Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Memilih Berbeda tapi Tak Menghina

Supandi menjadi kiai setelah mempelajari Al-Quran secara otodidaktik. Mualaf yang ogah mempertentangkan agama lama dan barunya untuk berdakwah.

27 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Supandi di sekitar rumahnya di Semarang, Jawa Tengah, 16 Maret 2021. Budi Purwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Supandi memutuskan berpindah agama setelah mempelajari berbagai macam kitab.

  • Memilih mengangkat anak ketimbang mendirikan pondok pesantren.

  • Rumahnya menjadi tempat nongkrong kiai, pastor, pendeta, sampai pejabat daerah.

SEORANG remaja putri duduk di kursi ruang tamu sebuah rumah di bilangan Semarang Selatan, Kota Semarang. Di hadapannya, laki-laki yang ia panggil “Papi” menasihatinya. “Bar mbok kei salep, langsung wae tutupi kasa (Setelah diberi salep, langsung saja tutup dengan kasa),” kata Supandi, lelaki yang dipanggil Papi itu, sambil memandang ke arah kaki gadis tersebut, Selasa, 16 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada luka bernanah yang masih basah di kaki remaja kelas VII sekolah menengah pertama tersebut. Mulanya ia enggan menuruti saran kiai asal Semarang itu. Namun istri Supandi, Siti Zulaikha, kemudian menyorongkan kain kasa kepadanya. Nona tersebut pamit setelah menerima gulungan kain putih itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rindiani Riskia Dewi, nama gadis tersebut, adalah satu dari 18 anak asuh Supandi dan Siti. Ia diangkat oleh mereka sejak 5 tahun lalu. Supandi, salah seorang kiai mualaf yang dikenal kocak saat berceramah, memilih menyantuni anak-anak dan janda di lingkungan sekitar rumahnya ketimbang mendirikan pondok pesantren. Menurut dia, kiai dengan mobilitas tinggi seperti dirinya akan kesulitan mengasuh sekolah agama berasrama. “Ada 1.001 cara lain untuk menabur kebaikan,” ujarnya.

Konsep ini pula yang ia pegang dalam berdakwah. Supandi ogah menyalahkan gaya orang lain beribadah. Ia mempersilakan siapa pun menunaikan kewajiban agama sesuai dengan keyakinannya, asalkan cocok dengan aturan. Misalnya perkara memilih salat tarawih dengan jumlah rakaat 11 atau 23, mau membaca doa qunut atau tidak, dan melakukan atau meniadakan tahlil. “Islam sejatinya mengajarkan indahnya perbedaan. Keberagaman yang ada tidak sepatutnya ditunggangi untuk memecah belah persatuan,” tuturnya. Dengan pandangan ini pula Supandi berpantang menjelek-jelekkan agama lamanya ketika berdakwah.

•••

SUPANDI lahir di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, 63 tahun silam. Ia diboyong oleh kakak ayahnya ke Semarang saat berusia dua tahun. Oleh pakde dan budenya tersebut--ia memanggil mereka bapak dan ibu--Supandi dirawat layaknya anak kandung.

Berbeda dengan orang tua kandungnya yang muslim, ayah dan ibu angkat Supandi memeluk Katolik. Mereka bermimpi Supandi kecil kelak menjadi seorang penginjil. Sejak Supandi masih bocah, mereka memperkenalkannya kepada lingkungan gereja. Supandi aktif di gereja sampai ia remaja. “Banyak yang menyebut saya mantan pastor atau pendeta, padahal saya belum sampai di tingkat itu,” katanya.

Namun, dalam perjalanannya mempelajari Alkitab ketika remaja itu, beberapa ayat membuatnya galau. Supandi mendiskusikan ayat tersebut dengan orang terdekat dengan harapan mendapatkan pencerahan, tapi yang ia peroleh justru sebaliknya. Supandi remaja yang langganan juara kelas itu akhirnya memutuskan mencari jawaban sendiri dengan mempelajari berbagai kitab dari agama lain, termasuk Al-Quran.

Seperti caranya mempelajari Alkitab, Supandi menekuni Al-Quran ayat demi ayat. Ia membaca terjemahan Al-Quran, menyelami tafsirnya, sampai menelaah dari sisi tata bahasa Arab alias ilmu sarafnya. “Dari situ saya tahu bahwa Al-Quran bukan karangan Nabi. Muhammad hanyalah perantara, sementara yang mencipta Al-Quran benar-benar ialah Allah Yang Maha Esa,” ujarnya. Permulaan ini yang membuatnya jatuh cinta kepada Islam. Diam-diam Supandi memeluk agama tersebut ketika berusia 19 tahun.

Orang tuanya yang mendapati Supandi menjalankan salat mula-mula meledeknya. Mereka menyangka anaknya tersebut sedang melucu. Namun, ketika mengetahui bahwa Supandi konsisten menunaikan salat dan melakoni kewajiban Islam yang lain, mereka meradang. Supandi mengenang hari-hari berikutnya dipenuhi dengan perdebatan antara ia dan orang tuanya atas pilihan agama barunya. Namun akhirnya sang ibu bersyahadat pada 1980-an, demikian pula dengan sang ayah yang turut memeluk Islam hingga ajal.

Setelah pindah agama, Supandi aktif dalam kegiatan keagamaan di Sekolah Dasar Muhammadiyah Semarang. Ia ditugasi menjemput para pedakwah yang mengisi acara. Tak dinyana, meski belum lama menjadi mualaf, beberapa kali ia diminta menggantikan penceramah yang berhalangan hadir. “Orang-orang tidak percaya bahwa saya murni belajar Islam dari buku, sama sekali tidak pernah mondok,” ucap penulis buku Menyingkap Tabir Rahasia Iqra itu.

Rupanya, cara Supandi yang membawakan ceramah dengan ringan dan celetukannya yang jenaka membuat ia diterima masyarakat. Tengok saja beberapa video khotbahnya di YouTube. Dalam video yang diunggah pada 14 Agustus 2020, misalnya, Supandi menyapa para tamu kehormatan yang hadir di sana, termasuk yang ia sebut dengan Abah Toni. “Alhamdulillah jenenge Nastoni. Koncoku jenenge Toni, tapi dowone malah ra apik. Jenenge Toni, tapi undangane. Dowone malah syaitonirrojim (Alhamdulillah namanya Nastoni. Teman saya namanya Toni, tapi nama panjangnya malah tidak baik. Namanya Toni, itu panggilannya. Nama panjangnya syaitonirrojim [setan yang terkutuk]),” katanya. Para hadirin pun tergelak.

Supandi juga kerap membahas tentang perbedaan. Salah satunya dalam tayangan yang diunggah pada 23 Juli 2019 di YouTube. Kiai yang setia berbahasa Jawa dan mengenakan kemeja batik saat berkhotbah itu membicarakan perihal menentukan awal puasa Ramadan. Antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dengan pemerintah sering tak kompak.

Supandi (kiri) di rumahnya di Semarang, Jawa Tengah, 16 Maret 2021. Budi Purwanto

Muhammadiyah, yang menggunakan ilmu falak, bisa menghitung pergantian bulan tanpa melihat kemunculannya langsung. Sedangkan pemerintah dan NU memutuskan jatuhnya 1 Ramadan dengan melihat bulan secara langsung melalui teropong. “Ndilalah mendung, sing nginjen beleken, wah rame. Mulane terjadi perbedaan. Nek bedo padu kuwi ndeso (Kebetulan mendung, yang mengintip bulan belekan. Wah, ramai. Makanya terjadi perbedaan. Kalau berbeda jadi berantem itu kampungan),” ujarnya.

Supandi, yang khatam masalah perbedaan sejak masih belia, juga ogah menghina agama yang ia peluk sebelumnya, meski di panggung ia kerap menyampaikan tentang masa kecilnya yang Katolik dan menyitir ayat-ayat dalam Alkitab. “Saya tidak tertarik menjelek-jelekkan agama lain. Toh, sampai sekarang saya hidup damai berdampingan dengan kawan-kawan yang dulu seiman,” tuturnya.

Jika sedang libur berdakwah, pengagum cendekiawan Quraish Shihab ini membuka lebar-lebar pintu rumahnya. Ia menerima tamu yang datang dari semua golongan. Kediamannya di daerah Semarang Selatan itu kerap menjadi tempat nongkrong para kiai, pastor, pendeta, sampai pejabat daerah, seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, dan Wakil Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Abiyoso Seno Aji.

Hendrar Prihadi, yang mengenal Supandi sejak 2010, mengaku banyak belajar dari kiai tersebut dalam mengelola Kota Semarang. Menurut dia, cara berdakwah Kiai Supandi cocok dengan karakteristik Kota Semarang yang heterogen dengan penduduk yang berlatar Jawa, Cina, Arab, juga dengan beragam agama. “Kami mengimplementasikan dalam mengelola Kota Semarang menjadi kota yang kondusif,” ucap pria yang akrab disapa Hendi itu, Jumat, 26 Maret lalu.

Dakwah Supandi yang mengingatkan tentang keberagaman, kata dia, diperlukan untuk menjaga kerukunan antarumat beragama. Supandi konsisten menyampaikan dakwah dengan santun dan toleran. Terlebih gaya ceramah Supandi mudah diterima baik oleh santri maupun orang awam. “Beliau mampu tampil memberikan pencerahan yang tidak melulu berbicara keegoan sebuah agama, tapi menajamkan tentang Islam dan merangkul warga yang beragama lain,” ujar Hendi.

SOFIE DWI RIYANI, JAMAL A. NASHR (SEMARANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus