JAKARTA itu humor, humor itu Jakarta. Dan LHI (Lembaga Humor
Indonesia) pun membuktikannya di Ruang Pameran TIM, 1-10 Juli
ini -- sekalian merayakan HUT DKI ke-454, meski agak terlambat.
Bersama sekitar 20 senirupawan dari Jakarta dan Semarang, mereka
mencari hal-hal yang ada di Jakarta untuk dihumorkan dalam wujud
karya senirupa. Dan agaknya sasaran humor palipg gampang adalah
patung-patung yang bertebaran di Ibukota.
Boedhi, seorang ilustrator, kini melihat Patung Pembebasan di
Lapangan Banteng itu berubah. Kedua tangan yang direntang ke
atas, memutuskan rantai yang membelenggu, kini tak lagi
merentang. Tapi, bagaikan gaya John Travolta, patung itu kini
menyandang walkman. Tak lagi nampak berteriak memang, wajahnya
berseri-seri. Seorang kartunis lain ternyata melihat si patung
ini, tatkala hujan mengguyurnya, tak lagi berantai, tapi
berpayung.
Yang paling kurang ajar mungkin patung yang terletak di tengah
perempatan Pancoran, Jakarta Selatan. Benda yang bagai seorang
pemain bowling ini, menurut Boedhi, pada suatu hari memang
benar-benar bermain bowling. Cuma yang dilemparkannya bukan
bola, tapi botol. Dan sasarannya: api Tugu Monas di Jakata
Pusat. Dan tumbanglah api yang dari emas itu. Syahdan suatu
saat, Patung Pemuda di Bundaran Senayan, Jakarta Selatan, yang
menjunjung api nan tak kunjung padam, mendapat ilham - entah
dari mana. Ia mengganti api itu dengan piring lengkap berisi
nasi dan lauk-pauknya -- bak pelayan rumah makan Padang. Tentu
saja di bawah patung itu kemudian penuh gelandangan yang
menunggu-nunggu jatuhnya piring.
Abu Gosok
Kemacetan lalu lintas, kepadatan penduduk, pun menjadi favorit
para kartunis. Cuma kali ini tak ada kartunis yang menemukan
lelucon baru. Mobil saling bertubrukan karena Pak Polisi sedang
asyik dengan walkman-nya. Atau orang yang berteriak kesepian
padahal berada ditengah-tengah kampung yang berdesak padat
penghuninya, adalah lelucon yang sudah biasa ada.
Tapi seorang Si Jon, ilustrator majalah remaja, pada suatu hari
menemukan lelucon yang benar-benar menohok saraf. Ia melihat si
abang penjual abu gosok -- yang khas Jakarta -- lewat di samping
krematorium, persis ketika ada prosesi jenasah yang segera
hendak dibakar di situ. Wah, tentu saja orang-orang yang ikut
dalam prosesi terhenyak dan agak kacau pikirannya: abu jenasah
dari krematorium itukah yang dijajakan si abang selama ini?
Gagasan baru LHI untuk memamerkan juga lukisan ternyata tidak
sukses . Beberapa pelukis Pasar Seni Ancol dan pelukis Hardi tak
membuat humor dalam karyanya. Tapi lebih sebagai protes:
terhadap kesemrawutan ibukota, terhadap kepadatan penduduk.
Padahal, kalau mau sedikit bersusah payah, sejumlah lukisan
tentang Jakarta yang berhumor tak susah dicari. Dari S.
Sudjojono, salah seorang pelukis senior kita, misalnya.
Beberapa kartun karya bersama Dwi Koen, G.M. Sudarta dan Pramono
(3 kartunis kita yang baik), yang memang sbagian besar karya
lama, lebih terasa datang dari Dinas Penerangan Pemda DKI
daripada senirupawan yang mencoba menemukan humor Jakarta.
Adapun pemotret Kartono Riyadi rupanya cukup jeli mengabadikan
kejadian-kejadian sesaat di Ibukota dengan kameranya. Hasilnya,
antara lain sebuah becak yang menjungkir dengan roda belakangnya
mencuat ke atas. Dengan sudut pengambilan begitu rupa, becak
terjungkir ini lumayan juga lucunya -- terutama dengan dukungan
latar belakang yang merupakan pemandangan biasa saja: orang
berjalan, toko dan semacamnya.
Mereka yang selalu merasa tegang dengan suasana Ibukota, pameran
ini bisa saja menurunkan tekanan darahnya. Di mana-mana memang
orang bisa ketawa -- di mana saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini