TOPI koboi, baju linen kotak-kotak, dentingan banjo, dan lengkingan yodel menguasai World Trade Centre, Senin malam yang lalu. Semua yang hadir serasa berada di pegunungan Alabama. Dengan cengkok yang khas, mirip Dolly Parton, Vera Ferial --biduanita asal Ujungpandang -- membawa penonton yang cuma seratusan orang itu, marak. Dalam suatu kesempatan wawancara dengan TEMPO, Remy Silado menyebutkan, "Musik pop Indonesia kiblatnya, ya, Country," sambil menyanyikan Patah Hati milik Rachmat Kartolo yang sangat populer di tahun 60-an, disambungnya dengan Don't Sell Daddy Anymore Whiskey, yang juga kondang di era yang sama. "Cengkoknya mirip," kata Remy. Perkembangan musik pop Indonesia juga tak lepas dari kiblatnya itu. Di awal 70-an, boleh dibilang, di Indonesia cuma ada satu nama: Koes Ploes, untuk musik pop -- sementara di sana, ada Everly Brothers yang punya warna sama. Bee Gees pun dijiplak Panbers. "Pop model Rinto sekarang pun, masih sama harmoninya dengan Country tahun 60-an itu," kata Remy, pengamat musik yang sedang menyusun ensiklopedi musik itu. Musik Country yang sedemikian besar pengaruhnya itu, sebenarnya berakar dari musik balada imigran Inggris, pada masa awal perintisan Amerika. Mereka yang terasing, di kelilingi gunung, di tengah prairi yang luas, menciptakan musik yang dekat dengan alam. Suara ayunan kapak dan senandung untuk teman memetik kapas, juga menjadi bagian musik mereka. Lenguhan sapi pun diterjemahkan menjadi yodel yang semakin membuat khas. Lantas imigran-imigran itu bercerita tentang apa saja, dengan musik. Perceraian, perantauan, dan berbagai peristiwa yang mereka hadapi sehari-hari, tak terkecuali yang menyangkut Tuhan. Dalam perkembangannya, akhirnya musik ini sampai juga ke dapur rekaman di awal tahun 1920-an. Pemusik-pemusik "udik", seperti John Carson, Gid Tarner, Riley Pucket mengawali debut musik Country sebagai musik komersil. Di Nashville, Tennessee, sebuah studio radio memantapkan kedudukan musik ini. Pertunjukannya, Grand Ole Opry, menjadikan musik Country memasyarakat. Dan Nashville pun kemudian menjadi pusat rekaman dan 'ibu kota' musik Country. Sejalan dengan zaman, variasi pun muncul. Di tahun 30-an, ciri koboi semakin kuat dengan munculnya Gene Autry. Bintang film ini bernyanyi tentang gunung-gunung dan alam Amerika yang membuat musik Country mendapat predikat Western. Maka kondanglah Western Country. Lalu berikutnya muncul kelompok Bluegrass, dengan Bill Monroe sebagai pentolan, yang membuat ciri baru, dengan kocokan gitar dan banjo yang lebih menyentak. Bluegrass kemudian dianggap sebagai sempalan baru musik Country. Alat musik yang semakin serba listrik tak membuat para musisi Country berubah banyak. Cuma, bass listrik diterima menggantikan kontra bass. Gitar dan banjo juga ketularan listrik. Jadilah Country seperti sekarang. Meskipun demikian, masih banyak yang memainkan 'Bluegrass' dengan alat-alat akustik -- yang sekarang malah disebut Country yang tradisional. Di Indonesia, tak banyak orang yang memainkan musik Country, dalam bentuknya yang asli. Paling mereka yang mengisi panggung hotel atau tempat minum -- itu pun masih harus bersaing ketat dengan Jazz. Maka cukup mengejutkan juga ketika ada kabar bahwa Vera Ferial, 28 tahun, lolos seleksi untuk mengikuti Fan Fair, sebuah festival Country paling akbar di Nashville. "Vera satu-satunya wakil dari Asia," kata Anto W. Sumartono, manajer Vera. Fan Fair tahun ini berusia delapan belas. Tahun lalu, festival yang berlangsung di tengah terik matahari musim panas itu, dihadiri lebih dari 23.000 orang. Pada 6 Juni nanti, Vera akan menyanyi diiringi musisi Nashvile dalam Talent Show yang khusus menampilkan musisi Country dari luar Amerika. "Itu sebabnya seleksinya ketat sekali," Anto menimpali. "Orang bilang, suara saya pas untuk Country," kata Vera. Ia baru setahun berkenalan dengan musik koboi ini. Menyanyi sejak tahun 1976, sampai sekarang sudah 8 album yang dihasilkannya, semuanya pop dan tak terlalu sukses di pasar. Masuknya Vera ke Country, diawali perkenalannya dengan Anto yang kebetulan membina 3 kelompok pemusik Country. Ketika dibilang pas, ia pun tertarik. "Cuma susah kalau mengandalkan Country untuk cari duit," kata gadis Ujungpandang ini. Maka, ia masih sering menerima tawaran menyanyi pop di berbagai panggung. Jika Country String -- kelompok yang juga dikelola Anto -- manggung, barulah ia meneriakkan yodel sambil mengenakan jeans ketat dan topi koboi. Dalam jambore "pribumi" Senin malam itu, Vera-lah yang jadi primadona. Boleh dibilang, kelompok lain masih amatiran. Penampilan mereka juga semakin diperburuk tata panggung dan tata suara yang pas-pasan. Kelompok Country Music Association misalnya, tak memperdengarkan apa-apa, selain suara musik yang terlalu keras, dengan suara penyanyi yang tenggelam. Tapi itu tak penting. Jambore yang diadakan bersama oleh Ikapari (Ikatan Pariwisata Indonesia) dan Pusat kebudayaan Amerika itu, memang bukan untuk berhebat-hebat. Lebih banyak untuk hura-hura, dan menikmati bagaimana penonton spontan menari di kursinya setelah mendengar lengkingan Vera. Sayang, tanpa bir yang mestinya bisa membuat penonton semakin merasa berada di gunung-gunung Lousiana.Yopie Hidayat dan Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini