ADA dua pelukis Indonesia yang karyanya banyak ditiru angkatan
berikutnya Basuki Abdullah, dan Affandi (72 tahun). Memang tak
hanya dua itu. Tapi Sudjojono misalnya, boleh dikatakan hanya
diikuti di akhir tahun-tahun 40-an -- ketika belum banyak
pelukis kita yang keluar negeri, belum banyak buku seni lukis
Barat yang masuk dan akademi seni rupa baru akan berdiri.
Dari "pengikut" Affandi, nama yang pertama muncul tentulah
Kartika (45 tahun), puterinya -- yang kebetulan 20-31 Maret ini
pameran tunggalnya diselenggarakan di TIM. Secara fisik cepat
bisa disebut persamaan dengan Affandi itu goresan langsung dari
tube yang meliuk-liuk dan tebal, atau sapuan cat kasar hasil
usapan langsung dengan tangan. Tapi juga jelas perbedaannya.
Nampaknya Kartika membentuk obyek dengan kontur, dan goresan
hanya menjadi semacam ornamen. Sementara pada karya bapaknya
goresan itulah yang membentuk. Juga suasana yang dicerminkan
Affandi menggelora, goresan dan sapuan catnya merupakan potret
emosi. Sementara Kartika terasa tenteram, hanya memotret obyek
meski caranya memotret bergaya Affandi.
Gaya Affandi, barangkali sebutan itulah yang tepat untuk lukisan
yang seperti karya Affandi. Soalnya mereka memang bukan menganut
konsep kesenian Affandi -- hanya gayanya saja. Baik Kartika
atau beberapa lagi seperti Sjahri, Darjono, OH Supono, Roelijati
Dan Soewarjono, Koestijah Edi Soenarso, Nyoman Gunarsa, Men
Sagan, atau sejumlah pelukis yang menitipkan lukisannya di
galeri-galeri atau toko seni di Bali.
Tapi itulah yang bisa dilakukan pelukis kita kalau mau belajar
dari karya seni lukis kita sendiri. Soalnya, sejarah seni rupa
kita tidak berjalan lurus dari isme satu ke isme yang lain.
Melainkan sejarah para senimannya sendiri. Mungkin karena seni
rupa modern Indonesia masih muda -- baru sekitar 40 tahun.
Mungkin juga karena yang dilakukan seniman seni rupa kita hanya
mencari bentuk ekspresi pribadi, bukan membuat gerakan -- meski
sebuah gerakan, isme, dalam sejarah seni rupa Barat bukan pula
sengaja dibuat.
Yang perlu ditekankan kemudian bukannya mutu karya-karya bergaya
Affandi itu. Tapi bahwa mereka mampu muncul dengan ciri
masing-masing. Karya Nyoman Gunarsa misalnya, lebih jarang
meninggalkan bidang kanvas tanpa goresan atau sapuan. Pono,
warna-warna yang digunakan lebih kelam. Roelijati, lebih banyak
goresan kwasnya. Darjono terasa paling menghormati bentuk tak
banyak distorsi yang dilakukan.
Dari semua itu tiba-tiba saja terbayang yang disebut seni lukis
Indonesia dengan lebih tegas. Di waktu semua orang menyayangkan
bahwa kita selalu melihat ke sarat, adanya sekelompok orang yang
melihat ke karya pelukis kita sendiri memberi gambaran adanya
seni rupa kita dengan lebih meyakinkan. Dan lebih dari apa yang
disebut "cokotisme", karya-karya bergaya Affandi yang punya ciri
masing-masing itu memberi ketegasan bahwa mereka tidak sekedar
meniru. Anak-cucu Cokot (TEMPO 24 Maret 1979) belun melahirkan
ciri-ciri pribadi itu.
Mungkinkah kemudian tersusun sebuah konsep "afandiisme"?
Mungkinkah dari mereka yang affandiis itu ada yang mampu
melahirkan karya-karya yang, selain tetap berciri pribadi,
juga melebihi atau paling tidak menyamai karya Affandi?
Ada yang aneh dalam karya seni rupa kita. Karya-karya itu
seolah berdiri sendiri-sendiri. Sulit mencari hubungan antara
karya Sudjojono dengan karya Achmad Sadali arau Dede Eri Supria,
misaluya. Kalau karya-karya itu tersusun dakm sebuah sejarah
seni rupa, satu-sarua yang bisa dijadikan pegangan hayalah tahun
karya itu dibuat.
Nah. Yang bisa dibentuk kalau ada ompok-kelompok -- seperti
kelom-ok gaya affandi misalnya -- adalah mata rantai.
Kelompok-kelompok ini pada alirannya akan membentuk apa yang
diharap beberapa orang sejarah seni rupa Indonesia yang jelas.
Dalam konteks itu, ternyata tidak cukup menciptakan karya seni
hanya berdasar baik untuk. Dibutuhkan pula kaitan dengan
karya-karya yang lain -- kalau kita menang ingin memberikan
citra seni rupa kita dengan lebih tegas. Hingga tak perlu ada
pertentangan sudah adakah seni rupa Indonesia atau belum.
Affandiisme sebutlah begitu -- beserta cokotisme dan lain-lain,
siapa tahu bisa membentuk citra itu.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini