Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA bariton seorang pria paruh baya tiba-tiba mengepung telinga- penonton: mengering sudah, bu-nga di pelukan/merpati putih berarak- pulang/terbang menerjang badai… /-. Sungguh enak. Panggung masih gelap. Penonton mencari-cari arah datangnya suara. Lalu lampu sorot me-nembak profil seseorang yang ber-jalan menaiki sisi kiri panggung: Slamet Rahardjo Djarot. Bukan main. Slamet bukan penyanyi profesional, tapi suara-nya sungguh bukan main-main!
Masuk bait kedua, suara berubah: slamat berpisah, kenangan bercinta-…. Masih vokal bariton, hanya tidak sebulat vokal Slamet. Itulah suara sang pencipta Merpati Putih yang belakang-an di-kenal sebagai politisi: Erros Djarot-. Duet langka ini adalah dina-mit yang meledakkan tepuk tangan penonton konser A Tribute to Teguh Karya di Balai Kartini, Jakarta, Rabu lalu. Nyaris tak ada penonton yang tak mengenal ”anthem” generasi 70-an ini. Termasuk Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, yang mengaku salah seorang penggemar fanatik film-film Teguh Karya. ”Film favorit saya adalah Di Balik Kelambu,” katanya kepada -Tempo.
Ini memang sebuah persembahan untuk Lim Tjoan Hok, yang belakang-an berganti nama menjadi Steve Lim, namun lebih populer di tengah masyarakat sebagai Teguh Karya. Selama 20 tahun berkarya, Steve memanen 54 Piala Citra, termasuk untuk sejumlah lagu yang umumnya digarap oleh Idris Sardi dan Erros Djarot. Beberapa lagu dalam film-film Teguh Karya bahkan sudah memasuki tahapan evergreen dalam musik pop Indonesia, seperti Merpati Putih garapan Erros itu.
Di tangan Addie M.S., yang memimpin 50 musisi Twilite Orchestra di 18 instrumen, bahkan seluruh lagu terdengar megah. Bukan hanya pada Badai Pasti Berlalu, tapi juga lagu-lagu yang kurang dikenal publik seperti Kerbau Jantan (dari film pertama Teguh, Wajah Seorang Laki-laki, 1970), yang malam itu dinyanyikan oleh Rafika- Duri, sampai lagu Kijang Muda (Pacar Ketinggalan Kereta, film terakhir Teguh Karya yang dibuat pada 1989), yang dinyanyikan Ruth Saha-naya. Apalagi dengan adanya- penyanyi-penyanyi asli sejumlah lagu seperti Berlian Hutauruk (Badai Pasti Berlalu), Anna Mathovani (Cinta Pertama), dan Idris Sardi (Rumah di Atas Pasir). Tak ada yang bisa ”memaksa” Idris—maestro violis itu—untuk bernyanyi kecuali Teguh Karya. ”Ia bisa kasar dan menyakitkan hati. Tapi itu dilakukannya untuk- mendapatkan hasil yang terbaik,” ucap Idris. Mengapa Idris yang dipilih? ”Karena menurut Steve, suara saya seperti penderita TBC yang sudah tak punya harapan untuk hidup,” tutur Idris disambut gelombang tawa penonton.
Malam itu seluruh komunitas Teater Populer yang didirikan Teguh Karya berkumpul untuk mengenang sang guru. Malam itu Teguh ”mempersatukan” para penggemar filmnya yang beragam. Dari Jenderal (Purnawirawan) Wiranto sampai Sukmawati Soekar-noputri. Dari pianis Indonesia yang kini bermukim di Spanyol, Ananda Soekarlan, sampai para penyanyi Akademi Fantasi (AFI) angkatan 1. Malam itu bakat-bakat muda di dunia film, seperti Tora Sudiro, Rachel Maryam, atau Marcella Zalianty, yang silih berganti menjadi pembawa acara, hanya bisa berandai-andai disutradarai oleh Teguh Karya.
Pengadeganan seluruh acara mampu menyatukan tata suara dengan citra visual lewat potongan-potongan film Steve yang sudah menjadi legenda-. Tapi, seperti tak ada gading yang tak re-tak, ”kesalahan” pertama kon-ser ini justru pada pemilihan lokasi. Gedung- yang sebelum direnovasi dulunya le-bih- dikenal sebagai tempat resepsi per-nikah-an bagi warga Jakarta itu dirancang menjadi gedung pertunjuk-an dengan tingkat keterjalan antar-tangga yang membuat gamang. Penonton di bagian tribun terganggu oleh penempatan tata lampu yang mengganggu pandangan ke arah panggung.
Kesalahan kedua yang sebenarnya sangat sepele adalah tak adanya komunikasi yang jelas dari panitia tentang tempat liputan wartawan. Hampir semua petugas pintu masuk tak meng-izinkan wartawan memasuki ruang-an. Baru setelah produser pertunjukan, Alex Komang, dikontak langsung oleh para kuli disket, wartawan bisa memasuki ruangan. Akibatnya, sampai lagu ke-lima berlangsung, arus wartawan yang memasuki ruangan terus meng-alir, dan pasti mengganggu kenyamanan penonton yang lain.
Di luar beberapa catatan kecil itu, Addie M.S. dkk. mampu menciptakan grafik emosi yang diinginkan dari pertunjukan ini (lihat, Suara yang Me-ngantarkan Masa Remaja) sekaligus me-nyampaikan universalitas pesan-pesan Teguh. Zaman boleh berlari dan abad terus melaju. Tetapi Teguh Karya, lewat film-filmnya, menunjukkan ia tak pernah ketinggalan kereta. Bahkan setelah kematiannya.
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo