Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKU bersampul corak batik cokelat itu nyaris rusak. Serpihan kertas terlihat saat buku itu dikeluarkan dari bungkus berbahan pencegah asam. Sebagian dari 1.151 halamannya lepas dari jilidan, sebagian lagi tak utuh. Berwarna kuning kecokelatan, kertas Eropa yang digunakan sudah kaku dan getas. Tulisan pegon, modifikasi aksara Jawi untuk menulis bahasa Arab, sudah mblobor dan tembus ke halaman lain.
Bambang Hernawa, anggota staf Bagian Koleksi Khusus Naskah Kuno Perpustakaan Nasional, pun tak berani membuka buku itu. ”Kalau dibuka dengan jari saja, kertasnya tambah rusak,” katanya. Di Babad Dipå Nìgårå itulah, sejarah hidup Raden Mas Ontowiryo alias Pangeran Diponegoro tercatat. Orang yang begitu ditakuti Belanda—sampai Belanda berpura-pura mengajak berunding untuk bisa menangkapnya.
Diponegoro menulis otobiografi saat dibuang pemerintah Hindia Belanda ke Manado, Mei 1830. Selain memuat sejarah hidup dirinya yang merupakan putra ketiga Sri Sultan Hamengku Buwono III dengan istri tak resmi, garwa ampeyan Raden Ayu Mangkarawati, Babad juga memuat sejarah Jawa sejak zaman Majapahit hingga terpecahnya Keraton Solo dan Yogyakarta.
Sayang, naskah asli yang didiktekan Diponegoro pada juru tulis selama sembilan bulan itu tak diketahui nasibnya. Doktor sejarah Universitas Oxford, Inggris, Peter Carey, mengatakan Babad di Perpustakaan Nasional merupakan salinan naskah asli. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen meminjamnya dari keluarga Diponegoro setelah dia mangkat pada 8 Januari 1855. Naskah itu dikembalikan setelah disalin. Tapi Carey tak menemukan dokumen itu ketika berkunjung ke keluarga Diponegoro di Makassar pada September 1972.
Setelah penyalinan naskah, dokumen berjudul Babad Diponegoro bermunculan. ”Tapi cuma satu yang ditulis Diponegoro,” kata Carey, yang sejak 40 tahun silam meneliti sosok Diponegoro. Carey menilai Babad melukiskan kehidupan sang pangeran di empat dunia. Keraton, desa, ulama, dan kolonial. Lahir pada 11 November 1785, Diponegoro dibesarkan di lingkungan Keraton Yogyakarta. Ia akrab dengan masyarakat pedesaan setelah dibawa nenek buyutnya ke Tegalrejo pada usia tujuh tahun.
Dalam Babad, Diponegoro mengungkapkan kegelisahan terhadap Belanda yang membebani rakyat Jawa melalui penguasaan tanah dan pengenaan pajak. Ia juga menyoroti pengaruh budaya Eropa di lingkungan keraton. Puncaknya, tanah milik Diponegoro di Tegalrejo terkena pelebaran jalan. Perang Jawa pun meletus pada 20 Juli 1825. Ia menjelma sebagai ratu adil yang menyerang Belanda.
Proses penangkapan di Karesidenan Magelang juga diceritakannya dalam Babad. Turun dari Bukit Menoreh pada 8 Maret 1830, beberapa kali ia menemui panglima tertinggi pasukan militer Hindia Belanda Jenderal Hendrik Merkus de Kock. Diponegoro tak mau berunding dan membicarakan politik sebelum Ramadan selesai. Dua pemimpin perang itu malah berbagi karena sama-sama ditinggal istri. Melalui Kapten Johan Jacob Roeps sebagai penerjemah—Diponegoro tak bisa bahasa Belanda dan enggan menggunakan bahasa Melayu—keduanya berbincang hangat sebagai sahabat. ”Diponegoro menaruh kepercayaan pada De Kock,” kata Carey.
Ahad, 28 Maret, saat Idul Fitri, silaturahmi digelar Diponegoro dengan mengunjungi De Kock. Ia tak curiga melihat pasukan Belanda bersenjata lengkap karena mereka berpenampilan seperti itu saat ke gereja. ”Ia baru mau berunding, tapi malah ditangkap,” ujar Carey.
Diponegoro, yang akrab dengan kiai pesantren, juga dekat dengan budaya Eropa. Ia mengaku menyukai anggur dari Afrika Selatan, Grand Constantia. Karena Islam mengharamkan alkohol, Diponegoro mengaku hanya meminum anggur putih sebagai obat.
Dalam Babad, Diponegoro jujur mengaku berselingkuh dengan seorang perempuan Cina yang memijitnya sebelum perang di Gowok, Oktober 1826. Perselingkuhan itu diakuinya sebagai penyebab kekalahan. Kekebalannya hilang, dan ia terkena peluru. Dalam perjalanan ke Banyumas, Diponegoro yang terkena malaria masih sempat tergiur oleh dukun wanita tua Nyai Asmaratruna yang merawatnya. ”Diponegoro mengaku malu pada istrinya,” kata Carey.
Sejarah Diponegoro memang sudah usai. Tapi sejarah Babad Dipå Nìgårå masih berlanjut. Kini buku ini menempuh perjalanan untuk diakui UNESCO di Paris sebagai Memory of the World. Jika disetujui pada Oktober mendatang, kata Kepala Bagian Koleksi Khusus Naskah Kuno, Nindyo Nugroho, ”Buku ini bisa diselamatkan, bahkan bisa disalin ulang.”
Pramono, Ismi Wahid (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo