SENI grafis memang belum mendapat perhatian yang ramai --
seperti seni lukis. Itu dikatakan sendiri oleh Ajip Rosidi dalam
pembukaan Pameran Generasi Grafis 6571 di Galeri Baru TIM, 13
Maret ini. Tapi dibanding dengan tahun-tahun lalu memang pameran
grafis meningkat. Di TIM saja, kalau dulu pameran grafis selalu
menampilkan karya-karya grafis seniman luar negeri, kini seniman
kita sendiri yang tampil -- baik dalam pameran campuran maupun
khusus karya grafis.
Sejarah seni grafis Indonesia dimulai oleh Baharuddin M.S. dan
Mochtar Apin. Ketika zaman revolusi mereka berdua membuat
cukilan-cukilan kayu bertemakan perjuangan Tahun 50-an. Suromo
terkenal dengan ilustrasi dan vinyet-vinyetnya dalam majalah
kebudaaan yang dibuat dengan teknik cukilan kayu atau lino
(semacam karet keras berbentuk lempengan).
Kemudian banyak pelukis kita yang juga menghasilkan karya grafis
Zaini, Nashar, Sriyani, Oesman Effendi, Widayat. Tapi mereka
hanya mengerjakan teknik grafis yang sederhana saja cukilan kayu
atau lino. Lagipula, kerja grafis tersebut agaknya dianggap
sebagai kerja sampingan -- yang pokok melukis.
Baru ketika Seni Rupa ITB membuka jurusan grafis, 1965, lahirlah
grafikus-grafikus yang memang khusus mempelajari seni grafis
Kaboel Soeadi, Sutanto, Haryadi Soeadi.
Melihat teknik-teknik grafis yang tidak sederhana, misalnya
teknik cetak saring (semacam sablon, etsa (mengukir pada
lempeng tembaga) atau cetak batu (lithografi) sepertinya memang
grafis memerlukan sofistikasi dalam tekniknya daripada melukis.
Pertama-tama karya grafis tidak bisa langsung dilihat hasilnya.
Yang bisa dilihat langsung adalah klisenya -- dan tentu saja itu
bukan karyanya meski dari klise itulah lahir karya-karya
grafisnya.
Decenta
Maka, yang disebut kontrol agak susah dikerjakan. Dengan kata
lain, seni grafis lebih membutuhkan perencanaan yang cermat,
lebih membutuhkan 'pengaturan' emosi. Pelukis-pelukis yang biasa
mengandalkan kespontanan -- yang mengandalkan emosi daripada
pemikiran guna melahirkan karya-karyanya -- biasanya tidak cocok
dengan seni grafis.
Apalagi kalau kita ingat di Indonesia belum ada atau belum biasa
dengan cara kerja menggunakan pekerja-pekerja tekniknya.
Maksudnya senimannya hanya membuat rencana dan penyelesaian
akhir saja, yang lain-lain dikerjakan pekerja teknik itu. Di
kita, masih harus dikerjakan senimannya sendiri dari awal sampai
akhir. Mungkin proses pencetakannya baru bisa diberikan kepada
orang lain.
Tak mengherankan kalau TIM yang berdiri 1968 itu, baru 1971
menampilkan karya grafis kita sendiri -- itu pun bukan dalam
pameran khusus grafis. Coba bandingkan, pameran khusus karva
grafis di TIM sejak 1969-1978 yang karya luar negeri ada 20
acara lebih. Sementara yang dari kita baru sekali. Baru 1975
tampil grup 'Decenta' dari Bandung khusus memamerkan karya
grafis. Padahal TIM pernah mendirikan Galeri Grafis, April 1973.
Tapi tak bisa hrrahan lama. Biasa, alasannya biaya untuk
mengelola itu tak ada.
Tapi apa sih, keuntungan grafis? Bisa anda lihat di pameran
grafis 13 - 2 Maret ini. Terutama teknik cetak saring, sangat
memungkinkan segala ide muskil-muskil bisa diwujudkan menjadi
karya piktorial. Misalnya, mencampur foto-foto dengan goresan,
menghadirkan gambar pita kaset kusut secara persis dan
lain-lain. Juga harga, karena grafis ini bisa diproduksi lebih
dari satu dan semua karya dianggap karya asli, lebih murah dari
lukisan.
Tentu saja perkembangan grafis tak bisa lepas dari perkembangan
seni rupa sendiri. Pada waktu seni rupa menghargai tinggi
kespontanitasan, menghargai tinggi brush stroke (sapuan kwas),
grafis sulit berkembang. Kini, setelah Seni Rupa Baru
membuktikan bahwa seni bisa berbentuk yang bagaimana saja, jalan
menjadi terbuka. Toh, belum ada yang benar-benar muncul sebagai
jagoan grafis. Mungkin bisa disebut sebagai calon jagoan
nama-nama seperti Haryadi atau Prijanto atau Tanto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini