"PELACURKU SAYANG" dan "WEK-WEK"
Sutradara: D. Djayakusuma
Produksi: Teater Lembaga
PERNAH dibicarakan, apakah aktor Indonesia yang memainkan naskah
terjemahan dari Barat misalnya -- musti juga bertingkah laku
bagaikan orang Eropa. Apakah nanti hasilnya justru bukan "akting
Eropa" dan bukan juga "akting Indonesia". Dengan kata yang lebih
langsung, hasilnya ialah permainan pentas yang tidak wajar alias
janggal.
Soal itu memang akan selalu muncul bila sebuah grup teater
mementaskan naskah terjemahan dan mencoba mementaskan persis
dengan aslinya. Yang perlu dicatat ialah bahwa drama toh, tidak
harus persis kenyataan. Di dalamnya terkandung pengertian
"permainan". Di situlah fokus persoalan: apakah kita -- para
pemain dan penonton -- telah setuju bahwa itu hanya permainan.
Seperti halnya pementasan Teater Lembaga kali ini, 27-29
September, di Teater Arena TIM, yang mengetengahkan dua judul
Pelacurku Sayang dan Wek-wek.
Yang pertama dimainkan ialah Wek-wek yang aslinya merupakan
semacam dagelan abad XIV di Eropa Barat sana. Dan pementasan
Teater Lembaga malam itu memang tak tanggung-tanggung. Mengubah
naskah sama sekali, dengan memilih pementasan gaya lawak.
Empat peran yang ada di manfaatkan benar. Mereka dijadikan empat
panakawan yang begitu dikenal dalam dunia pewayangan Jawa:
Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Untuk membawa penonton pada
suasana panakawan itu, kita musti berterima kasih kepada juru
rias. Ragi mereka yang hafal wajah-wajah para panakawan tak
sulit mengenali mereka.
Lewat rias inilah, dan kemudian juga gaya permainan, muncul
konvensi yang disetujui bersama oleh pertunjukan dan penonton,
bahwa itu hanya banyolan. Maka kita pun lalu bisa ketawa segar,
senang. Kita tak butuh bertanya, misalna, apa ada satu sidang
pengadilan dimana terdakwa hanya menjawab dengan "wek-wek" dan
bahasa bebek itu lalu diterjemahkan oleh pembelanya, dan karena
itu mereka lalu memenangkan perkara?
Gareng, Petruk, Bagong (masing-masing diperankan oleh Didi
Petet, Sena A. Utoyo dan Johan Jehahn) bermain baik. Paling
tidak ketiganya telah merasa arena malam itu memang "tempat
tinggal"nya. Adapun Semar (Yoseph Ginting) terasa kurang lepas.
Mustinya banyak peluang yang bisa dimanfaatkan oleh Semar guna
memancing tawa. Tapi ia terlalu kaku.
Untuk model banyolan ini, sutradara (D. Djayakusuma) memang
berhasil. Tidak seperti halnya drama kedua, Pelacurku Sayang."
Gaya pementasan opera Peking konon yang dimanfaatkan untuk
menyuguhkan Pelacur itu. Bagi juru sandang tentulah tak sulit
benar menyuguhkan pakaian gaya Cina klasik. Dengan masih
bertahannya film-film kungfu di Jakarta (Indonesia?) kini,
sangat memudahkan juru sandang.
Tapi tidak demikian dengan para emain. Kecuali pakaian mereka,
dan juga rias wajah, tak ada lagi yang memberi kesan bahwa yang
mereka kisahkan adalah cerita Cina. Dan akibatnya, apabila
pemain-pemain itu dalam dialognya menyebut nama, ini asalnya
"Wang Chin Lung apakah kamu .... " atau "Kemarilah Pan Pi
Cheng," kita jadi kaget. Penyebutan nama-nama itu menusuk
telinga, menimbulkan rasa risi.
Apa bisa dicari sebabnya dari akting mereka yang memang kurang
itu' Soalnya, tanpa kecuali, para pemain bagaikan
melayang-layang saja di arena. Ada terasa kesan yang aneh, bahwa
mereka ingin cepat-cepat keluar dari arena. Rasanya mereka
terpaksa bermain. Atau mereka belum akrab dengan peran yang
mereka perankan.
Mustinya cerita ini bisa lucu, bisa memberikan adegan-adegan
menarik. Ceritanya itu sendiri tentulah tak sulit ditarik guna
menyinggung-nyinggung kenyataan di negeri kita sendiri. Seorang
hakim yang harus mengadili seorang pelacur bekas kekasihnya.
Pelacur itu telah dituduh membunuh pedagang tua yang membelinya
dari rumah pelacuran. Dia dihadapkan ke pengadilan karena
pengadilan berhasil disuap isteri pedagang itu. Bukankah itu
memberi peluang untuk tidak saja mengundang tawa tapi juga tepuk
tangan?
Tapi mungkin itu memang dihindari Djayakusuma. Soalnya, sudah
beberapa kali dipentaskan drama yang mengundang tepuk tangan
penonton, karena asosiasi yang ditimbulkannya mengarah ke berita
di koran-koran kita. Dan ternyata tontonan macam itu kurang
menarik. Soalnya ialah, apakah kekurang menarikannya disebabkan
sindirannya, atau karena pementasannya itu sendiri.
Kalau soal pementasannya itu sendiri, Pelacurku Sayang yang
bersih dari sindiran bagi kejadian di negeri ini sama tidak
menariknya dengan pementasan yang penuh sindiran bahkan protes
bagi kenyataan di negeri ini. Jadi, lagi-lagi, kita dihadapkan
pada: bagaimana bisa bermain baik di panggung atau arena dengan
protes maupun tidak.
Yang tinggal kemudian setelah menyaksikan pementasan Pelacurku
Sayang ini, ialah cerita yang demikian gampang dan cara
penyuguhan yang demikian kurang. Dengan adanya dialog yang
dinyanyikan -- kita harus berterima kasih kepada pengarang
lagunya yang memberikan suasana kecinaan dan enak didengar
--ternyata tak bisa menolong keseluruhannya.
Malahan kemudian terasa bagaikan drama untuk anak-anak saja.
Dialog tak digarap sepenuhnya.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini