MUSIM BERGANTI Sekilas Sejarah Indonesia 1925-1950 Oleh: Rosihan Anwar Penerbit: PT Grafiti Pers, Jakarta, 1985, 199 halaman JOHN Lie, nama ini tak ada dalam buku-buku pelajaran sejarah. Padahal, dialah nakoda paling berani di zaman awal-awal kemerdekaan RI. Di waktu untuk mengadakan hubungan dengan luar negeri pihak RI harus menembus blokade tentara Belanda, John Lie dengan kapalnya punya peranan besar. Rosihan Anwar berkisah. Kapal John dipenuhi dengan tulisan kutipan dari Injil. Ia, dengan anak buahnya yang masih remaja, sering membawa senjata dari Bukhet, sebuah kota kecil di barat laut Muangthai ke Indonesia. Itu makanya keturunan Tionghoa, orang Kristen yang saleh, yang bekerja untuk Republik ini dijuluki "penyelundup kitab suci dan senjata". John pula yang sering membawa hasil bumi Indonesia, dijual di luar negeri, uangnya untuk membiayai para diplomat kita. Rosihan, wartawan sejak 1943, tentunya tak menyaksikan sendiri aksi John Lie. Sebagaimana sebagian besar kilasan sejarah dalam buku ini, diceritakannya kembali dari hasil membaca sejumlah buku. Bukan sembarang buku, tapi buku-buku yang ditulis oleh orang-orang Belanda yang dulu ikut menyaksikan kejadian-kejadian itu. Atau bahkan, misalnya buku Besturen Overzee, yang mengisahkan pengalaman 12 kontelir (setingkat bupati sekarang) Belanda, ditulis oleh pelakunya sendiri. Maka, kisah sejarah Indonesia 1925-1950 ini bukan sejarah yang kering. Apalagi gaya Rosihan berkisah, dengan bahasa reportasenya yang hidup, dengan kalimat pendek-pendek, dan gampang dipahami, membuat cerita bagaikan terpapar di layar putih. Seolah kita melihat sendiri kapal John Lie berkelok-kelok menghindarkan mortir-mortir Belanda. Seperti kita ikut duduk dalam sidang pengadilan di Aceh, yang harus memutuskan kasus perzinahan - para kontelir bukannya jarang harus pula bertindak selaku hakim, di tahun 1930-an itu. Atau kita ikut terbang bersama Dakota yang dibawa Bob Freeberg, pilot Amerika yang bekerja untuk RI, yang, sebagaimana John Lie dengan kapalnya, menyelundupkan macam-macam: suku cadang mesin, obat-obatan, dan membawa keluar hasil bumi. Bagi mereka yang menganggap sejarah adalah peristiwa-peristiwa berbau "formal" - sebagaimana yang biasanya dijejalkan dalam buku-buku pelajaran sejarah - buku Rosihan ini tentulah bukan sejarah. Penulisnya sendiri dengan rendah hati menyebut buku ini semata "untuk kesenangan membaca dan hiburan murni". Tapi bahwa kisah-kisah ini, ada 28 cerita, dikisahkan oleh orang yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa nyata itu, memang benar. Bahwa cerita-cerita itu bisa menjadi ilustrasi menarik dari suatu kasus sejarah "formal", bukanlah mustahil. Misalnya, reportase Dr. J.G. De Beus dalam buku yang dikutip Rosihan, mengenai serah terima pemerintahan di Istana Negara, dari para pejabat Belanda kepada para pejabat RI, 27 Desember 1949. Bagaimana massa yang ikut menonton dari luar Istana bersuit-suit ketika merah-putih-biru diturunkan, dan bagaimana mereka bersorak ketika sang dwiwarna dikibarkan. De Beus bagaikan diiris-iris hatinya mendengar suitan-suitan, sementara bendera kebangsaannya diturunkan. Rosihan sendiri menceritakan beberapa pengalaman pribadinya. Misalnya, pertemuannya dengan Jenderal Sudirman di Desa Ponjong, Wonosari. Jenderal berparu-paru tinggal satu itu bercerita kepada Rosihan, ia meringkuk sehari semalam di semak-semak bersembunyi dari pengejaran Belanda. "Sepatu laars serdadu-serdadu Belanda yang lewat beberapa meter di depan saya jelas kelihatan Untung, saya tidak batuk-batuk waktu itu," tutur Pak Dirman yang dicatat Rosihan. Di tengah ramainya pelajaran sejarah nasional dar pelajaran sejarah perjuangar bangsa (PSPB) dibincangkan, buku Rosihan sesungguhnya merupakan contoh bagaimana semestinya buku pelajaran sejarah ditulis: enak dibaca, gampang dipahami, penuh ilustrasi peristiwa. Sebuah peristiwa tak cukup dicatat hanya dengan sekadar tanggal dan nama orang. Apalagi bila pelajaran sejarah dimaksudkan untuk menimbulkan "rasa patriotisme", ilustrasi perjuangan yang mengesankan sesungguhnya lebih bisa menggugah rasa itu. Misalnya kisah sekelompok utusan RI diselundupkan ke luar negeri dari pelabuhan Tegal guna melakukan propaganda Indonesia merdeka, pada 1946. Memang, dua kaliupaya menembus blokade Belanda itu gagal - yang pertama tertangkap kapal patroli Belanda di perairan Jepara, yang kedua kandas di Pulau Kisar, di barat Pulau Flores, yang ternyata dikuasai tentara Belanda. Tapi cerita keberanian sekelompok orang yang diutus itu, yang tak pernah sempat ditulis dan dihafalkan nama-namanya oleh murid-murid sekolah, lebih bisa memberikan contoh nyata. Tampaknya kita sudah telanjur lebih biasa menghargai orang-orang besar dan peristiwa-peristiwa besar. Daripada, orang-orang biasa dan peristiwa-peristiwa biasa. Padahal, nama besar dan peristiwa besar, biasanya, dalam sejarah cenderung direduksikan menjadi tokoh dan peristiwa satu dimensi. Musim Berganti memberikan contoh bahwa orang-orang biasa dan peristiwa-peristiwa "di luar sejarah" sesungguhnya adalah bagian juga dari sejarah. Orang-orang itu dan peristiwa-peristiwa itu rasanya justru lebih dekat dengan hidup kita sehari-hari. Bila sejarah dimaksudkan, antara lain, sebagai cermin, sebagai teladan, agaknya kisah-kisah sejenis yang dikumpulkan Rosihan layak dimasukkan ke dalam buku-buku sejarah. Tentu, konfirmasi ke sejumlah sumber lain selain dari penceritanya sendiri diperlukan - guna menghindarkan isapan jempol dianggap fakta. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini