Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saadawi Telah Pergi

KETIDAKADILAN dialami Nawal El Saadawi sebagai perempuan sejak napas pertamanya. Di Desa Katr Tahla, tempat dia lahir pada 27 Oktober 1931, kehadiran anak perempuan dianggap sebagai dosa dan kemalangan, sementara kelahiran anak laki-laki patut dirayakan. Yang paling traumatis baginya adalah pengalaman saat secuil daging klitorisnya diambil dalam sunat perempuan. Dia menjadi pejuang hak perempuan yang bersuara paling lantang melawan patriarki dan penindasan terhadap perempuan. Buku-bukunya yang sebagian besar berlatar belakang di Mesir dapat dibaca sebagai permasalahan universal. Gelombang perjuangannya menyentuh para perempuan di sudut-sudut lain dunia, tak terkecuali di Indonesia. Saadawi wafat pada 21 Maret 2021, meninggalkan jejak dalam gerakan perempuan dan hak asasi manusia di seluruh dunia.

27 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Nawal El Saadawi di Kairo, Mesir, 2001. REUTERS/Mona Sharaf

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAAT merapikan kertas-kertas di dalam laci tua di perpustakaannya, perempuan itu menemukan sebuah buku tulis dari tahun 1944. Itu buku tulisnya pada tahun pertamanya di sekolah menengah pertama. Ada tulisan “Perlu dikembangkan” pada sampul depan buku. Semua lembar buku itu terisi penuh cerita yang dia tulis dengan tangan tentang “Memoar Seorang Gadis Kecil Bernama Suad”. Seorang guru bahasa Arab menugasi para siswa memilih satu topik dan menuliskannya sepanjang tiga halaman. Perempuan belia itu menyetor cerita sepanjang satu buku tulis. Oleh gurunya, buku tersebut dibaca, lalu dikembalikan. Guru itu memandangnya dengan marah dan berteriak: “Nol!”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan itu adalah Nawal El Saadawi, yang kelak dikenal dunia sebagai penulis, feminis, pejuang hak asasi manusia, dan dokter psikiatri asal Mesir. Kenangan suram tentang pengalaman awalnya menulis itu dapat dibaca dalam pembukaan buku Mudzakarat Tiflah (Memoar Gadis Kecil) yang ditulis di Kairo pada 1990. Meski usianya sudah lewat 45 tahun, dia masih mengingat jelas sosok guru itu: pendek, gemuk, memakai torbus (peci tinggi khas Turki) yang tenggelam sampai ke dua kupingnya. Sang guru membawa tongkat rotan yang kerap dilecutkan kepada murid-muridnya. Saadawi tak habis pikir bagaimana sewaktu usia SMP dia dapat menulis seperti itu dan bagaimana mungkin guru tersebut memberinya nilai nol. “Mungkin angka nol inilah yang membuat saya berhenti menulis selama bertahun-tahun. Dialah yang membuat saya masuk fakultas kedokteran dan bukannya fakultas sastra,” tulis Saadawi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memoar Seorang Dokter

Untunglah Saadawi tak berhenti menulis. Justru lewat tulisan-tulisannya kemudian dia begitu nyaring menyuarakan ketidakadilan terstruktur yang dialami perempuan. Dia disudutkan, dimusuhi, kehilangan pekerjaan, bahkan pernah dipenjara karena tulisan, tapi langkahnya tak pernah surut. Ketika wafat pada usia 89 tahun, 21 Maret 2021, Saadawi meninggalkan jejak yang panjang dan dalam pada perjuangan melawan berbagai bentuk penindasan terhadap manusia, terutama kaum perempuan. “Kata-kata tertulis bagi saya telah menjadi tindakan pemberontakan melawan ketidakadilan yang dilakukan atas nama agama, moral, atau cinta,” tulis Saadawi dalam A Daughter of Isis.

Di Indonesia, kita mengenal Nawal El Saadawi antara lain lewat kerja penerjemahan dan penerbitan yang diawali Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Dari setidaknya 55 karya Saadawi, delapan judul telah diterbitkan oleh penerbit ini. Buku pertamanya yang diterbitkan Obor adalah Perempuan di Titik Nol pada 1989. Amir Sutaarga menerjemahkannya dari bahasa Inggris. Pengantar buku ini ditulis Mochtar Lubis, yang saat itu menjabat Ketua Penerbit Obor. “Buku yang keras dan pedas,” Mochtar berkomentar dalam pengantar.

Perjalananku Mengelilingi Dunia

Buku ini pula yang paling banyak dibicarakan ketika dunia membahas Saadawi. Ditulis pada 1975, Perempuan di Titik Nol adalah pemfiksian Saadawi atas kisah Firdaus, seorang tawanan perempuan yang menanti hukuman mati yang dia temui di penjara Qanatir, Mesir, dua tahun sebelumnya. Saadawi merunut beragam kekerasan seksual yang diterima perempuan dari segala arah. Bagi Firdaus, teror itu telah dia alami sejak masih kanak-kanak dan dilakukan oleh orang-orang terdekatnya sendiri. Ketika akhirnya Firdaus menjadi pelacur, itu adalah pilihan yang dia ambil demi mendapatkan kembali kemerdekaan atas tubuhnya, atas nasibnya. Kisah ini terjadi di Mesir, tapi Saadawi mendudukkannya sebagai persoalan universal atas kaum perempuan.

Setelah Perempuan di Titik Nol, Obor menerbitkan tujuh buku Saadawi lain. Salah satunya dialihbahasakan langsung dari bahasa Arab. Sisanya diterjemahkan dari bahasa Inggris. “Yang paling laris tetap Perempuan di Titik Nol, hingga kini telah cetak ulang sebanyak 16 kali,” kata Kartini Nurdin, Ketua Yayasan Obor saat ini, lewat wawancara telepon pada Rabu, 24 Maret lalu.

Perempuan Di Titik Nol

Buku itu dicetak sebanyak 1.000-3.000 eksemplar setiap kali masuk percetakan. Sepanjang masa pandemi ini, jumlah pembeli buku secara daring meningkat dan Perempuan di Titik Nol salah satu yang banyak dicari. Menurut Kartini, buku ini laku sebanyak 3.000 eksemplar sepanjang tahun lalu. Kematian Saadawi juga membuat permintaan bukunya bertambah. Tapi Kartini belum dapat memastikan angkanya.

Setelah Perempuan di Titik Nol, karya Saadawi terbitan Obor yang banyak dicari adalah Memoar Seorang Dokter Perempuan (1990) dan Perjalananku Mengelilingi Dunia: Catatan Perjalanan Seorang Penulis Feminis (2006). Dalam Memoar Seorang Dokter Perempuan, Saadawi menulis fiksi bergaya biografi tentang perempuan muda Mesir yang mempelajari ilmu kedokteran, bidang yang didominasi lelaki. Di antara penjabaran rinci prosedur dan praktik kedokteran, Saadawi mengemukakan betapa seorang perempuan yang sedang menempuh pendidikan tinggi tetap harus menghadapi tembok-tembok tinggi diskriminasi. Buku ini terbit pertama kali dalam format serial di majalah Ruz al-Yusuf di Mesir pada 1957. Serial ini kemudian dibukukan menjadi novel pertama Saadawi. Namun beberapa bagian buku itu disensor sebelum diterbitkan.

Adapun Perjalananku Mengelilingi Dunia adalah refleksi Saadawi atas situasi perempuan di berbagai tempat yang dia kunjungi, terutama di negeri-negeri yang kental diwarnai maskulinitas dan patriarki berbalut religi. Dalam perjalanan itu, mata Saadawi makin terbuka melihat ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di seluruh dunia. Versi bahasa Indonesia buku ini terbit bertepatan dengan kunjungan Saadawi ke Jakarta pada November 2006. Kala itu, dia hadir sebagai pembicara utama Konferensi Internasional Perempuan Penulis Naskah Drama di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Kartini menyopiri Saadawi dalam perjalanan menuju Galeri Nasional. Di tengah jalan, mereka dihentikan polisi karena keliru berbelok ke jalan satu arah. “Tapi, ketika saya bilang saya membawa tokoh besar dari Mesir, kami dibolehkan jalan terus,” Kartini mengenang.

Faiza Mardzoeki saat ditemui di Sleman, Yogyakarta pada 5 Januari 2021. Faiza adalah seorang penulis naskah, sutradara, produser teater dan aktivis kesetaraan perempuan. TEMPO/Yovita Amalia

Produser teater Faiza Mardzoeki turut hadir dalam konferensi itu. Dia ingat pidato Saadawi yang tajam dan tanpa tedeng aling-aling mengkritik industri kapitalis yang menjebak perempuan. Salah satunya industri makeup. “Padahal banyak perempuan peserta acara yang berdandan, tapi Nawal tak ragu menyuarakan kritiknya. Dia memang feminis yang keras kepala sekali,” ucap Faiza lewat telepon, Rabu, 24 Maret lalu.

Sekitar empat tahun sebelum pertemuan langsung itu, Faiza memproduksi teater pertamanya yang diangkat dari cerita Perempuan di Titik Nol bersama Solidaritas Perempuan. Boleh jadi ini pementasan pertama di Jakarta yang mengangkat kisah dari buku penulis Mesir itu.

Pertunjukan berlangsung tiga malam, diperankan Nurul Arifin sebagai Firdaus serta Ria Irawan yang merangkap peran sebagai Nona Iqbal dan Sharifa Salah el Dine. Hampir 3.000 orang datang menonton. “Sekitar 90 persen penonton adalah perempuan,” tutur Faiza, yang menjadi pemimpin produksi pertunjukan itu.

Pementasan monolog "Perempuan di Titik Nol" oleh Hamidah dalam Festival Salihara di Komunitas Salihara, Jakarta Selatan, Desember 2008. Dok. Tempo/Panca Syurkani

Sempat terjadi kericuhan di depan gedung pertunjukan, Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada malam perdana pementasan, 20 April 2002. Sekitar 100 orang kecewa karena tak kebagian tiket.

Pentas itu direstui Saadawi. Faiza dan timnya sebelumnya berkirim surat untuk meminta izin kepada Saadawi di Mesir. Saadawi mengirimkan pesan solidaritas yang kemudian dibacakan sebelum pertunjukan dimulai.

Faiza telah lama menjadikan Perempuan di Titik Nol bacaan wajibnya. Dia menilai buku itu radikal karena mengangkat persoalan tentang seksualitas dan perputaran kekerasan di sekitar perempuan. Saat membaca tulisan Saadawi, dia merasa seperti melihat ke dalam sebuah akuarium persoalan yang juga mencerminkan permasalahan perempuan yang terjadi di Indonesia tapi jarang diperbincangkan. “Sulit sekali memperjuangkan isu kekerasan perempuan, tapi Nawal membongkar itu,” ucap Faiza.

Pementasan itu digagas ketika Faiza merasa gerakan perempuan sedang jalan di tempat. Beragam kegiatan seminar, diskusi, dan advokasi telah digerakkan, tapi tak terlihat kemajuan menggembirakan dalam aktivisme perempuan. Faiza kemudian merumuskan pertunjukan teater ini sebagai medium baru perjuangan. Di luar dugaan, antusiasme para perempuan begitu besar. “Dalam situasi perempuan tidak bisa bicara terbuka seperti pada waktu itu, pertunjukan teater ternyata menjadi ruang bagi perempuan untuk becermin dan membicarakan situasinya,” ujar Faiza.

Pementasan monolog "Perempuan di Titik Nol" oleh Hamidah dalam Festival Salihara di Komunitas Salihara, Jakarta Selatan, Desember 2008. Dok. Tempo/Panca Syurkani

Dua puluh tahun lalu, wacana dan pergerakan perempuan belum sekuat sekarang. Karya sastra, pertunjukan, ataupun film yang membicarakan perempuan masih menjadi barang langka. Dapat dibilang karya Saadawi menjadi salah satu pelatuk yang menguatkan perjuangan perempuan kita.

Berangkat dari suksesnya pementasan Perempuan di Titik Nol itu, Faiza makin menekuni advokasi perempuan lewat kesenian. Dia memproduksi sejumlah pertunjukan yang berfokus pada kisah perempuan, seperti Nyai Ontosoroh, Perempuan Menuntut Malam, dan Nyanyi Sunyi Kembang-kembang Genjer. Terakhir, pada akhir tahun lalu, Faiza menggagas lima pentas dengan lima sutradara teater perempuan dari berbagai wilayah Indonesia berjudul Waktu tanpa Buku.

Nawal El Saadawi (kanan)saat pembukaan Konferensi Internasional ke- 7 Perempuan Penulis Naskah Drama di Galeri Nasional, Jakarta, November 2006. Dok.TEMPO/Ken Arini

Pandangan kritis Saadawi mengenai feminisme juga menggerakkan Iswadi Pratama. Pada awal Desember 2008, sutradara, aktor, dan penulis naskah ini mementaskan teater Monolog Perempuan di Titik Nol yang diadaptasi dari novel Saadawi. Ketika itu, di panggung Salihara, Jakarta Selatan, tokoh Firdaus, pelacur 19 tahun dalam novel Perempuan di Titik Nol, diperankan Hamidah. 

Iswadi mengaku tersirap kisah dalam novel Saadawi sejak duduk di kelas tiga sekolah menengah atas. Ia lebih dulu melahap Jatuhnya Sang Imam, baru kemudian Perempuan di Titik Nol. “Dulu hanya niat membaca, tapi kemudian novel-novel itu mempengaruhi Teater Satu yang saya dirikan dan kelola bersama istri (Imas Sobariah, seniman),” katanya melalui telepon, Rabu, 24 Maret lalu. Iswadi mengaku juga terpengaruh pemikiran feminis lain, seperti Fatima Marisi dari Maroko dan Amina Wadud dari Amerika Serikat.

Ada sejumlah pertimbangan yang membuat Iswadi akhirnya mengusung novel Perempuan di Titik Nol ke ranah teater. Pertama, perjuangan untuk kesetaraan gender oleh Saadawi sangatlah berat. Saadawi tinggal di Mesir yang tak hanya patriarkal, tapi juga kuat dogma agamanya. Hal itu yang dianggap Iswadi membuat sikap kritis Saadawi istimewa. “Menjadi feminis di negara liberal tentu berbeda takaran tantangannya dengan di negara yang kultur patriarkinya berakar sangat kuat,” ucapnya.

Dr Nawal el-Saadawi di Tahrir Square, Kairo, Mesir, Februari 2011. TEMPO/Qaris Tajudin

Pertimbangan kedua, kultur Indonesia dan Mesir punya kesamaan nilai karena kedua negara sama-sama berpenduduk mayoritas muslim. Ia berharap upayanya membawa novel Saadawi ke panggung pertunjukan bisa mengilhami gerakan feminisme di Indonesia. Pertimbangan lain: novel tersebut tak cuma berperspektif gender, tapi juga mengarahkan pembaca untuk menafsirkan lagi teks ajaran agama. Walau begitu, Iswadi mengakui narasinya tak secara eksplisit mengarah ke sana.

Selepas Monolog Perempuan di Titik Nol, Iswadi menghelat Panggung Perempuan Sumatera. Acara itu memberikan ruang kepada perempuan Sumatera untuk lebih aktif berkesenian. Selama ini, Iswadi mengungkapkan, perempuan jauh dari riuh panggung teater Sumatera. Bilapun ada perempuan yang aktif dalam kegiatan seni, mereka kerap diplot untuk peran domestik, seperti mengurus konsumsi atau hubungan masyarakat. Itulah sebabnya ia dan Imas, istrinya, mendorong perempuan mengaktualisasi diri di panggung teater baik sebagai pemeran maupun pengisi jabatan strategis, seperti manajer panggung dan penulis naskah.

Pertunjukan teater ataupun monolog berdasarkan Perempuan di Titik Nol masih terus dipentaskan berbagai kelompok di kota-kota lain. Lama setelah Saadawi pergi, barangkali kita akan dapat terus mendengar kutipan Firdaus bergaung: “Saya lebih suka menjadi pelacur yang bebas daripada menjadi istri yang diperbudak.”

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA, ISMA SAVITRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus