Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dan kopkamtib pun bilang, "boleh"

Heboh tentang sensor film "yang muda yang bercinta" akibat kesalahpahaman antara badan sensor film & kopkamtibda jakarta raya telah selesai dan kopkamtib memutuskan film tersebut boleh beredar di indonesia.

7 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

21 September yang lalu, tengah hari, di salah sebuah ruangan gedung Badan Sensor Film (BSF) di Jakarta, lampu selama sekitar 2« jam gelap. Di pintu ruang pemutaran terpasang tulisan "Kopkamtib". Di dalamnya film Yang Muda Yang Bercinta, karya sutradara Sjuman Djaja, sedang diputar. Yang menonton film siang itu adalah Pangkopkamtib Laksamana Sudomo dan Kaskopkamtib enderal Yoga Sugama, disertai beberapa perwira tinggi Hankam yang lain. Hari itu nasib film yang pernah dihebohkan sejak April yang lalu itu memang akhirnya diputuskan oleh suatu tim tingkat tinggi. Seusai pertunjukan, Yang luda dinyatakan bebas. Film ini boleh diputar untuk seluruh wilayah Indonesia. Sebenarnya, memang itu pula keputusan Badan Sensor Film, 15 April 1978. Oleh sidang pleno yang dihadiri oleh 18 anggota, hari itu Yang Muda dinyatakan "lolos" dengan pemotongan "drastis". Namun riwayat film ini memang panjang. Kisahnya bermula di awal April. Dinas intel rupanya sudah mencium bahwa film yang disutradarai Sjuman Djaja dengan bintan utama penyair protes Rendra ini bisa dinilai "panas". Seorang pejabat Hankam yang duduk di Badan Sensor pun menanyakan apakah film sudah masuk untuk disensor. Belum Dinilai Film itu baru masuk 11 April. Segera esok sorenya, bahkan sebelum film itu secara resmi dipertimbangkan oleh anggota sensor, sekitar 20 anggota satuan tugas intelijen Hankam diberi kesempatan menonton di ruangan pertunjukan. Tidak jelas, apakah kepada mereka diberikan keterangan, bahwa film yang baru ditonton itu sama sekali belum dinilai oleh tim Badan Sensor. Penilaian memang baru dilakukan 13 April sore Yang menilai -- seperti biasa -- tiga orang dari BSF. Rupanya setelah duduk hampir tiga jam dalam gelap menyaksikan film yang panjang itu, ketiga anggota BSF (tokoh pendidikan Moh. Said, pelukis dan pejabat tinggi P & K Abas Alibasyah dan Letkol drs. Sunarjo dari Hankam) tak bisa merumuskan pendapat yang sepakat. Maka sesuai dengan prosedur, film itu harus dibawa ke sidang pleno. Seluruh anggota BSF pun diundang untuk menentukan penilaiannya: apakah film ini ditolak, atau diloloskan dengan potongan. Atau sama sekali O.K. Pemungutan suara akhirnya menentukan bahwa film itu boleh beredar, untuk 17 tahun ke atas, tapi harus dipotong di beberapa adegan. Pihak produser bernafas lega lebih baik begitu ketimbang dilarang sama sekali. Tapi tak dinyana, suatu keputusan lain diluar BSF rupanya berlangsung. 3 Mei, Laksus Pangkopkamtibda Jakarta Raya menulis sepucuk surat kepada Gubernur Kepala Daerah. Isinya diminta agar film itu dilarang beredar di seluruh bioskop dalam wilayah DKI Jakarta Raya. Gubernur Tjokropranlo setuju. Delapan hari kemudian, ia menyurati antara lain pengurus Gabungan Pengusaha Bioskop di Jakarta. Diberitahunya bahwa YangMuda tak boleh diputar di wilayah ibukota. Ada yang menilai, larangan itu adalah akibat salah faham. Implikasinya ialah dugaan, bahwa Badan Sensor tidak berbuat apa-apa terhadap "kenakalan" film itu. Wibawa BSF Untuk menjernihkan itu (maklumlah, wibawa dan wewenang Badan Sensor dan Departemen Penerangan agak terkena karenanya) Yang Muda pun diputar sekali lagi. 15 Mei, film itu dalam versi yang sudah dicukur disajikan ke hadapan Laksusda Kopkamtibda Jaya beserta staf, para wakil badan intel, dan Muspida DKI Jakarta Raya, termasuk Kadapol. Selain itu, diputarkan juga adegan-adegan yang "terlarang". Biar ada perbandingan, kata seorang pejabat Deppen. Setelah itu, 2 Juni Dirjen Radio, TV dan Film mengirim surat ke alamat Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Keputusan BSF 15 April konon dikutip lagi, dan disebutkan bahwa keputusan itu disetujui oleh para pejabat yang telah menonton film yang tergunting itu. Diminta pula agar Kopkamtib dapat membantu agar film itu dapat beredar di wilayah Republik Indonesia. Maklumlah, waktu itu sudah terdengar beberapa Laksusda di luar Jakarta ikut memaklumkan larangan mereka kepada film ini, yang sebenarnya masih tersimpan di gulungannya di Jakarta. Menyusul surat Dirjen itu, tak kurang dari Menteri Penerangan Ali Moertopo sendiri yang menjelaskan tujuh hari kemudian di depan DPR bahwa YangMuda memang sudah dinyatakan lolos oleh BSF. Penegasan Menteri itu merupakan tanda bagi BSF, bahwa dalam hal film itu mereka "sudah selesai dengan tugas dan wewenangnya" Pemutaran 21 September itu karenanya bukan atas prakarsa BSF lagi. Pihak Kopkamtib rupanya hendak mengadakan pengambilan keputusan final. Dan keputusannya memang cocok dengan keputusan BSF. Tak ada pemotongan baru. Setelah 5 kali harus ditonton oleh sejumlah pejabat, kesalah-fahaman yang diduga telah terjadi antara instansi, pun jadi pungkas. Siapa yang tak lega? Sutradara Sjuman Djaja yang baru mulai sembuh dari sakitnya yang berat, beberapa saat setelah heboh Yang Muda, juga kini senang. Dengan 18 menit dihilangkan, film itu kini toh masih sepanjang 2 jam 30 menit. Pemotongan oleh BSF bagi Sjuman "tentu mengganggu, cuma secara keseluruhan, baik jalan cerita dan isinya tak berubah." Yang berubah dari Yang Muda kini adalah: berkurang tajamnya. Tapi, kata Sjuman pula, "kalau orang sebelumnya tak tahu bentuk utuhnya, kemudian melihat basil sensor, ia tak akan merasa ada yang dipotong." Seorang yang pernah melihat kedua versi itu memang bisa melihat hilangnya kontinyuitas film di beberapa tempat. Ada dialog dan musik yang mendadak muncul. Seorang tokoh BSF bahkan menganjurkan agar Sjuman memperbaiki filmnya yang cacad ini. Tapi seorang aktor Yang Muda malah gembira dengan hasil pemotongan. Yang dipotong terutama bagian Rendra berpidato dan bersajak berapi-api, katanya. "Dengan itu," kata sang aktor, "film kembali ke kerangka cerita semula yang ditulis Umar Kayam, sebuah cerita sederhana."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus