Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Belum muncul jagoan

Pameran seni grafis belum mendapat perhatian seperti seni lukis. tim banyak menampilkan seni grafis dari luar. bisa diproduksi lebih dari satu & semuanya karya asli. biaya untuk mengelola tidak ada. (sr)

31 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENI grafis memang belum mendapat perhatian yang ramai -- seperti seni lukis. Itu dikatakan sendiri oleh Ajip Rosidi dalam pembukaan Pameran Generasi Grafis 6571 di Galeri Baru TIM, 13 Maret ini. Tapi dibanding dengan tahun-tahun lalu memang pameran grafis meningkat. Di TIM saja, kalau dulu pameran grafis selalu menampilkan karya-karya grafis seniman luar negeri, kini seniman kita sendiri yang tampil -- baik dalam pameran campuran maupun khusus karya grafis. Sejarah seni grafis Indonesia dimulai oleh Baharuddin M.S. dan Mochtar Apin. Ketika zaman revolusi mereka berdua membuat cukilan-cukilan kayu bertemakan perjuangan Tahun 50-an. Suromo terkenal dengan ilustrasi dan vinyet-vinyetnya dalam majalah kebudaaan yang dibuat dengan teknik cukilan kayu atau lino (semacam karet keras berbentuk lempengan). Kemudian banyak pelukis kita yang juga menghasilkan karya grafis Zaini, Nashar, Sriyani, Oesman Effendi, Widayat. Tapi mereka hanya mengerjakan teknik grafis yang sederhana saja cukilan kayu atau lino. Lagipula, kerja grafis tersebut agaknya dianggap sebagai kerja sampingan -- yang pokok melukis. Baru ketika Seni Rupa ITB membuka jurusan grafis, 1965, lahirlah grafikus-grafikus yang memang khusus mempelajari seni grafis Kaboel Soeadi, Sutanto, Haryadi Soeadi. Melihat teknik-teknik grafis yang tidak sederhana, misalnya teknik cetak saring (semacam sablon, etsa (mengukir pada lempeng tembaga) atau cetak batu (lithografi) sepertinya memang grafis memerlukan sofistikasi dalam tekniknya daripada melukis. Pertama-tama karya grafis tidak bisa langsung dilihat hasilnya. Yang bisa dilihat langsung adalah klisenya -- dan tentu saja itu bukan karyanya meski dari klise itulah lahir karya-karya grafisnya. Decenta Maka, yang disebut kontrol agak susah dikerjakan. Dengan kata lain, seni grafis lebih membutuhkan perencanaan yang cermat, lebih membutuhkan 'pengaturan' emosi. Pelukis-pelukis yang biasa mengandalkan kespontanan -- yang mengandalkan emosi daripada pemikiran guna melahirkan karya-karyanya -- biasanya tidak cocok dengan seni grafis. Apalagi kalau kita ingat di Indonesia belum ada atau belum biasa dengan cara kerja menggunakan pekerja-pekerja tekniknya. Maksudnya senimannya hanya membuat rencana dan penyelesaian akhir saja, yang lain-lain dikerjakan pekerja teknik itu. Di kita, masih harus dikerjakan senimannya sendiri dari awal sampai akhir. Mungkin proses pencetakannya baru bisa diberikan kepada orang lain. Tak mengherankan kalau TIM yang berdiri 1968 itu, baru 1971 menampilkan karya grafis kita sendiri -- itu pun bukan dalam pameran khusus grafis. Coba bandingkan, pameran khusus karva grafis di TIM sejak 1969-1978 yang karya luar negeri ada 20 acara lebih. Sementara yang dari kita baru sekali. Baru 1975 tampil grup 'Decenta' dari Bandung khusus memamerkan karya grafis. Padahal TIM pernah mendirikan Galeri Grafis, April 1973. Tapi tak bisa hrrahan lama. Biasa, alasannya biaya untuk mengelola itu tak ada. Tapi apa sih, keuntungan grafis? Bisa anda lihat di pameran grafis 13 - 2 Maret ini. Terutama teknik cetak saring, sangat memungkinkan segala ide muskil-muskil bisa diwujudkan menjadi karya piktorial. Misalnya, mencampur foto-foto dengan goresan, menghadirkan gambar pita kaset kusut secara persis dan lain-lain. Juga harga, karena grafis ini bisa diproduksi lebih dari satu dan semua karya dianggap karya asli, lebih murah dari lukisan. Tentu saja perkembangan grafis tak bisa lepas dari perkembangan seni rupa sendiri. Pada waktu seni rupa menghargai tinggi kespontanitasan, menghargai tinggi brush stroke (sapuan kwas), grafis sulit berkembang. Kini, setelah Seni Rupa Baru membuktikan bahwa seni bisa berbentuk yang bagaimana saja, jalan menjadi terbuka. Toh, belum ada yang benar-benar muncul sebagai jagoan grafis. Mungkin bisa disebut sebagai calon jagoan nama-nama seperti Haryadi atau Prijanto atau Tanto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus