KALAU juri mengatakan lagu-lagu yang masuk dalam lomba
penulisan lagu pop VI "cukup puitis", kita boleh tertegun.
Karena dari 6 buah lirik yang terpampang dalam kaset Lagu
Terbaik 1978 -- Yukawi -- kita lebih merasakan lirik yang sok
berisi. Penuh bunga kata, syair lagu seakan seorang desa yang
lugu dipaksa mengenakan barang kosmetik dari dunia salon.
Dalam Bahana Perdamaian, lagu dibuka dengan sebait lirik yang
hanya mengharukan penulisnya. "Temaram seakan menelan
alam/Temarangnya surya srasa impian/Serasa nestapa tlah meraja
buana/Karna jaya yudha di atas angkara." Benarkah puisi berarti
kata-kata yang sulit, yang aneh?
Lagu Berkesan Namun Hampa, bait kedua berbunyi "Semerbak harum
bunga/menebar mewangi/menggetarkan sanubari nan slalu
membara/bersemi kasih di hati .... kasih bertanya/ terang sejuta
bintang." Lirik ini terasa ketinggalan jaman. Melambung dan
memakai lambang-lambang romantis, sementara lagunya senada
dengan lagu-lagu Franky dan Jane yang lebih condong pada balada
sehari-hari. Franky dan Jane menulis lagu berdasar sajak-sajak
Yudhistira Ardi Nugraha yang sederhana dengan kata-kata
sehari-hari, tetapi justru dalam dan liris.
Lirik yang lebih sulit dan artifisial kita jumpai dalam bait
pertama Harmonie Kehidupan, yang berbunyi "Hidup penuh
irama/selaras symphoni/seiring nada mesra/melarut dalam kalbu."
Sedang dalam Akhir Balada pada bait ke-3 dijumpai sejumlah kata
yang sukar dirasakan karena tidak langsung tergambar apa
maksudnya. "Dalam bingung kuterpana/tersisih dalam keredupan/dan
jiwa meronta/tiada tanya berliku." Kata-kata seperti akhirnya
hanya menjadi bunyi biasa yang tiada memberi sugesti apa-apa,
sampai lirik berakhir dengan "la-la-lala" ....
Bau lirik lagu Waktu, sebagai juara kali ini, sama saja.
Sementara lagunya memberi kemungkinan memainkan berbagai
suasana, liriknya terasa mau berfilsafat dengan sedikit
menggurui. Paling tidak menunjukkan patokan-patokan pengertian
yang justru jadi sempit. Lirik yang ditulis sendiri olh penulis
lagunya secara lengkap kita kutip:
Waktu
Semua di dunia ini
dicipta dititahkan Tuhan Yang Maha Esa
untuk tidak beberapa lama kini
yang muda bertambah tua
yang tua semakin renta
untuk akhirnya jadi tiada.
Waktu penyebab itu
merubah segala sesuatu menjadi lain
waktu dulu lain dengan waktu kini
secepat bari berganti
secepat tahun pun lari
semua itu seperti mimpi
Oooob ....
lonceng berdentang jarum jam berguncang
menunjukkan waktu
buana pun berputar
surya tenggelam
semua itu berjaalan terus
masa demi masa
mewarnai kehidupan dunia.
Lirik ini sangat menggangu bila lagu tersebut didengarkan
beberapa kali. Isi yang hendak disampaikannya tidak tercela.
Tapi kata-kata yang dipilihnya membuat pengertian jadi tidak
simpatik.
Gombal
Yang menarik adalah bahwa ke 6 finalis menulis sendiri lirik
lagu, dengan hasil yang sama-sama sangat kurang. Demam
menuliskan sendiri lirik lagu mungkin merupakan penyakit lama,
tetapi membuat lirik menjadi sulit dan penuh bunga -- setelah
Koes Plus berhasil membuanya sederhana--mungkin santer lagi
setelah kesuksesan Guruh dengan Renjana dan kaset 'Guruh Gipsy'.
Baik dalam Renjana maupun lagu-lagu lainnya, Guruh cenderung
menulis lirik dengan kata-kata bahasa Jawa Kuno yang jarang
dipergunakan. Kata Renjana sendiri mungkin sampai sekarang
banyak orang tak tahu apa pula artinya.
Sesudah Guruh, muncul Keenan Nasution dengan kaset 'Di Batas
Angan-Angan' PT Gelora Seni' seperti melanjutkan pencarian
Guruh. Di samping musiknya ruwet, meskipun dapat dipulkan
karena keseriusannya, lirlk lagu-lagu pun mengukuhkan kecurigaan
kita akan adanya usaha untuk dapat bobot dengan membuat lirik
kabur dan mewah. Bait kedua lagu Suaranya misalnya, terasa ruwet
dan sama sekali tidak segar. "Kata pikiran/noda penghapus
percaya/Gaung di dalam tidakkah ada keampunan (suara Nya)." Apa
ini?
Rasanya sayang sekali kalau kreativitas penciptaan sekarang
tidak dibarengi kemampuan lirik yang baik. Benyamin telah
melemparkan lirik yang memiliki watak yang lain. Kemudian Bimbo
pernah melakukannya dengan bekerja sama dengan penyair Taufiq
Ismail. Demikian juga Franky dan Jane dengan Yudhistira. Remy
Sylado pernah mencoba. Selanjutnya dicoba oleh Harry Rusli.
Belakangan muncul pula Leo Kristi.
Dan akhirnya, syukurlah, di samping lirik-lirik yang ngawur,
masih tetap ada lagu-lagu Titiek Puspa yang ngepop, disukai,
dengan lirik-lirik sederhana yang kena. Dengar misalnya lagu
Kupu-kupu Malam, Bimbi, dan yang terakhir ini Rintik-rintik
Hujan. Siapa tahu keberhasilan lagu itu di samping penataan
nada, pemilihan penyanyi yang tepat, juga karena liriknya bukan
"puisi" yang gombal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini