Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari Monas Sampai Abu Gosok

Pameran lukisan humor di tim jakarta diselenggarakan lembaga humor indonesia. kali ini sasarannya jakarta yang dibikinnya menjadi kartun, foto & lukisan. (sr)

11 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA itu humor, humor itu Jakarta. Dan LHI (Lembaga Humor Indonesia) pun membuktikannya di Ruang Pameran TIM, 1-10 Juli ini -- sekalian merayakan HUT DKI ke-454, meski agak terlambat. Bersama sekitar 20 senirupawan dari Jakarta dan Semarang, mereka mencari hal-hal yang ada di Jakarta untuk dihumorkan dalam wujud karya senirupa. Dan agaknya sasaran humor palipg gampang adalah patung-patung yang bertebaran di Ibukota. Boedhi, seorang ilustrator, kini melihat Patung Pembebasan di Lapangan Banteng itu berubah. Kedua tangan yang direntang ke atas, memutuskan rantai yang membelenggu, kini tak lagi merentang. Tapi, bagaikan gaya John Travolta, patung itu kini menyandang walkman. Tak lagi nampak berteriak memang, wajahnya berseri-seri. Seorang kartunis lain ternyata melihat si patung ini, tatkala hujan mengguyurnya, tak lagi berantai, tapi berpayung. Yang paling kurang ajar mungkin patung yang terletak di tengah perempatan Pancoran, Jakarta Selatan. Benda yang bagai seorang pemain bowling ini, menurut Boedhi, pada suatu hari memang benar-benar bermain bowling. Cuma yang dilemparkannya bukan bola, tapi botol. Dan sasarannya: api Tugu Monas di Jakata Pusat. Dan tumbanglah api yang dari emas itu. Syahdan suatu saat, Patung Pemuda di Bundaran Senayan, Jakarta Selatan, yang menjunjung api nan tak kunjung padam, mendapat ilham - entah dari mana. Ia mengganti api itu dengan piring lengkap berisi nasi dan lauk-pauknya -- bak pelayan rumah makan Padang. Tentu saja di bawah patung itu kemudian penuh gelandangan yang menunggu-nunggu jatuhnya piring. Abu Gosok Kemacetan lalu lintas, kepadatan penduduk, pun menjadi favorit para kartunis. Cuma kali ini tak ada kartunis yang menemukan lelucon baru. Mobil saling bertubrukan karena Pak Polisi sedang asyik dengan walkman-nya. Atau orang yang berteriak kesepian padahal berada ditengah-tengah kampung yang berdesak padat penghuninya, adalah lelucon yang sudah biasa ada. Tapi seorang Si Jon, ilustrator majalah remaja, pada suatu hari menemukan lelucon yang benar-benar menohok saraf. Ia melihat si abang penjual abu gosok -- yang khas Jakarta -- lewat di samping krematorium, persis ketika ada prosesi jenasah yang segera hendak dibakar di situ. Wah, tentu saja orang-orang yang ikut dalam prosesi terhenyak dan agak kacau pikirannya: abu jenasah dari krematorium itukah yang dijajakan si abang selama ini? Gagasan baru LHI untuk memamerkan juga lukisan ternyata tidak sukses . Beberapa pelukis Pasar Seni Ancol dan pelukis Hardi tak membuat humor dalam karyanya. Tapi lebih sebagai protes: terhadap kesemrawutan ibukota, terhadap kepadatan penduduk. Padahal, kalau mau sedikit bersusah payah, sejumlah lukisan tentang Jakarta yang berhumor tak susah dicari. Dari S. Sudjojono, salah seorang pelukis senior kita, misalnya. Beberapa kartun karya bersama Dwi Koen, G.M. Sudarta dan Pramono (3 kartunis kita yang baik), yang memang sbagian besar karya lama, lebih terasa datang dari Dinas Penerangan Pemda DKI daripada senirupawan yang mencoba menemukan humor Jakarta. Adapun pemotret Kartono Riyadi rupanya cukup jeli mengabadikan kejadian-kejadian sesaat di Ibukota dengan kameranya. Hasilnya, antara lain sebuah becak yang menjungkir dengan roda belakangnya mencuat ke atas. Dengan sudut pengambilan begitu rupa, becak terjungkir ini lumayan juga lucunya -- terutama dengan dukungan latar belakang yang merupakan pemandangan biasa saja: orang berjalan, toko dan semacamnya. Mereka yang selalu merasa tegang dengan suasana Ibukota, pameran ini bisa saja menurunkan tekanan darahnya. Di mana-mana memang orang bisa ketawa -- di mana saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus