Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Cerita tentang Raja Dunia Maya

Sebuah film tentang bagaimana Mark Zuckerberg menciptakan Facebook. Layak meraih Oscar.

7 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REVOLUSI dunia maya ini dimulai dari hati yang pecah berkeping-keping.

Di sebuah malam yang sial, Mark Zuckerberg (Jesse Eisenberg), mahasiswa jenius Universitas Harvard, bertengkar dengan sang pacar, Erica Albright (Rooney Mara). Mark melemparkan puluhan topik secara acak dan berbicara dengan cepat, dengan bola mata yang tak terfokus pada lawan bicaranya. Erica, mahasiswa yang tak kalah cerdas, dengan tangkas membalas semua celotehan Mark. Tapi lama-kelamaan Erica jengkel. Mark sungguh obsesif ingin bergabung dengan salah satu final club (kelompok sosial di kampus yang eksklusif khusus untuk mahasiswa lelaki). Erica tak tahan. Posisi kelompok eksklusif yang sudah berabad usianya itu kini sudah dikritik tidak hanya karena eksklusifnya, tapi juga karena kegiatan-kegiatannya yang diskriminatif. Bagi Erica, mahasiswa sejenius Mark tak perlu bergabung dengan kelompok konyol itu. Erica memutuskan hubungan mereka saat itu juga dan meninggalkan Mark yang tercengang.

Meski pasangan itu terlihat sama-sama pandai, ternyata tingkat kematangan emosi Mark masih labil. Begitu dia dicampakkan, kepingan hatinya bertebaran di lorong-lorong kampus Harvard. Dan setibanya di kamar asrama, dia menghajar mantan kekasihnya melalui Internet dengan kalimat kasar seperti, ”Erica adalah seorang bitch (anak anjing) berdada rata….”

Tak cukup menghina mantan kekasih, Mark menciptakan permainan Facemash yang mengundang siapa saja untuk memilih dan menyusun nama-nama perempuan di kampus sesuai dengan seberapa cantik dan seksinya mereka. Kemampuan Mark untuk bisa menembus, mengupas, dan menggebrak, atau istilahnya dalam dunia maya ”hacking”, ke server kampus menggegerkan kampus Harvard. Para mahasiswi dan dosen murka oleh permainan Mark. Dia dipanggil dan diinterogasi otoritas kampus dan diganjar hukuman akademis enam bulan. Artinya, jika selama enam bulan itu melakukan hal yang sama, Mark akan dikeluarkan.

Tapi, untuk seorang jenius seperti Mark, ancaman itu tak membuatnya gentar. Kalimatnya kepada pihak keamanan Internet dan intranet kampus Harvard bahwa ”harus kau akui, saya berhasil merobek benteng pertahanan kalian” membuat para dosen terdiam. Itu memang benar.

Hanya dalam bilangan beberapa menit, Mark menjadi mahasiswa yang namanya keren dan terkemuka di kampus Harvard. Perempuan mulai melirik, meski dia tetap dingin dan asyik dengan dunianya sendiri. Tiga mahasiswa senior dari kalangan elite, si kembar Cameron dan Tyler Winklevoss (keduanya diperankan oleh Armie Hammer) dan Divya Narendra (Max Minghella), menyadari nilai kemampuan sang jenius. Kuliah teknologi informasi yang diikuti Mark terlalu mudah hingga sang dosen membiarkan Mark meninggalkan kelas kapan saja. Trio Winklevoss dan Divya Narendra menawari Mark menciptakan program bernama HarvardConnection, yang memungkinkan mahasiswa Harvard berkenalan dan berkawan di dunia maya (mengingat kampus Harvard luar biasa gigantik). ”Mereka yang ingin berkenalan cukup mengajukan request, dan yang diminta tinggal menekan tombol approve atau decline,” kata Cameron.

Tentu saja kita mengenal ini sebagai cikal-bakal Facebook yang kini sudah mendunia. Tapi saat itu trio Winklevoss dan Narendra hanya berniat mencari cewek sesama Harvard belaka. Mark menyatakan bersedia bergabung dalam proyek mereka. Namun diam-diam Mark mengembangkan program itu sendirian, dan mengajak Eduardo Saverin (Andrew Garfield) untuk mencemplungkan US$ 1.000 sebagai investasi awal. Saverin setuju dan dia diangkat sebagai mitra bisnis. Maka ide awal tentang HarvardConnection yang masih mentah dimatangkan oleh Mark menjadi The Facebook. Demikianlah nama awal jaringan sosial yang kini sudah menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari itu.

Dalam waktu singkat, The Facebook menjadi bintang kampus-kampus elite Amerika Serikat selain Harvard. Tentu saja itu membuat trio Winklevoss-Narendra berang. Tuntutan perdata mereka itulah yang membuka film ini. Sutradara David Fincher (Se7en, Zodiac) dengan sigap bolak-balik antara adegan pengadilan perdata dan kesaksian Mark tentang bagaimana Facebook bisa berkembang menjadi fenomena.

Mark menghadapi dua tuntutan yang berbeda: dari trio Winklevoss-Narendra, yang merasa punya andil dalam pembentukan Facebook, dan dari mitra bisnisnya sendiri, Eduardo Saverin, yang belakangan disingkirkan dari kepemilikan saham setelah Mark bertemu dengan Sean Parker (Justin Timberlake dengan penampilan yang keren), yang mencarikan investor untuk Facebook. Adalah Parker yang mengusulkan agar Mark membuang kata ”The” agar ”Facebook terasa lebih langsing dan keren”.

Film ini sudah pasti masuk nominasi berbagai kategori dalam Academy Awards tahun depan: sutradara, skenario, film, pemeran utama, dan pemeran pendukung. Skenario yang sangat matang dengan dialog yang cerdas mampu membangun karakter Mark Zuckerberg, si jenius yang dingin, acuh tak acuh, tapi sesungguhnya menyimpan rasa kasih sayang kepada Erica. Dia hanya tak tahu bagaimana membuang kemarahannya. Mark dalam film ini memang tak selalu tampil positif, karena dia bisa menjadi seorang lelaki yang licin, yang tak peduli dengan loyalitas kawan.

Memang ada kontradiksi karakter Mark dalam film ini. Tokoh Mark Zuckerberg dalam hidup nyata mengaku tak pernah tertarik bergabung dengan kelompok eksklusif kampus Harvard. Dan saya percaya pernyataan itu karena karakter seperti Mark tak membutuhkan pengakuan kelompok-kelompok elitis yang hanya mengandalkan nama dan uang keluarga.

Tapi penulis skenario Aaron Sorkin (A Few Good Men, The American President, Charlie Wilson’s War, dan serial terkenal The West Wing) merasa membutuhkan sebuah alasan kuat bagi karakter ini untuk membangun pertengkaran yang hebat antara Mark dan sang kekasih. Kegiatan kelompok Phoenix sengaja dibuat sebagai kontras bagaimana kelompok elite itu beroperasi di kampus dan bagaimana mahasiswa geng komputer seperti Mark melekat dengan layar laptop dan membangun dunia sendiri.

Kehebatan lain adalah tampilnya Justin Timberlake sebagai seorang lelaki flamboyan, pencari investor yang gemar pesta, narkoba, dan perempuan. Timberlake menampilkan sosok Sean Parker dengan tepat dan pas, sehingga kita tak lagi melihat dia sebagai seseorang dalam industri musik.

Namun yang paling menonjol dari seluruh film ini tentu saja Jesse Eisenberg, yang berhasil menampilkan seorang Mark Zuckerberg, mahasiswa keriting yang sesekali hanya mengenakan sandal, yang luar biasa cerdas, arogan, dan tak terlalu peduli dengan tata krama (itulah sebabnya agak aneh jika karakter seperti ini ingin betul masuk kelompok eksklusif yang kerjanya lebih banyak berpesta dan mengorganisasi ritual yang dungu).

Film The Social Network mengakhiri 2010 dengan bukti: dua nama besar seperti David Fincher dan Aaron Sorkin justru bisa kawin dan menghasilkan karya emas.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus