sifatnya memperingati hari-hari tertentu. Kedua yang memberikan
penerangan untuk menggalakkan pembangunan, dan kemudian yang
merupakan hiburan. Dengan cekatan, kalau toh isinya penerangan,
diusahakan tidak kehilangan unsur hiburannya. Sedangkan kalau
memang hiburan tetap dipertahankan adanva misi tertentu. "Kami
seteliti mungkin membaca naskah untuk menghindarkan hal-hal yang
tak diinginkan," kata John.
Barisan pemain datang dari karyawan RI sendiri antara lain:
Olan Sitompul, Benny Hasyim, Arif Rustam, Hasti Askasari, Ning
Suseno dan Mariati. Ada juga pemain luar, misalnya dari Sanggar
Pratiwi - sebuah studio rekaman swasta (Katolik) yang
aktif. "Belum tentu seorang penyiar bisa main sandiwara radio,"
kata John. Honornya tidak begitu besar, hanya sekitar Rp 2000 -
Rp 4000. Untunglah rekaman biasanya dilakukan sesudah pukul
12.00 masih dalam jam kerja, jadi tidak memberatkan karyawan
yang ikut terlibat.
Sebagai sutradara, John mendapat honor Rp 10 ribu sekali siaran.
Sebesar itu pula yang diterima oleh pengarang naskah. Tidak
semua sandiwara yang direkam lancar. "Setelah rekaman, saya
dengarkan lagi. Kalau saya anggap tidak baik, tidak jadi
disiarkan," ujarnya tenang. Sebagai gantinya untuk mengisi acara
rutin itu diangkatlah rekaman ulangan.
Siaran ulangan juga seringkali dilakukan untuk memenuhi
permintaan pendengar. Seorang ibu misalnya sempat mendengar
buntut sebuah sandiwara. Ia tertarik, iapun menulis surat agar
sandiwara itu diulangi. John sangat menghiraukan
permintaan-permintaan semacam itu, meskipun tidak mengabulkan
semuanya. Paling tidak dengan begitu ia tahu bahwa rakyat masih
mendengarkan apa yang dikerjakannya, tidak hanya mendengarkan
siaran dari radio non-RRI.
"Orang lebih mudah menangis daripada ketawa," kata John. Ini
berdasarkan pengalamannya bahwa ternyata lebih mudah bikin
sandiwara yang sedih daripada yang lucu.
Sementara itu ia lihat pula perkembangan apresisi pendengar
terhadap sandiwara radio sudah meningkat. "Itu sebabnya
sandiwara radio sekarang lebih praktis," ujarnya. Sebagai
contoh, untuk peristiwa orang duduk, dulu harus diurut terlebih
dahulu dengan suara kursi ditarik. Sekarang langsung saja. Ini
membuat sandiwara menjadi lebih dinamis.
Olan
Bagi penggemar RRI lama, ada nama Raden Lingga Wisnu. Ia salah
seorang penulis sandiwara radio yang paling aktif selama 17
tahun, antara 1950 - 1967. Sekitar 50 buah naskah digarapnya.
Honor pertama yang diterimanya sebesar Rp 50 -- waktu itu sudah
cukup untuk hidup seminggu. Pada tahun 1967 -- sebelum ia
berhenti menulis karena masuk ke TVRI -- honornya naik sampai Rp
3000. Ia tidak berani memberikan komentar tentang sandiwara
radio yang ada sekarang, terutama katena dirasanya "alirannya"
berbeda. "Dulu lebih menekankan kepada khayalan, sekarang pada
realitet. Centa horor tahun 50-an digemari, sekarang dikritik
dianggap tidak mendidik," kata Lingga.
Lalu apa kata pemainnya? Olan Sitompul yang terlibat dalam
sandiwara radio sejak ia bekerja di RRI tahun 1963, mengatakan
yang menyebabkannya larut adalah minat. Dari pemain. kini ia
sudah beberapa kali menyutradarai.
Meskipun sejak dahulu ia keluarga Teater Angkasa RRI Jakarta,
ternyata ia sangat mengagumi sandiwara radio RRI Yogyakarta,
Sampai sekarang tak habis herannya kenapa setiap kali pemilihan
sandiwara radio terbaik (terakhir tahun 1967) yang menang selalu
Jakarta. "Padahal Yogya punya naskah baik dan pemainnya
sungguh-sungguh," kata Olan. Mungkin karena Yogya lebih bebas
dari propaganda?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini