Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tafsir Standar Diponegoro

Opera Diponegoro kembali dipentaskan oleh Sardono W. Kusumo dalam versi kecil. Ia tak menyentuh hal-hal kontroversial dari Diponegoro.

1 Maret 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA 1822, Gunung Merapi meletus. Penduduk Yogya berhamburan. Diponegoro tengah tidur di ranjang. Ia dibangunkan sang istri untuk segera ke luar rumah. Diponegoro menolak. Di saat semua orang panik, Diponegoro tenang. Ia malah mengajak istrinya sanggama.

Adegan sanggama saat Merapi memuntahkan laharnya itu diangkat Sardono W. Kusumo ke panggung. Penari Fajar Satriadi, mengenakan kain putih, berbaring telungkup dengan kaki ditekuk ke atas seperti sebuah posisi asana yoga. Di atas punggungnya berdiri penari Rambat Yulianingsih. Ia berkerudung, berkain brokat putih, dan berkebaya. Perlahan-lahan tubuh Fajar diangkat. Tak ada erotisme di sana, tak ada yang sensualitas, dan penonton pasti tak tahu bahwa adegan persetubuhan itu dalam konteks letupan Merapi.

”Informasi itu saya dapat dari Babad Diponegoro,” kata Sardono. Opera Diponegoro pertama kali dimainkan pada 1995. Pernah dipentaskan sangat kolosal, pada 2008, di Keraton Yogya, dengan 200 penari dan melibatkan kerabat Sultan. Versi yang dipentaskan di Salihara, Jakarta, pekan lalu itu adalah versi kecil yang dipentaskan di Muslim Voice Festival New York 2009 dengan hanya lima penari.

Mulanya kita melihat replika lukisan Penangkapan Diponegoro karya Raden Saleh menutupi panggung. Begitu terangkat, kita melihat sosok Diponegoro dengan pakaian serba putih berdiri awas. Kemudian Requiem karya Mozart mengurung ruangan. Sorban Diponegoro dilucuti. Seorang serdadu Belanda mengikatkan tali ke tubuh ceking seorang hamba sahaya (penari Mugiyono). Mugiyono bergelut membebaskan tali itu tapi tak bisa. Harus diakui gerak penari ini intens. Mozart diteruskan ke lantunan tembang yang teksnya diambil dari Babad Diponegoro.

Selanjutnya, dalam waktu satu jam Sardono ingin merengkuh banyak peristiwa. Ia tak memusatkan pentas, misalnya, pada hubungan Diponegoro dengan istrinya, termasuk gundik Cinanya. Dalam babadnya, Diponegoro mengaku dihancurkan oleh kecantikan seorang gadis Cina. Perempuan itu ditemukannya di daerah Pajang lalu dijadikan tukang pijat. Itu yang, menurut dia, membuatnya kalah saat bertempur melawan Belanda di Gowok pada 15 Oktober 1826. Diponegoro juga menyalahkan iparnya, Sasradilaga, yang menggauli seorang perempuan Tionghoa hingga kalah dalam perang di Pesisir Utara Jawa (Lasem).

Diponegoro kemudian menganggap orang Cina sebagai pembawa sial dan penyebab malapetaka. Ia melarang pengikutnya mengambil selir-selir Cina. Bagi sebagian kalangan, pengkambinghitaman Diponegoro ini bukan hal sederhana karena turut membentuk sedimen prasangka dan sentimen terhadap minoritas sampai kini. Tapi Sardono tak ingin menyentuh sisi-sisi kontroversi itu. Ia menampilkan sisi ”nasionalis” dan ”mistis” Diponegoro yang kita kenal dalam buku-buku sejarah. Misalnya, kepercayaan dirinya sebagai Ratu Adil dan momen-momen dramatik penangkapannya.

”Malam menjelang penangkapan Diponegoro, para serdadu Belanda mabuk di barak,” kata Sardono. Slamet Gundono memainkan seorang diri prajurit bayaran Belanda yang hatinya merasa bersalah. Ia bertelanjang dada dan mengenakan rok. Berjalan sempoyongan, seraya minum ”brendi kelas 4”, tubuhnya yang super tambun berguncang-guncang, membuat tertawa penonton.

Adegan paling menarik adalah saat Diponegoro ditipu De Kock (Nuryanto Kembul). Setelah berangkulan, mereka tarik-menarik tali putih. Akan halnya bagian paling verbal adalah tatkala para penari membawa kertas bertulisan ”200.000 penduduk Jawa mati, 700 VOC mati, 20 juta gulden beaya perang”.

Secara keseluruhan panggung menjurus ke napas islami. Adegan pertemuan Diponegoro dengan para wali disajikan dengan gerak memutar-mutar mengingatkan orang pada whirling dervish—tarian para darwis. Juga tatkala penari Hany Herlina tampil sebagai alegori Nyai Kidul. Geraknya mengingatkan kita pada tari perut Timur Tengah. Lantunan ayat Quran di akhir pentas makin meneguhkan bahwa Sardono menyajikan tafsir yang sudah kita kenal.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus