21 September yang lalu, tengah hari, di salah sebuah ruangan
gedung Badan Sensor Film (BSF) di Jakarta, lampu selama sekitar
2« jam gelap. Di pintu ruang pemutaran terpasang tulisan
"Kopkamtib". Di dalamnya film Yang Muda Yang Bercinta, karya
sutradara Sjuman Djaja, sedang diputar. Yang menonton film siang
itu adalah Pangkopkamtib Laksamana Sudomo dan Kaskopkamtib
enderal Yoga Sugama, disertai beberapa perwira tinggi Hankam
yang lain.
Hari itu nasib film yang pernah dihebohkan sejak April yang lalu
itu memang akhirnya diputuskan oleh suatu tim tingkat tinggi.
Seusai pertunjukan, Yang luda dinyatakan bebas. Film ini boleh
diputar untuk seluruh wilayah Indonesia.
Sebenarnya, memang itu pula keputusan Badan Sensor Film, 15
April 1978. Oleh sidang pleno yang dihadiri oleh 18 anggota,
hari itu Yang Muda dinyatakan "lolos" dengan pemotongan
"drastis".
Namun riwayat film ini memang panjang. Kisahnya bermula di awal
April. Dinas intel rupanya sudah mencium bahwa film yang
disutradarai Sjuman Djaja dengan bintan utama penyair protes
Rendra ini bisa dinilai "panas". Seorang pejabat Hankam yang
duduk di Badan Sensor pun menanyakan apakah film sudah masuk
untuk disensor.
Belum Dinilai
Film itu baru masuk 11 April. Segera esok sorenya, bahkan
sebelum film itu secara resmi dipertimbangkan oleh anggota
sensor, sekitar 20 anggota satuan tugas intelijen Hankam diberi
kesempatan menonton di ruangan pertunjukan. Tidak jelas, apakah
kepada mereka diberikan keterangan, bahwa film yang baru
ditonton itu sama sekali belum dinilai oleh tim Badan Sensor.
Penilaian memang baru dilakukan 13 April sore Yang menilai --
seperti biasa -- tiga orang dari BSF. Rupanya setelah duduk
hampir tiga jam dalam gelap menyaksikan film yang panjang itu,
ketiga anggota BSF (tokoh pendidikan Moh. Said, pelukis dan
pejabat tinggi P & K Abas Alibasyah dan Letkol drs. Sunarjo
dari Hankam) tak bisa merumuskan pendapat yang sepakat. Maka
sesuai dengan prosedur, film itu harus dibawa ke sidang pleno.
Seluruh anggota BSF pun diundang untuk menentukan penilaiannya:
apakah film ini ditolak, atau diloloskan dengan potongan. Atau
sama sekali O.K.
Pemungutan suara akhirnya menentukan bahwa film itu boleh
beredar, untuk 17 tahun ke atas, tapi harus dipotong di beberapa
adegan. Pihak produser bernafas lega lebih baik begitu ketimbang
dilarang sama sekali. Tapi tak dinyana, suatu keputusan lain
diluar BSF rupanya berlangsung.
3 Mei, Laksus Pangkopkamtibda Jakarta Raya menulis sepucuk surat
kepada Gubernur Kepala Daerah. Isinya diminta agar film itu
dilarang beredar di seluruh bioskop dalam wilayah DKI Jakarta
Raya. Gubernur Tjokropranlo setuju. Delapan hari kemudian, ia
menyurati antara lain pengurus Gabungan Pengusaha Bioskop di
Jakarta. Diberitahunya bahwa YangMuda tak boleh diputar di
wilayah ibukota.
Ada yang menilai, larangan itu adalah akibat salah faham.
Implikasinya ialah dugaan, bahwa Badan Sensor tidak berbuat
apa-apa terhadap "kenakalan" film itu.
Wibawa BSF
Untuk menjernihkan itu (maklumlah, wibawa dan wewenang Badan
Sensor dan Departemen Penerangan agak terkena karenanya) Yang
Muda pun diputar sekali lagi. 15 Mei, film itu dalam versi yang
sudah dicukur disajikan ke hadapan Laksusda Kopkamtibda Jaya
beserta staf, para wakil badan intel, dan Muspida DKI Jakarta
Raya, termasuk Kadapol. Selain itu, diputarkan juga
adegan-adegan yang "terlarang". Biar ada perbandingan, kata
seorang pejabat Deppen.
Setelah itu, 2 Juni Dirjen Radio, TV dan Film mengirim surat ke
alamat Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Keputusan BSF 15 April
konon dikutip lagi, dan disebutkan bahwa keputusan itu disetujui
oleh para pejabat yang telah menonton film yang tergunting itu.
Diminta pula agar Kopkamtib dapat membantu agar film itu dapat
beredar di wilayah Republik Indonesia. Maklumlah, waktu itu
sudah terdengar beberapa Laksusda di luar Jakarta ikut
memaklumkan larangan mereka kepada film ini, yang sebenarnya
masih tersimpan di gulungannya di Jakarta.
Menyusul surat Dirjen itu, tak kurang dari Menteri Penerangan
Ali Moertopo sendiri yang menjelaskan tujuh hari kemudian di
depan DPR bahwa YangMuda memang sudah dinyatakan lolos oleh BSF.
Penegasan Menteri itu merupakan tanda bagi BSF, bahwa dalam hal
film itu mereka "sudah selesai dengan tugas dan wewenangnya"
Pemutaran 21 September itu karenanya bukan atas prakarsa BSF
lagi. Pihak Kopkamtib rupanya hendak mengadakan pengambilan
keputusan final.
Dan keputusannya memang cocok dengan keputusan BSF. Tak ada
pemotongan baru. Setelah 5 kali harus ditonton oleh sejumlah
pejabat, kesalah-fahaman yang diduga telah terjadi antara
instansi, pun jadi pungkas. Siapa yang tak lega?
Sutradara Sjuman Djaja yang baru mulai sembuh dari sakitnya yang
berat, beberapa saat setelah heboh Yang Muda, juga kini senang.
Dengan 18 menit dihilangkan, film itu kini toh masih sepanjang 2
jam 30 menit.
Pemotongan oleh BSF bagi Sjuman "tentu mengganggu, cuma secara
keseluruhan, baik jalan cerita dan isinya tak berubah." Yang
berubah dari Yang Muda kini adalah: berkurang tajamnya. Tapi,
kata Sjuman pula, "kalau orang sebelumnya tak tahu bentuk
utuhnya, kemudian melihat basil sensor, ia tak akan merasa ada
yang dipotong."
Seorang yang pernah melihat kedua versi itu memang bisa melihat
hilangnya kontinyuitas film di beberapa tempat. Ada dialog dan
musik yang mendadak muncul. Seorang tokoh BSF bahkan
menganjurkan agar Sjuman memperbaiki filmnya yang cacad ini.
Tapi seorang aktor Yang Muda malah gembira dengan hasil
pemotongan. Yang dipotong terutama bagian Rendra berpidato dan
bersajak berapi-api, katanya. "Dengan itu," kata sang aktor,
"film kembali ke kerangka cerita semula yang ditulis Umar Kayam,
sebuah cerita sederhana."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini