Bulan puasa yang baru lewat terbilang istimewa buat staf di divisi Aset Manajemen Investasi (AMI) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sebuah parsel berisi kue-kue untuk berbuka puasa dikirim ke markas mereka di lantai 9 Gedung Danamon. Harganya pastilah tak mahal-mahal amat. Yang luar biasa adalah pengirimnya dan pesan yang tersirat di dalamnya. Kue itu berasal dari Mulyati Gozali, wakil Sjamsul Nursalim dalam negosiasi dengan BPPN. Yang tersirat di benak mereka yang dikirimi kue adalah mesranya hubungan antara divisi AMI dan Grup Gadjah Tunggal milik Sjamsul Nursalim. "Baru kali ini ada kiriman dari mereka. Selama ini hubungan kita dengan mereka selalu tegang," kata seorang staf, terheran-heran.
Keheranan itu terjawab ketika akhir November lalu bosnya, Taufik Maroef, menandatangani perjanjian sementara dengan Mulyati Gozali. Dan isi perjanjian itu tampaknya akan merugikan pemerintah. Di sinilah duduk masalahnya. Sumber TEMPO menyebutkan, persoalan Sjamsul selalu digiring pada pembayaran tunai yang Rp 1 triliun, padahal sebagian utang itu bisa dibayar dengan aset.
Tapi, yang lebih krusial adalah sisa utang Rp 27,4 triliun yang dibayar dengan aset yang nilainya sudah turun sampai 70 persen. Kalau pemerintah menerima aset tersebut begitu saja—tanpa penghitungan ulang—hal itu bisa menjadi skandal terbesar setelah kasus Bank Bali.
Apalagi sebuah dokumen yang didapat majalah ini menunjukkan utang Sjamsul bukanlah Rp 28,4 miliar seperti sering diberitakan, melainkan Rp 48,2 miliar. Bandingkan dengan nilai aset Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), yang berdasarkan hasil audit sementara—dilakukan oleh tim auditor internasional—hanya Rp 5,8 triliun. Angka ini tertulis dalam laporan Menteri Keuangan waktu itu, Fuad Bawazier, kepada Presiden Soeharto tanggal 18 Mei 1998.
Catatan khusus yang diberikan Fuad Bawazier kepada Sjamsul adalah bank miliknya itu (BDNI) sudah digayuti masalah likuiditas jauh sebelum krisis terjadi. BDNI mendapat dana besar dari Bank Indonesia melalui SBPU khusus sebesar Rp 9,8 triliun. Hasil pemeriksaan juga menunjukkan antara Mei dan Oktober 1997 bank ini memberikan pinjaman baru kepada grup sendiri sebesar US$ 600 juta.
Surat lainnya yang ditandatangani Ketua BPPN waktu itu, Iwan Prawirawinata, menyebutkan kecurangan yang dilakukan Sjamsul melalui BDNI, antara lain berupa rekayasa pemberian fasilitas kredit. Berdasarkan perbuatan ini saja, Sjamsul sangat mungkin dihadapkan ke pengadilan.
Dalam perkembangan selanjutnya, utang Rp 48,2 triliun itu dipoles angkanya. Sumber TEMPO yang lain mengatakan, sebuah sekuritas milik pemerintah telah menyulap kewajiban Sjamsul sehingga, simsalabim…, turun menjadi hanya Rp 28,4 triliun. Setelah ditelusuri, ternyata perusahaan sekuritas itu sudah lama menjadi penasihat keuangan Grup Gadjah Tunggal. Waktu ditanyakan tentang penurunan nilai kewajiban itu, jawaban mereka sungguh enteng. Katanya, yang penting target menghitung kewajiban Sjamsul, selesai.
Ditambahkannya, sejak perjanjian MSAA ditandatangani antara BPPN dan Sjamsul Nursalim, seorang pejabat BPPN sudah meyakini bahwa pemilik Gadjah Tunggal ini tak akan pernah membayar utangnya dengan baik. "Awal persoalan BDNI sudah terlihat sejak negosiasi pertama tahun 1998 itu," katanya.
Sejak itu, banyak perhitungan aneh muncul. Keanehan pertama adalah angka Rp 28,4 triliun. Dia menirukan jawaban perusahaan sekuritas itu bahwa posisi total aset BDNI Rp 48 triliun per Agustus 1998. Angka ini pun dipertanyakan karena berasal dari pemegang saham yang kebenarannya tidak pernah dicek. Aset itu terbagi dua: Rp 20 triliun aset non-grup dan Rp 28 triliun aset terafiliasi. Lalu, perusahaan ini dinyatakan mempunyai total utang sekitar Rp 20 triliun dengan kerugian Rp 28 triliun.
Keanehan kedua adalah utang grup yang Rp 28 triliun dikembalikan ke Sjamsul. Konglomerat bank ini kemudian berjanji menyediakan tunai Rp 1 triliun untuk pembayaran awal. Duitnya didapat dari banknya di Amerika, yang akan dijual senilai US$ 100 juta dengan kurs Rp 11.000. Kenyataan menunjukkan, Sjamsul tak pernah menepati janjinya.
Meski dicap tidak kooperatif oleh BPPN, toh Sjamsul tak dijatuhi ganjaran apa pun sampai sekarang. Bahkan akhirnya diberikan perjanjian yang bisa membebaskannya dari belitan utang. Sumber TEMPO mengatakan, empat butir perjanjian menyebutkan Sjamsul dibolehkan menyetor hanya Rp 250 miliar tunai dan Rp 177 miliar berbentuk aset. Ini bertentangan dengan MSAA, yang mengharuskan "warga" Singapura ini menyetor Rp 1 triliun tunai. Kedua, pemegang saham harus menyelesaikan masalah administratif pengalihan aset ke BPPN dan pendaftaran ke biro administrasi efek.
Ketiga, dilakukan uji tuntas keuangan terhadap aset-aset yang diserahkan Sjamsul ke BPPN. Dalam perjanjian itu sudah dilampirkan term of references (TOR) uji tuntas. Setelah itu, pemerintah akan berbaik hati memberikan release and discharge. Lengkapnya tertulis di situ: "...pemerintah akan memberikan kepastian hukum kepada pemegang saham berkaitan dengan release and discharge yang telah diberikan dan secara tertulis akan merekomendasikan kepada pihak yang berwenang, termasuk kejaksaan, untuk memberi kepastian hukum."
Sumber itu meminta pemerintah mewaspadai dua hal dalam kesepakatan itu: soal pemberian kepastian hukum dan uji tuntas. Pemberian kepastian hukum, katanya, tak sepenuhnya salah. Hanya, perjanjian itu bisa diselewengkan seolah-olah pemerintah sudah memberikan surat bebas kepada Sjamsul. Padahal surat asli release and discharge masih tersimpan rapi di BPPN. Yang pernah diberikan ke Sjamsul hanya fotokopinya.
Yang kedua, soal uji tuntas. Dia menekankan, harus jelas apa yang ingin dicapai dari uji keuangan ini. Apakah menilai kembali aset atau hanya mencari misrepresentasi. Kalau melihat penyerahan aset yang tidak disertai balik nama, harusnya uji tuntas dilakukan untuk menilai ulang kembali aset tersebut. Apalagi, sejak aset diserahkan empat tahun lalu, BPPN tak punya kuasa atas aset tersebut sehingga tidak mengetahui bagaimana kondisinya. Dalam perjanjian itu, katanya, tidak jelas uji tuntas seperti apa yang akan dilakukan BPPN terhadap aset-aset milik Sjamsul.
Kekhawatiran itu sangat masuk akal. Bagaimana Kepala BPPN Syafruddin Temenggung menjanjikan surga bagi Sjamsul, sementara perilaku obligor ini justru harus dihargai sebaliknya. Kajian tim bantuan hukum sudah sangat gamblang menyatakan betapa Sjamsul tidak bisa memenuhi sebagian besar kewajibannya, mulai dari membayar tunai Rp 1 triliun yang baru dibayar Rp 316 miliar sampai aset yang belum dibalik nama. Tim ini juga menemukan seabrek persyaratan closing lainnya yang belum dipenuhi Sjamsul, antara lain tidak semua pernyataan dan jaminan dalam MSAA benar, akurat, dan lengkap diberikan.
Kartini Muljadi dalam kajian hukumnya juga menyimpulkan Sjamsul Nursalim telah cedera janji. Penyebabnya juga tak jauh beda dengan kajian tim bantuan hukum. Pemilik Gadjah Tunggal ini tidak membayar lunas tunai Rp 1 triliun sesuai dengan MSAA, juga tidak membalik nama perusahaan yang diserahkan ke perusahaan induk Tunas Sepadan Indonesia. Kartini juga menemukan Sjamsul belum menyerahkan aset tambahan ke rekening penampung.
Mar'ie Muhammad, Ketua Oversight Committee (OC), menegaskan tidak ada yang disebut perjanjian sementara. BPPN harus mematuhi perjanjian MSAA yang telah disepakati bersama. "OC akan berpegang pada perjanjian MSAA yang berlaku," ujarnya. Sebelumnya, Mar'ie juga menegaskan bahwa Sjamsul tetap harus membayar Rp 684 miliar kekurangan tunai untuk memenuhi kewajibannya yang Rp 1 triliun.
Tentang hal itu, Kepala Divisi Komunikasi BPPN, Raymond van Beekum, mengatakan proses Sjamsul masih panjang. Dia masih harus membayar Rp 420 miliar dan menyerahkan aset-aset yang dijanjikan dalam MSAA yang dievaluasi ulang.
Sebuah sumber di luar BPPN yang membenarkan adanya perjanjian itu mengatakan perjanjian itu dibuat oleh BPPN. Sjamsul Nursalim tinggal menyepakati saja. Pembayaran tunai Rp 428 miliar akan dilakukan melalui deposito Gadjah Tunggal—selama ini sudah ada di BPPN—yang segera dilakukan akhir Desember ini. Penyerahan legal aset di Tunas Sepadan sudah selesai. Yang belum terlaksana adalah penyerahan fisik aset, terutama yang berbentuk saham, karena ada di brankas yang kuncinya dipegang BPPN. Sementara itu, BPPN pernah mengatakan kuncinya justru dipegang Sjamsul Nursalim.
Pemerintah boleh berganti-ganti, tapi Sjamsul selalu ada di hati setiap pemimpin negeri ini. Abdurrahman Wahid pernah mengatakan agar tiga pengusaha tak diganggu, salah satunya adalah Sjamsul Nursalim. Megawati juga bertekad memberantas korupsi-kolusi-nepotisme, tapi Sjamsul Nursalim sampai sekarang tak bisa digaet oleh tangan-tangan hukum. Padahal persoalan utang Sjamsul sudah menghabiskan energi yang lumayan besar. Kehadiran tim bantuan hukum pun ternyata tak cukup bermanfaat untuk menuntaskan utang konglomerat. Lain halnya Syafruddin Temenggung. Sementara Kepala BPPN ini yakin akan kebijakannya yang kontroversial terhadap Sjamsul, Sjamsul juga amat percaya akan keampuhan bahasa uang yang selama ini diterapkannya.
Leanika Tanjung, Taufiqurohman, Levi Silalahi, Agus Hidayat, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini