SEBELUM Profesor Herbert Simon memberikan ceramah di Institut Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI), Januari cilam, dia bertanya ada saya. "Apakah pernah ada yang mengusulkan agar jumlah pembayaran bung dan cicilan utang ditetapkan maksimum sekian persen dari ekspor?" kata pemegang Hadiah Nobel Ilmu Ekonomi itu. Jawab saya, "Sudah, dan yang mengucapkan itu adalah Presiden Garcia dari Peru." Presiden Garcia, 40 tahun, di awal masa pemerintahannya menegaskan bahwa dia hanya bersedia memberikan 10% saja dari penerimaan ekspor Peru untuk pembayar angsuran utang luar negeri berikut bunganya. Dalam kenyataannya, dia sulit melaksanakan keputusan itu. Betapapun, Peru tetap membutuhkan impor barang yang dibayar dengan devisa. Devisa tidak akan mengalir bila Peru tak bersedia membayar kewajiban membayar utang seperti yang dikehendaki negara kaya maupun bank-bank internasional pemberi utang. Yang terjadi kemudian adalah perundingan demi perundingan, keputusan ad-hoc yang dilanjutkan dengan ketetapan ad-hoc lainnya. Peru memperoleh sebagian dari devisa yang dikehendaki, tapi ia harus membayar utang lamanya, khususnya bunga utang, melebihi jumlah yang semula ditetapkan Presiden Garcia. Sementara itu, devisa itu sendiri didapat dan keringanan pembayaran dan utang baru. Bila rakyat Peru memilih presiden baru pada 1990, apa yang dihasilkan Presiden Garcia jauh dari mencukupi untuk mendapatkan mandat baru baginya. Pertumbuhan ekonomi Peru amat rendah. Soal utang tidak lebih baik dari ketika Presideri Garcia mulai memerintah. Contoh Peru bisa dilanjutkan ke berbagai negara Amerika Latin dan sebagian negeri Afrika. Utang mirip buah simalakama. Kalau ia dibayar, pertumbuhan ekonomi jadi rendah. Jika tidak dibayar, pembangunan yang memerlukan impor nyaris terhenti. Sebuah buku mengenai utang negara sedang berkembang dan ekonomi dunia (Developing Country Debt and the World Economy) yang disusun National Bureau of Economic Research (NUBER) dan diterbitkan oleh University of Chicago Press, penting untuk disimak. Buku terbitan 1989 ini disunting oleh Profesor Jeffrey D. Sachs dari Harvard University (menurut majalah Economist, dia merupakan salah seorang calon pemenang Nobel Ekonomi di masa datang). Buku ini menyajikan 8 studi negara berikut komentar dari studi kasus itu dan topik-topik khusus yang dianggap penting oleh penyunting. Dua puluh tujuh pengarang -- sebagian besar ekonom ternama (Rudiger Dornbusch, Stanley Fisher, Barry Eichengreen, Albert Fishlow. Paul Krugman) -- turut menyumbangkan karangan yang sarat dengan academic rigour. Tapi, menurut saya, kurang pendalaman ekonomi politik yang seyogyanya menjadi pendekatan pokok dalam membahas utang luar negeri berikut cara-cara pendekatan atau pengendaliannya. Saya sengaja tidak menyebut "pemecahannya", tapi memakai kata "pengendalian" atau "pendekatan", karena "pemecahan" agaknya lebih merupakan utopia ketimbang hal yang mungkin dicapai. Kasus yang bagi kita menarik untuk dibahas adalah studi tentang utang luar negeri Indonesia, ditulis oleh Prof. Wing Thye Woo dari University of California, Davis dengan Dr. Anwar Nasution dari FEUI. Studi yang lebih teknis dan panjang dari mereka, dengan eksposisi ekonometri akan muncul dalam waktu dekat. Artikel mereka ini cukup menarik arena kesimpulan dan prospeknya mengingatkan kita kembali tentang pentingnya macroenonomic management, yang dalam ekonomi yang terbuka secara khusus mengandung nilai strategis pada exchane-rate management, atau pengelolaan dan pengendalian nilai tukar mata uang. Studi mereka hanya sampai 1986, sehingga akibat dahsyat dari yendaka di tahun 1987-1988 tidak tercakup. Kita tahu, peningkatan kurs yen terhadap dolar Amerika untuk tahun anggaran 1987-1988 telah meningkatkan utang kita US$ 1,1 milyar. Kesimpulan penting dan mereka yang mencoba menjelaskan kenapa utang Indonesia tidak mencapi tahap krisis seperti Meksiko adalah tingginya Orientasi ekspor Indonesia. Orientasi ekspor di sini dihitung dari rasio ekspor terhadap Produksi Nasional Bruto (GNP) yang untuk Indonesia di masa 1980-1982 rata-rata 27%. Pada kurun waktu yang sama, Meksiko mencatat angka 14% dan Brasil 9,5%. Jadi, orientasi ekspor dari ekonomi dan nilai tukar yang realistis dari rupiah terhadap mata uang asing, khususnya US$, merupakan faktor utama yang membuat utang luar negeri Indonesia tak mencapai tingkat krisis seperti negara-negara Amerika Latin. Segi-segi lain yang dikemukakan kedua pengarang persis seperti yang dilaksanakan pemerintah. Penekanan spending dan peningkatan pajak, kebijaksanaan moneter yang mengendalikan tingkat inflasi, anggaran berimbang dan peningkatan lembaga-lembaga keuangan (Paket Oktober 1988 dan Paket Desember 1988). Mereka juga membahas pentingnya penghapusan monopoli impor (Paket November 1988) serta perluasan ekspor di sektor tree-crop. Dalam diskusi Forum Ekonom TEMPO medio 1988, saya mengeluarkan gagasan agar dalam budget setidak-tidaknya dicegah adanya net resource outflow. Artinya, jangan sampai jumlah pembayaran bunga dan cicilan utang melebihi penerimaan utang baru pada tahun anggaran yang sama. Hal tersebut mencolok pada APBN 1988-89. Tetapi dalam APBN 1989-90 kendati ia juga terjadi, jumlah utang baru (Rp 11 trilyun lebih) mendekati jumlah pembayaran bunga dan cicilan utang (sedikit di atas Rp 12 trilyun). Kini, saya punya usul tambahan. Bagaimana bila secara maksimum Debt Service Ratio (DSR) atau rasio bunga + cicilan utang terhadap ekspor nonmigas + ekspor netto migas (jadi telah dikurangi laba perusahaan asing di sektor minyak dan LNG) ditetapkan maksimum 30%. Situasi sekarang adalah 35%-40% dan Indonesia ingin menguranginya menjadi 25% di akhir Pelita V. Untuk bisa melaksanakan penetapan maksimum pembayaran 30% dari DSR, diperlukan berbagai upaya politik dan ekonomi teknis pada tingkat internasional dan IGGI/IMF maupun di tingkat regional. Kalau negara seperti Indonesia, yang telah melaksanakan prudent macro-economic policies dan terus-menerus meningkatkan momentum deregulasi tidak mendapat "ganjaran" seperti itu (30% DSR sebagai maximum payment of debt), maka apakah beda antara good boy dan bad boy? * Saat ini penulis adalah visiting scholar pada Harvard Institute far International Development, Harvard University, Amerika Serikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini