Studying Ethnic Chinese in Indonesia
Pengarang : Charles A. Coppel
Penerbit : Singapore Society of Asian Studies, Singapore 2002
Tebal : 410 hlm. + ix
Ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk memahami buku ini. Pertama, keputusan sang penulis, Charles Coppel, untuk meninggalkan profesi ahli hukum (barrister) dan menerjunkan diri selaku sejarawan pada akhir 1960-an, yakni sejarawan dengan spesialisasi sejarah orang-orang Cina di Indonesia. Kedua, situasi krisis yang dialami hampir semua orang Cina di Indonesia, menyusul peristiwa Gerakan 30 September 1965. Akibat peristiwa itu, mereka secara sistematis mengalami proses marginalisasi politik dan harus menanggung stigma "komunis" yang hingga kini masih menjadi momok (specter) dalam kehidupan politik di Indonesia.
Dengan demikian, buku yang berisi sejumlah artikel yang ditulis mulai awal tahun 1970-an hingga awal tahun 2002 ini dapat diandalkan untuk menjadi semacam state of the art dalam studi mengenai orang Cina di Indonesia. Bahkan sekaligus menggambarkan intellectual odyssey si penulis.
Seperti yang pernah ditulis Coppel dalam disertasinya di Monash University—kemudian dibukukan menjadi Indonesian-Chinese in Crisis (Oxford University Press, 1983)—bab pertama buku ini mencoba menyandingkan (juxtapose) masalah yang dihadapi orang Cina di Indonesia pada dua kurun waktu yang berbeda. Segera setelah Soeharto berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan pada 1966, orang Cina di Indonesia menjadi kambing hitam berkaitan dengan tuduhan yang tak pernah terbukti—bahwa RRC terlibat dalam kudeta 30 September yang gagal. Hingga September 1965 secara politik orang Cina di Indonesia terpecah menjadi kelompok Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang berorientasi nasionalisme-kiri, tapi bukan berarti komunis, dan kelompok LPKB (Lembaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa) yang dibina (di bawah patronase) militer dan secara politik sangat kanan.
Kemenangan pihak militer segera dimanfaatkan oleh sejumlah politisi keturunan Cina dari kelompok LPKB untuk menghabisi kelompok Baperki. Maka, Soeharto segera mengeluarkan serangkaian kebijakan politik terhadap orang Cina yang intinya memaksa mereka melakukan asimilasi, sebagaimana diyakini oleh kelompok LPKB, sebagai satu-satunya cara menyelesaikan "masalah Cina". Di sinilah awal krisis yang harus ditanggung oleh orang Cina di Indonesia: dipaksa ganti nama, sekolah Cina ditutup, bahasa Cina dicurigai, dilarang merayakan tradisi kecinaan dan keagamaan mereka. Tapi, sementara semua yang bersifat Cina dijadikan setan yang harus diusir, pemerintah Orde Baru pendukung gerakan asimilasi juga menerapkan program penuh kontradiksi. Orang Cina didorong untuk berasimilasi, tapi di pihak lain mereka mengalami diskriminasi dan eksklusi politik hingga tak mungkin berasimilasi.
Tak disangkal bahwa segelintir orang Cina menikmati privilese luar biasa pada masa Orde Baru, sehingga menimbulkan sentimen anti-Cina. Dan ini menimbulkan masalah di kemudian hari. Ketika rezim Orde Baru terlihat begitu keropos, menyusul krisis finansial pada 1997, sejumlah perwira militer dan operator politik Soeharto berusaha menyelamatkan rezim dengan meniupkan sentimen anti-Cina. Dengan begitu, orang Cinalah yang harus bertanggung jawab atas kehancuran ekonomi Indonesia. Krisis ini benar-benar terjadi sejak akhir 1997 dan mencapai puncaknya pada 13 Mei 1998. Kala itu orang Cina di Jakarta, Solo, Medan, dan tempat-tempat lainnya menjadi sasaran amuk massa yang menjarah, membakar, menyerang, dan memerkosa. Tampaklah sejarah telah berulang, meski melalui jalur berbeda.
Satu hal yang tampak sepele namun sangat mendasar adalah perubahan sebutan Indonesian-Chinese menjadi Chinese-Indonesians. Coppel menyadari bahwa kini orang Cina Indonesia lebih tepat disebut Chinese-Indonesians, yang menjadikan "Indonesia" sebagai kata benda (noun) dan "Cina" sebagai kata sifat (adjective). Perubahan ini punya arti penting karena dengan demikian orang Cina di Indonesia telah menjadi orang Indonesia, meski masih dengan tambahan sifat kecinaan. Sama halnya dengan sebutan "African-American" atau "Chinese-American" yang menekankan bahwa mereka pertama-tama adalah orang Amerika, baru kemudian ditambah dengan sifat (adjective) keafrikaan atau kecinaan.
Pada bab lain, Coppel menyadarkan kita bahwa klasifikasi orang Cina sebagai "timur asing" ("vreemde oosterlingen") ternyata merupakan klasifikasi yang relatif baru. Regeerings Reglement (semacam konstitusi) tahun 1854 masih menempatkan orang Cina dalam klasifikasi sama dengan pribumi. Rupanya klasifikasi "timur asing" yang dikenakan pada orang (keturunan) Cina, India, dan Arab merupakan hasil amendemen Regeerings Reglement pada tahun 1899, yang menempatkan golongan "timur asing" terpisah dari golongan pribumi ataupun Eropa.
Tidaklah mengherankan ketika John Furnivall—pejabat kolonial Inggris di Burma yang kemudian dikenal dengan teorinya tentang plural society—berkunjung ke Jawa pada 1930, ia menemukan tiga golongan masyarakat di Hindia Belanda sesuai dengan, meskipun agak superfisial, ketiga golongan atau kelompok sosial yang mendasari teori plural society-nya. Rupanya Furnivall tak mempertanyakan kapan dan bagaimana klasifikasi ketiga golongan masyarakat itu diciptakan.
Benny Subianto, Peneliti, tinggal di Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini