Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA kita perhatikan, pada 2010 ini banyak diproduksi pertunjukan drama musikal. Sebut saja Gita Cinta dari SMA dari Ari Tulang, kemudian Diana karya Garin Nugroho, serta yang akan datang Laskar Pelangi oleh Riri Riza dan kawan-kawan. Pada 28-29 Oktober yang lalu, Naomi Srikandi mementaskan teater musikal Medea Media di aula Jogja National Museum, Yogyakarta.
Gagasan menggarap naskah Yunani klasik Medea karya Euripides ini berawal dari keinginannya mengaitkan kisah Medea dengan situasi aktual yang belakangan sering hadir dalam berita, yakni tentang ibu yang membunuh anaknya sendiri. Sebagai sutradara, Naomi menjadikan fenomena maraknya kisah semacam ini di media massa sebagai sebuah cara pandang untuk menggarap naskah klasik ini.
Dari sana, ia tertarik menggarap program televisi populer seperti talk show dan reality show sebagai pijakan. Dengan pilihan semacam ini, para aktor memang dituntut jadi serba bisa. Untunglah, Naomi bekerja dengan aktor senior seperti Erythrina Baskorowati dan Verry Handayani (keduanya secara bergantian berperan sebagai Medea) serta Jamaluddin Latif (sebagai Raja Kreon). Dua aktor lainnya adalah Ozzy Fauziah (narator) dan Muhammad Nur Qomaruddin (sebagai Jason, suami Medea). Sepanjang pertunjukan, di panggung hadir pula The Big Band pengiring pertunjukan, yang digawangi Risky Summerbee.
Selama kurang-lebih 80 menit, kepada penonton disajikan suasana studio televisi. Penonton seolah-olah sedang menyaksikan produksi sebuah program acara. Imaji video dikerjakan oleh Woto Wibowo dan set panggung digarap Novi Kristinawati. Woto menghadirkan gagasan yang menarik: alih-alih menggunakan proyektor sebagaimana sebagian besar pertunjukan multimedia, ia memilih menghadirkan tiga layar kaca berukuran cukup besar.
Penonton seperti dihadapkan pada lapis-lapis kenyataan yang berbeda, antara berada dalam realitas panggung teater, realitas produksi program televisi, dan set yang seolah-olah membuat mereka berada di rumah menonton televisi. Bahkan, ketika pertunjukan belum dimulai, disediakan ruang tunggu, tempat penonton bisa menyaksikan acara televisi yang dibuat sebagai bagian dari pertunjukan ini.
Tampak sutradara mengaitkan Medea dalam ranah kajian perempuan. Sayangnya, Naomi lebih banyak menekankan Medea dalam perspektif korban, bukan menempatkannya dalam kerangka subyek yang berdaya, sebagaimana teks teater aslinya.
Teks ini diambil dari tulisan Hainer Muller, yang dulu diterjemahkan oleh Toto Sudarto Bachtiar. Selama proses, para aktor kemudian mengadaptasi teks ini dalam bentuk musikal. Penonton selalu dibawa berpindah dari teks teater ke teks sehari-hari.
Pilihan semacam ini memang menuntut kemampuan yang lebih dari aktor untuk bermain dengan peran yang terus berpindah, dengan keterampilan bermain di antara gaya realis dan gaya teater tubuh serta musikal. Tuntutan ”serba bisa” inilah yang saya kira masih terasa kedodoran pada beberapa aktor, sehingga membuat pertunjukan ini terasa kurang renyah. Lebih jauh lagi, pada bagian-bagian yang didasarkan pada teks teater, terasa aktor kurang bisa menyelami makna kalimatnya, sehingga artikulasinya terdengar kurang terpahami.
Bagaimanapun, pertunjukan yang merupakan bagian dari program Empowering Women Artists dari Yayasan Kelola ini punya potensi melahirkan satu gaya baru dalam perkembangan teater kita. Ini merupakan sebuah upaya awal yang harus terus dilanjutkan.
Alia Swastika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo