SISA-SISA kelaparan di Desa Pupuan, Kabupaten Gianyar, Bali,
masih belum pulih benar. Sekitar 750 orang yang menderita akibat
kurang makan itu berangsur-angsur pulih.
Desa terpencil di antara Gunung Beratan dan Gunung Batur ini
berpenduduk 670 KK atau 4.000 jiwa lebih. Hampir seluruhnya
hidup sebagai petani. Gejala kurang makan yang dimulai terlihat
sejak pertengahan Agustus lalu, datang hampir secara tak
disadari. Warga desa sedang sibuk melangsungkan upacara ngaben,
meskipun secara sederhana. Sementara itu pejabat-pejabat
pemerintah daerah sedang terpusat pada penggantian gubernur
maupun beberapa bupati.
Upacara ngaben itu rupanya tak mungkin dihindari oleh para warga
desa. Sebab merupakan kewajiban menjelang berlangsungnya upacara
besar, Eka Dasa Rudra di Maret/April 1979 yang akan datang.
Untuk keselamatan upacara besar itu jenazah-jenazah harus
dibersihkan dari sekarang. Warga Desa Pupuan tak mau ketinggalan
melakukan pembersihan jenazah itu. Waktu itu setiap keluarga
yang mempunyai jenazah masih mampu mengumpulkan uang sekitar Rp
12.000 untuk biaya ngaben. "Sedikitpun kami tidak menduga akan
terjadi kekurangan makan" kata Kepala Desa Pupuan, AA Gde Alit.
Soalnya, tanaman ketela yang telah berusia 4 bulan terlihat
berdaun rimbun. Diperkirakan umbinya akan cukup besar,
sebagaimana lazimnya. "Ternyata perkiraan kami benar-benar
meleset" tutur Gde Alit lagi.
Kekurangan pangan memang terjadi. Kepala Desa Pupuan membuat
laporan pertama, akhir Agustus: hanya 12 kk memerlukan bantuan.
Pihak Kecamatan Tegalalang segera membantu 5 kwintal beras. Tapi
korban makin bertambah. Awal September tercatat 31 kk harus
dibantu, pertengahan bulan yang sama meloncat menjadi 156 kk.
"Pada mulanya kami tidak melaporkan kekurangan pangan ini kepada
gubernur, karena kami masih berusaha mengatasinya sendiri" ucap
Camat Tegalalang, I Gde Arya Ngeluhur BA. Tapi karena korban
terus bertambah juga, laporan ke Kantor Gubernur Bali
cepat-cepat dikirim.
Lever
Ketika laporan itu sampai di meja Gubernur Bali, tertera sekitar
750 jiwa penduduk desa ini yang perlu dibantu. Ada 31 orang di
antaranya sudah berada dalam keadaan kritis. Persediaan pangan
sudah tak ada samasekali. Seorang di antaranya meninggal dunia
akhir September lalu, meskipun di samping lapar, kematiannya
juga karena menurut dokter menderita sakit lever.
Sebelum kelaparan itu menunjukkan tanda-tandanya, selama 2 bulan
penduduk Desa Pupuan hanya memakan akar ketela rambat. Akar-akar
ini direbus bercampur beras, bagi yang masih memiliki beras.
Untuk sayurnya dimasak daun keladi bercampur pohon pisang. Bagi
yang masih memiliki beras resepnya adalah 16, satu beras dan 6
bagian akar ketela. Tapi bagi penduduk yang paling tak mampu
perbandingan itu dapat menjadi 1 : 9.
Hari-hari pertama Oktober ini wajah warga desa itu kelihatan
mulai cerah. Berbagai bantuan telah berdatangan. Tak hanya
berupa beras dan susu bubuk. Tapi juga Dinas Peternakan Bali
menyumbang 10 ekor sapi kremenl 30 ekor babi dan 100 ekor ayam
ras pejantan. "Ini bukan untuk dimakan, tapi untuk dipelihara
agar berkembang biak" kata Inspektur Dinas Peternakan Bali, drh.
Soegondo.
Diperkirakan warga Desa Pupuan masih harus dibantu paling kurang
sampai 2 bulan mendatang. Inipun jika ladang mereka dapat
dipastikan mulai menghasilkan. Jika sebaliknya, agaknya
diperlukan cara lain agar untuk jangka panjang kejadian serupa
itu tak terulang lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini