Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Dari Menteng ke Tel Aviv

Probosutedjo bolak-balik ditegur Soeharto karena berupaya mengangkat pengusaha pribumi. Senin pekan lalu, ia berpulang pada usia 87 tahun.

1 April 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Dari Menteng ke Tel Aviv

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA mengenal Probosutedjo sejak 1978. Saat itu, Eyang (ibunda dari Rachmi Hatta) hendak menjual rumahnya di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. Saya menawarkannya kepada Pak Probo, yang tinggal di sebelahnya. Dia sudah menjadi pengusaha dan aktif di Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia serta Kamar Dagang dan Industri.

Meski Probo tidak membelinya-rumah itu dibeli pengusaha Robby Sumampouw-kami jadi bersahabat selama 40 tahun. Setiap kali saya berulang tahun, dia tidak pernah lupa mengirimkan makanan kesukaan saya, pai apel. Pesan dari Le Meridien, Jakarta. Selain karena hotel itu miliknya, pai apel mereka paling enak se-Jakarta.

Sejak awal, saya terkesan oleh cita-cita Probo yang ingin mengangkat pengusaha pribumi. Padahal memihak pribumi sama dengan dicap rasialis dan dimusuhi banyak orang. Presiden Soeharto, yang tak lain abangnya, berulang kali menegur Probo. Saya menyaksikan teguran itu setelah pengusaha Hasjim Ning menyelipkan kalimat "kita harus menjadi tuan di negeri sendiri" dalam pidatonya di Istana Negara pada awal 1990-an. Di Bina Graha, kami diam saja menghadapi teguran Pak Harto, yang punya banyak teman pengusaha Cina. Tapi, di kantor Kadin, Probo menggerutu. Toh, dia jalan terus.

Bagi Probo, Pak Harto adalah segala-galanya. Dia membuat Museum HM Soeharto di tempat kelahiran mereka di Kemusuk, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Ada patung besar Pak Harto di rumah Probo. Persis sekali dengan aslinya.

Juga dengan semangat memajukan pengusaha pribumi, Probo masuk dunia pendidikan. Pada 1981, dia mengajak saya, Slamet Iman Santoso, Santoso Sukardi, dan Enoch Markum mendirikan Akademi Wiraswasta Dewantara. Namanya diambil dari Ki Hajar Dewantara dan Tamansiswanya, tempat Probo menjadi guru di Pematangsiantar, Sumatera Utara, pada 1950-an. Dari akademi itu, berkembanglah Universitas Mercu Buana pada 1985. Dia juga membangun Universitas Wangsa Manggala di Yogyakarta.

Di luar pekerjaannya, Probo suka main tenis. Di mana-mana, dia membuka lapangan tenis, termasuk di Monas, Jakarta, pada 1980-an. Di antara teman main tenisnya adalah Moerdiono, Menteri Sekretaris Negara 1988-1998. Tiap tahun, dia memboyong kawan-kawan main tenisnya nonton kejuaraan Wimbledon di Inggris.

Ada cerita unik saat Probo dan kawan-kawannya di luar negeri. Pada 1988, setelah diundang Presiden Irak Saddam Hussein, kami singgah ke Yordania. Duta Besar Indonesia di sana, Profesor Sumaryo Suryokusumo, mengajak kami ke Yerusalem. Di Masjid Al-Aqsa, kami kaget melihat Probo salat begitu khusyuk. Sampai berapa rakaat, saya tidak tahu.

Malamnya, sekitar pukul sembilan, Probo mengetuk pintu kamar hotel kami, mengajak ke Tel Aviv. Dia ingin tahu suasana ibu kota Israel. Kami pergi naik taksi liar supaya tidak terendus. Sampai Tel Aviv, Probo terkesan oleh pembangunan yang dia anggap setara dengan kota-kota di Amerika Serikat. Dia membeli jagung bakar dan es krim, terus pulang lagi. Sepanjang malam itu, kami ketakutan. Kalau orang tahu adik Presiden Indonesia mengunjungi Tel Aviv, bisa-bisa itu dianggap sebagai dukungan Indonesia ke Israel dan jadi masalah diplomatik.

Selama Probo dipenjara empat tahun karena kasus suap reboisasi hutan tanaman industri, saya dua kali menjenguknya. Dia tetap segar. Mungkin karena tidak merasa bersalah. Probo menggunakan lahan penjara Sukamiskin, Bandung, itu untuk mengembangkan bibit padi. Dia bilang hasil panen satu hektare padinya bisa mencapai 12 ton.

Banyak yang bilang saya orangnya Probo. Padahal hubungan kami murni pertemanan. Saya malah pernah membeli perusahaannya, yaitu PT Gaya Sastra Indah, produsen buku tulis AA, di Pulogadung, Jakarta Timur, pada 1990. Dia tawarkan harga Rp 6,7 miliar, saya iyakan tanpa tawar-menawar dan pemeriksaan ini-itu. Saya jual tanah, kumpulkan uang istri, ibu mertua, dan eyang, lalu bayar tunai seminggu kemudian. Sepeninggal Probo, harapan saya cuma satu: anak-anaknya bisa menjaga perusahaan orang tuanya, seperti Anthoni Salim melanjutkan usaha Liem Sioe Liong. l

Sri-Edi Swasono
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Obituari ini ditulis wartawan Tempo Reza Maulana berdasarkan wawancara dengan Sri-Edi Swasono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus