Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH jendela empat bidang bercahaya temaram. Dok, dok, dok! Terdengar gedoran keras di jendela itu, yang sekilas terlihat berasal dari sepasang telapak tangan. Tunggu! Tapi ukuran itu terlalu besar untuk sebuah tangan. Setelah beberapa detik, baru terlihat jelas bahwa itu adalah kaki manusia (atau bukan, kita tak akan tahu hingga pertunjukan usai). Kaki itu menempel di jendela, menjuntai, lalu berputar-putar. Berikutnya, bukan hanya kaki itu yang berputar, tapi juga kosen jendela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelahnya adalah permainan logika. Kadang batas semacam kabur, tak jelas mana bagian atas dan mana bagian bawah jendela. Apakah si pemilik kaki sedang berpose headstand atau berdiri saja? Selama belasan menit, hanya sepasang kaki itulah yang betul-betul tampil dalam pertunjukan Ikak (jika dibaca terbalik menjadi “kaki”). Ikak ditampilkan Wail Irsyad dari Bandung pada hari pertama Festival Teater Tubuh, Selasa, 16 Maret lalu. Wail menyebut Ikak sebagai responsnya terhadap konsep yang menjadikan tubuh sasaran logika terbalik atas persepsi normal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Festival Teater Tubuh digelar Teater Payung Hitam besutan Rachman Sabur secara daring pada 16-20 Maret 2021. Festival tahun ini adalah yang kedua, setelah pada 2019 berlangsung di Selasar Sunaryo, Bandung. Selain Wail, terdapat 17 penampil dari sejumlah daerah. Di antaranya Teater Nara (Flores, Nusa Tenggara Timur), Asia Ramli Prapanca (Makassar), Anggraeni (Bandung), Teater Lanjong (Tenggarong, Kalimantan Timur), SEN Labs (Lombok, Nusa Tenggara Barat), dan Language Theatre (Madura, Jawa Timur). Tiap malam, festival memutar video dari tiga-empat penampil.
Format video membuat penampil bebas mengeksplorasi panggung masing-masing. Teater Nara menyajikan kisah Sade Bero, tempat para nelayan menambatkan perahu. Bukan hanya nelayan tradisional yang tinggal di Larantuka, Flores Timur, yang merantau ke sana, tapi juga pelaut dari Solor. Sade Bero adalah kisah mereka yang kehilangan ruangnya, tentang para nelayan yang tergusur oleh pembangunan talut di pesisir pantai sebagai bagian dari taman kota gagasan Bupati Felix Fernandez. Di area itu, hanya tersisa sebidang kecil sade bero, yang panjangnya tak lebih dari 20 meter.
Pentas Teater Nara bertajuk Sade Bero, dalam Festival Teater Tubuh digelar Teater Payung Hitam. Dokumentasi Teater Nara
Dua nelayan (diperankan dua aktor Teater Nara) menyisir tempat itu. Salah satu pria yang bertubuh gempal (diperankan Zaeni Boli) menyongsong bangkai perahu. Bergumul dengan pasir pantai, ia memeluk perahu itu. Wajahnya menumpahkan pilu. Ia menangis tanpa suara. Nelayan satu lagi (Jhon Dasilva), yang wajahnya hampir tertutup rambutnya yang gondrong, menyeret nukilan bangkai perahu, tertatih menjejak pesisir pantai. Sementara itu, dari lautan, muncul seorang perempuan berselimut jaring putih dan bubu, alat tangkap ikan dari anyaman rotan. Ia merepresentasikan alam yang tak berdaya.
Selain menyorot ketiga aktor yang menyusuri pesisir, kamera sesekali menangkap lanskap Taman Felix Fernandez. Adapun kamera drone merekam lautan luas berwarna jernih, juga adegan para tokoh menyelam di dalamnya. Walau pertunjukan ini tanpa sepotong pun dialog, tubuh para aktor berbicara, menyuarakan kesedihan para nelayan di sana yang ruang labuhnya nyaris dilumat taman kota. “Hanya sade bero kecil tempat kami syuting itu yang bisa dipertahankan. Ini menyedihkan karena tak ada yang mempedulikan nasib mereka,” kata pendiri Teater Nara, Silvester Petara Hurit, saat dihubungi, Rabu, 24 Maret lalu.
Silvester mengarahkan pertunjukan Sade Bero, yang berdurasi sekitar 16 menit. Bagi Teater Nara, berteater di tengah alam sudah menjadi kebiasaan. Sebab, mereka tak memiliki studio latihan dan terbiasa berlatih di dekat pantai, bukit, bahkan sungai. Namun melakoni teater tubuh adalah hal baru. Di satu sisi, tubuh memang mempunyai kekuatan. Tapi, di sisi lain, ada keterbatasan yang sejatinya bisa diatasi secara verbal.
Selain Teater Nara, Asia Ramli memilih laut sebagai tempat pertunjukan. Dia berenang dan menari-nari dengan bubu yang ia kenakan hingga menutupi kepalanya. Ramli, 61 tahun, menjadi semacam ikan yang terjerat perangkap nelayan di Laut Tomia, dekat Kampung Usuku, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, tempat kelahirannya. Ia tak hanya bermain di lautan. Ia juga merambah bukit-bukit hijau dan (berkat penyuntingan video, tentu) berada di pucuk pohon sambil menari-nari. Video membebaskan tubuh Ramli dari ruang ke ruang.
Anggraeni lewat Themis, dalam Festival Teater Tubuh digelar Teater Payung Hitam.
Ramli berpentas di lautan karena terkenang masa kecilnya. Dulu, saban Sabtu sore, ia dan kakak sepupunya pergi melaut. Di situlah ia berjumpa dengan tradisi menangkap ikan nelayan di sana, juga cerita-cerita rakyat yang dilestarikan turun-temurun. Memori itu ia rangkai dengan video keseharian warga di Kampung Usuku, yang membuat pertunjukan Ramli tak ubahnya teater dokumenter. Ada adegan nelayan mengurus tangkapannya, juga warga yang berbincang dan terbahak. Pada akhirnya, video dokumentasi itu justru membuat pertunjukan menjadi setengah-setengah.
Seperti namanya, Festival Teater Tubuh bertumpu pada tubuh sebagai medium penyampai pesan. Pengajar seni tari di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, F.X. Widaryanto, menilai pergeseran cara menyampaikan tubuh di medium baru seperti video penting. Sebab, selama ini tubuh selalu identik dengan presentasi fisik, jauh dari gagasan-gagasan liar. Padahal, sebenarnya, tubuh punya elemen lain yang dapat dimanfaatkan penampil, misalnya suara. “Ini penting untuk membuat budaya visual baru, walau dalam festival ini banyak yang mulai menyadarinya,” ucapnya, Sabtu, 20 Maret lalu.
Pemanfaatan kamera dan teknik pencahayaan sejatinya juga dapat memperluas tubuh, membuatnya keluar dari tubuh sehari-hari yang serba terbatas, bukan lagi tubuh sebagai “perangkap” seperti diungkapkan Simone de Beauvoir. Kultur tubuh sebagai wadah masih terasa dalam Festival Teater Tubuh kedua ini, walau beberapa penampil sudah sadar akan transformasi tubuh dan ruang. Bukan hanya Teater Nara dan Asia Ramli yang menyadarinya, tapi juga Heryana G. Benu dari Bogor, Jawa Barat, yang menampilkan Proses Tubuh dan Pohon Mati. Kendati idenya menarik—dan kritis tentu—Heryana hanya bermain di satu ruang, yakni hutan.
Adapun beberapa pemain lain dalam festival ini masih setia menggunakan panggung dalam ruang. Misalnya Anggraeni lewat Themis, yang menyoroti hukum dan keadilan di Indonesian yang tercederai. Juga S. Sophiyah K. (Bandung) lewat Intransit: The Blurry, yang menawarkan pembacaan menarik atas tubuh. Walau pertunjukannya masih lekat dengan kultur panggung, Sophiyah memanfaatkan media yang menarik: kasur. Di kasur sempit itu, terdapat dua perempuan dan dua lelaki yang selama belasan menit terus-menerus bergerak, mengubah posisi, bergumul, dan saling tindih. Dengan teknik kamera yang menyorot tepat dari atas, polah para penampil terasa lebih intens. Pertunjukan ini ditutup dengan dramatis: selimut direntangkan dan tubuh di dalamnya menjelma menjadi gerakan-gerakan absurd yang tak bisa kita terka.
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo