Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Semar, gareng, petruk dan wang ...

Sutradara: d. djayakusuma produksi: teater lembaga resensi oleh: bambang bujono. (ter)

7 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"PELACURKU SAYANG" dan "WEK-WEK" Sutradara: D. Djayakusuma Produksi: Teater Lembaga PERNAH dibicarakan, apakah aktor Indonesia yang memainkan naskah terjemahan dari Barat misalnya -- musti juga bertingkah laku bagaikan orang Eropa. Apakah nanti hasilnya justru bukan "akting Eropa" dan bukan juga "akting Indonesia". Dengan kata yang lebih langsung, hasilnya ialah permainan pentas yang tidak wajar alias janggal. Soal itu memang akan selalu muncul bila sebuah grup teater mementaskan naskah terjemahan dan mencoba mementaskan persis dengan aslinya. Yang perlu dicatat ialah bahwa drama toh, tidak harus persis kenyataan. Di dalamnya terkandung pengertian "permainan". Di situlah fokus persoalan: apakah kita -- para pemain dan penonton -- telah setuju bahwa itu hanya permainan. Seperti halnya pementasan Teater Lembaga kali ini, 27-29 September, di Teater Arena TIM, yang mengetengahkan dua judul Pelacurku Sayang dan Wek-wek. Yang pertama dimainkan ialah Wek-wek yang aslinya merupakan semacam dagelan abad XIV di Eropa Barat sana. Dan pementasan Teater Lembaga malam itu memang tak tanggung-tanggung. Mengubah naskah sama sekali, dengan memilih pementasan gaya lawak. Empat peran yang ada di manfaatkan benar. Mereka dijadikan empat panakawan yang begitu dikenal dalam dunia pewayangan Jawa: Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Untuk membawa penonton pada suasana panakawan itu, kita musti berterima kasih kepada juru rias. Ragi mereka yang hafal wajah-wajah para panakawan tak sulit mengenali mereka. Lewat rias inilah, dan kemudian juga gaya permainan, muncul konvensi yang disetujui bersama oleh pertunjukan dan penonton, bahwa itu hanya banyolan. Maka kita pun lalu bisa ketawa segar, senang. Kita tak butuh bertanya, misalna, apa ada satu sidang pengadilan dimana terdakwa hanya menjawab dengan "wek-wek" dan bahasa bebek itu lalu diterjemahkan oleh pembelanya, dan karena itu mereka lalu memenangkan perkara? Gareng, Petruk, Bagong (masing-masing diperankan oleh Didi Petet, Sena A. Utoyo dan Johan Jehahn) bermain baik. Paling tidak ketiganya telah merasa arena malam itu memang "tempat tinggal"nya. Adapun Semar (Yoseph Ginting) terasa kurang lepas. Mustinya banyak peluang yang bisa dimanfaatkan oleh Semar guna memancing tawa. Tapi ia terlalu kaku. Untuk model banyolan ini, sutradara (D. Djayakusuma) memang berhasil. Tidak seperti halnya drama kedua, Pelacurku Sayang." Gaya pementasan opera Peking konon yang dimanfaatkan untuk menyuguhkan Pelacur itu. Bagi juru sandang tentulah tak sulit benar menyuguhkan pakaian gaya Cina klasik. Dengan masih bertahannya film-film kungfu di Jakarta (Indonesia?) kini, sangat memudahkan juru sandang. Tapi tidak demikian dengan para emain. Kecuali pakaian mereka, dan juga rias wajah, tak ada lagi yang memberi kesan bahwa yang mereka kisahkan adalah cerita Cina. Dan akibatnya, apabila pemain-pemain itu dalam dialognya menyebut nama, ini asalnya "Wang Chin Lung apakah kamu .... " atau "Kemarilah Pan Pi Cheng," kita jadi kaget. Penyebutan nama-nama itu menusuk telinga, menimbulkan rasa risi. Apa bisa dicari sebabnya dari akting mereka yang memang kurang itu' Soalnya, tanpa kecuali, para pemain bagaikan melayang-layang saja di arena. Ada terasa kesan yang aneh, bahwa mereka ingin cepat-cepat keluar dari arena. Rasanya mereka terpaksa bermain. Atau mereka belum akrab dengan peran yang mereka perankan. Mustinya cerita ini bisa lucu, bisa memberikan adegan-adegan menarik. Ceritanya itu sendiri tentulah tak sulit ditarik guna menyinggung-nyinggung kenyataan di negeri kita sendiri. Seorang hakim yang harus mengadili seorang pelacur bekas kekasihnya. Pelacur itu telah dituduh membunuh pedagang tua yang membelinya dari rumah pelacuran. Dia dihadapkan ke pengadilan karena pengadilan berhasil disuap isteri pedagang itu. Bukankah itu memberi peluang untuk tidak saja mengundang tawa tapi juga tepuk tangan? Tapi mungkin itu memang dihindari Djayakusuma. Soalnya, sudah beberapa kali dipentaskan drama yang mengundang tepuk tangan penonton, karena asosiasi yang ditimbulkannya mengarah ke berita di koran-koran kita. Dan ternyata tontonan macam itu kurang menarik. Soalnya ialah, apakah kekurang menarikannya disebabkan sindirannya, atau karena pementasannya itu sendiri. Kalau soal pementasannya itu sendiri, Pelacurku Sayang yang bersih dari sindiran bagi kejadian di negeri ini sama tidak menariknya dengan pementasan yang penuh sindiran bahkan protes bagi kenyataan di negeri ini. Jadi, lagi-lagi, kita dihadapkan pada: bagaimana bisa bermain baik di panggung atau arena dengan protes maupun tidak. Yang tinggal kemudian setelah menyaksikan pementasan Pelacurku Sayang ini, ialah cerita yang demikian gampang dan cara penyuguhan yang demikian kurang. Dengan adanya dialog yang dinyanyikan -- kita harus berterima kasih kepada pengarang lagunya yang memberikan suasana kecinaan dan enak didengar --ternyata tak bisa menolong keseluruhannya. Malahan kemudian terasa bagaikan drama untuk anak-anak saja. Dialog tak digarap sepenuhnya. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus