Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sok berisi, kenapa ?

Yang menilai lirik lagu-lagu terbaik 1978 dalam lomba penulisan lagu populer vi di jakarta terlampau puitis, penuh bunga kata dan sok berisi. misalnya lagu bahana perdamaian dan waktu. (ms)

7 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU juri mengatakan lagu-lagu yang masuk dalam lomba penulisan lagu pop VI "cukup puitis", kita boleh tertegun. Karena dari 6 buah lirik yang terpampang dalam kaset Lagu Terbaik 1978 -- Yukawi -- kita lebih merasakan lirik yang sok berisi. Penuh bunga kata, syair lagu seakan seorang desa yang lugu dipaksa mengenakan barang kosmetik dari dunia salon. Dalam Bahana Perdamaian, lagu dibuka dengan sebait lirik yang hanya mengharukan penulisnya. "Temaram seakan menelan alam/Temarangnya surya srasa impian/Serasa nestapa tlah meraja buana/Karna jaya yudha di atas angkara." Benarkah puisi berarti kata-kata yang sulit, yang aneh? Lagu Berkesan Namun Hampa, bait kedua berbunyi "Semerbak harum bunga/menebar mewangi/menggetarkan sanubari nan slalu membara/bersemi kasih di hati .... kasih bertanya/ terang sejuta bintang." Lirik ini terasa ketinggalan jaman. Melambung dan memakai lambang-lambang romantis, sementara lagunya senada dengan lagu-lagu Franky dan Jane yang lebih condong pada balada sehari-hari. Franky dan Jane menulis lagu berdasar sajak-sajak Yudhistira Ardi Nugraha yang sederhana dengan kata-kata sehari-hari, tetapi justru dalam dan liris. Lirik yang lebih sulit dan artifisial kita jumpai dalam bait pertama Harmonie Kehidupan, yang berbunyi "Hidup penuh irama/selaras symphoni/seiring nada mesra/melarut dalam kalbu." Sedang dalam Akhir Balada pada bait ke-3 dijumpai sejumlah kata yang sukar dirasakan karena tidak langsung tergambar apa maksudnya. "Dalam bingung kuterpana/tersisih dalam keredupan/dan jiwa meronta/tiada tanya berliku." Kata-kata seperti akhirnya hanya menjadi bunyi biasa yang tiada memberi sugesti apa-apa, sampai lirik berakhir dengan "la-la-lala" .... Bau lirik lagu Waktu, sebagai juara kali ini, sama saja. Sementara lagunya memberi kemungkinan memainkan berbagai suasana, liriknya terasa mau berfilsafat dengan sedikit menggurui. Paling tidak menunjukkan patokan-patokan pengertian yang justru jadi sempit. Lirik yang ditulis sendiri olh penulis lagunya secara lengkap kita kutip: Waktu Semua di dunia ini dicipta dititahkan Tuhan Yang Maha Esa untuk tidak beberapa lama kini yang muda bertambah tua yang tua semakin renta untuk akhirnya jadi tiada. Waktu penyebab itu merubah segala sesuatu menjadi lain waktu dulu lain dengan waktu kini secepat bari berganti secepat tahun pun lari semua itu seperti mimpi Oooob .... lonceng berdentang jarum jam berguncang menunjukkan waktu buana pun berputar surya tenggelam semua itu berjaalan terus masa demi masa mewarnai kehidupan dunia. Lirik ini sangat menggangu bila lagu tersebut didengarkan beberapa kali. Isi yang hendak disampaikannya tidak tercela. Tapi kata-kata yang dipilihnya membuat pengertian jadi tidak simpatik. Gombal Yang menarik adalah bahwa ke 6 finalis menulis sendiri lirik lagu, dengan hasil yang sama-sama sangat kurang. Demam menuliskan sendiri lirik lagu mungkin merupakan penyakit lama, tetapi membuat lirik menjadi sulit dan penuh bunga -- setelah Koes Plus berhasil membuanya sederhana--mungkin santer lagi setelah kesuksesan Guruh dengan Renjana dan kaset 'Guruh Gipsy'. Baik dalam Renjana maupun lagu-lagu lainnya, Guruh cenderung menulis lirik dengan kata-kata bahasa Jawa Kuno yang jarang dipergunakan. Kata Renjana sendiri mungkin sampai sekarang banyak orang tak tahu apa pula artinya. Sesudah Guruh, muncul Keenan Nasution dengan kaset 'Di Batas Angan-Angan' PT Gelora Seni' seperti melanjutkan pencarian Guruh. Di samping musiknya ruwet, meskipun dapat dipulkan karena keseriusannya, lirlk lagu-lagu pun mengukuhkan kecurigaan kita akan adanya usaha untuk dapat bobot dengan membuat lirik kabur dan mewah. Bait kedua lagu Suaranya misalnya, terasa ruwet dan sama sekali tidak segar. "Kata pikiran/noda penghapus percaya/Gaung di dalam tidakkah ada keampunan (suara Nya)." Apa ini? Rasanya sayang sekali kalau kreativitas penciptaan sekarang tidak dibarengi kemampuan lirik yang baik. Benyamin telah melemparkan lirik yang memiliki watak yang lain. Kemudian Bimbo pernah melakukannya dengan bekerja sama dengan penyair Taufiq Ismail. Demikian juga Franky dan Jane dengan Yudhistira. Remy Sylado pernah mencoba. Selanjutnya dicoba oleh Harry Rusli. Belakangan muncul pula Leo Kristi. Dan akhirnya, syukurlah, di samping lirik-lirik yang ngawur, masih tetap ada lagu-lagu Titiek Puspa yang ngepop, disukai, dengan lirik-lirik sederhana yang kena. Dengar misalnya lagu Kupu-kupu Malam, Bimbi, dan yang terakhir ini Rintik-rintik Hujan. Siapa tahu keberhasilan lagu itu di samping penataan nada, pemilihan penyanyi yang tepat, juga karena liriknya bukan "puisi" yang gombal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus