Bukan hanya susumu yang gede tetapi juga hadiahnya Dengan memohon doa restu calon mertua susumu kita buka SUSUMU? Ya, Susumu alias Suka-Suka Kamu. Jangan penasaran dulu. Tapi, kalau ingin tahu, putarlah gelombang 102,3 FM. Nah, di frekuensi ini Anda akan bertemu dengan Susumu, sebuah kuis berhadiah yang disiarkan setiap malam, kecuali Sabtu dan Minggu, mulai pukul 19.00 hingga 20.0 di Radio Prambors. Acara yang diudarakan sejak tahun 1987 ini singah di kuping lalu merasuk ke hati. Setiap saat ia bisa hadir di kamar, di mobil sampai di tempat-tempat remaja mangkal. Prambors mengklaim dirinya sebagai dunia orang-orang muda dan mereka yang berjiwa muda. Seperti layaknya tempat ngumpul anak-anak muda, suasana studio Prambors jauh dari bau kantor resmi. Di sana iklim kerja lebih bersifat paguyuban ketimbang hubungan formal antara atasan dan bawahan. Dengan santai mereka ber-lu-gua tanpa rasa risi. Ciri khas gedung berukuran 6 x 30 meter yang sehari-hari dipakai sebagai ruang operasional ini adalah selalu ramai dengan canda dan tawa. Hampir setiap saat berseliweran remaja dengan seragam sekolah. Mereka umumnya akrab dengan pengelola Prambors yang cuma berkaus oblong dan jeans. Prambors memang bukan sekadar kantor, meskipun sudah jadi ladang mencari nafkah bagi sebagian orang. Prambors adalah sebuah perpaduan dari keisengan, kreativitas dan ambisi. Hanya dengan modal nekat plus tape, turntable dan amplifier butut yang dikumpulkan secara patungan, radio swasta yang mangkal di Jalan Borobudur ini sekarang sudah punya aset sekitar Rp 700 juta. Belum lagi yang tertanam di sejumlah anak-anak perusahaan. Semua itu karena sebuah kiat. "Kami memang ingin memberikan nilai lebih bagi pendengar Prambors," kata Malik Sjafei, Direktur Utama Prambors Broadcasting Service, kepada Liston Siregar dari TEMPO. Nilai lebih itu bisa berarti macam-macam. Salah satunya adalah pemakaian bahasa prokem sebagai media komunikasi sehari-hari. Ocehan yang sarat dengan "vulgarisme" sejak dini sudah dimanfaatkan. "Soalnya, kami siaran bukan buat bapak-bapak. Tapi untuk kami sendiri, orang-orang muda," ujar Malik. Karena itu, antara Prambors dan pendengarnya nyaris tak berjarak. Buntutnya, banyak perusahaan memasang iklan di radio itu. Sebagai imbalannya, Prambors juga tak segan mensponsori berbagai kegiatan penunjang untuk menjaring anak-anak muda bergabung di bawah bendera Prambors. Gebrakan pertamanya yang sampai saat ini dicatat sebagai event nasional adalah Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) Prambors. Ketika acara ini dilangsungkan pertama kali tahun 1978, sejumlah musikus kontan mengorbit. Catat saja James F. Sundah, yang mencuat lewat lagu Lilin-Lilin Kecil. Kemudian muncul Chris Manusama, dengan Pahama Grup. Lalu Ikang Fawzi dan Harry Sabar. Selanjutnya, Fariz Rustam Munaf ikut pula melejit setelah tiga lagu ciptaannya masuk LCLR. Tahun 1972 lahir Warung Kopi Prambors. Acara ini mula-mula dimotori oleh Temmy Lesanpura, Rudy Badil, dan Kasino Hadiwibowo. Lalu masuk Indrodjoyo Kusumonegoro, Wahyu Sardono, dan Nanu Mulyono. Sambutan publik luar biasa, karena topik-topik yang diperbincangkan selalu segar dan penuh warna. Setelah sukses di radio, para pengelola Warkop mulai melangkah ke dunia panggung dan film. Lagi-lagi, mereka panen besar. Film yang mereka bintangi seperti Maju Kena Mundur Kena, Sama-Sama Enak. Atas Boleh Bawah Boleh, rata-rata box office. Prambors, yang ikut andil, juga kebagian. Karena mereka lahir dan besar di radio, ada semacam royalti yang harus disetor. Besarnya 5 hingga 10 persen. Belakangan, setelah Dono, Kasino, dan Indro tak pernah lagi mengisi kegiatan di radio karena kesibukan di luar, sejak tahun 1985 nama Warkop Prambors copot dan berubah menjadi Warkop DKI. Sebagai gantinya, muncul Sersan. Nama ini diambil dari salah satu acara di Radio Prambors, yang judul aslinya Serius tapi Santai. Personelnya antara lain Sys N.S,. Nana, Muklis Gumilang, Krisna Purwana, Pepeng Ferasta. Mengulang sukses Warkop, anggota Sersan juga coba-coba terjun ke film, tapi gagal. Acara Sersan Prambors pun tak tahan lama. Awal tahun ini menghilang dari udara. "Karena anggota Sersan lebih mementingkan kegiatan di luar daripada di radio," kata Malik, bos Prambors. Satu acara hapus, segera diganti yang lain. Kini, tercatat tak kurang dari 20 menu yang secara rutin disajikan, di antaranya Susumu, Rest'n Relax, Tamu Kita, Musik Kita, Top Fourty, New Release, Tanggap Nawala, Memory Song, Porsi Kamu, sampai Sarseto Show. Yang terakhir ini memang tak ada hubungannya dengan ingar-bingar musik dan lagu. Program yang diasuh oleh Psikolog Sarlito Wirawan dan Kak Seto ini agak serius. Semacam biro konsultan. Para remaja boleh omong-omong melampiaskan unek-unek yang mengganjal di kepala. Yang juga jadi andalan Prambors adalah reportase di lapangan. Dengan dilengkapi telepon mobil, para reporter Prambors melaporkan semua obyek yang mereka amati, dan langsung mereka udarakan pada detik itu juga. Semacam laporan pandangan mata yang biasa dilakukan RRI. Kegiatan yang dicover antara lain semaraknya lintas melawai pada Minggu sore, reli mobil, serta aktivitas lain yang disponsori Prambors. Namun, dari sejumlah acara Prambors, yang paling memasyarakat saat ini apalagi kalau bukan Catatan Si Boy. Program ini dihidangkan seminggu sekali, setiap Kamis malam mulai pukul 22.00 sampai 24.00. Peminatnya membludak. Belakangan PT Bola Dunia Film bersama gabungan tiga produser sepakat untuk mengangkat Ca-Bo ke layar putih dan meledak. Padahal, ketika acara ini disiarkan pertama kali pada tahun 1985, tak ada bayangan bakal sukses besar. Termasuk Marwan Alkatiri, pencetus ide Ca-Bo. "Waktu itu saya hanya ingin menggambarkan, banyak orang yang dalam kehidupannya sehari-hari seperti si Boy, tapi mereka tidak ingin menonjol," kata Marwan. Bahkan Sudwikatmono, salah satu produser film Ca-Bo, juga tak pernah membayangkan. "Semula saya tak yakin," kata Ketua Asosiasi Importir Film Mandarin itu kepada Tri Budianto Sukarno dari TEMPO. Namun, berdasarkan pengalamannya sebagai produser, film-film yang diangkat dari novel seperti Badai Pasti Berlalu dan Anni biasanya laris. Tak terkecuali Ca-Bo, yang sudah diperkenalkan oleh Prambors sejak bertahun-tahun. Sama kasusnya dengan Saur Sepuh, yang juga disiarkan di berbagai radio swasta sebelum difilmkan. Keberhasilan Ca-Bo memang tak bisa dilepaskan dari peranan Prambors, yang sejak awal berdirinya pada 1967 sudah memperoklamirkan diri sebagai radio tempat oran-orang muda mangkal. Para orang muda itu tergabung dalam "Prambors Listeners Club" (PLC), yang jumlah anggotanya sekitar 30 ribu orang. Dengan uang pendaftaran Rp 6 ribu, seorang anggota PLC berhak memperoleh buletin Pro Kamu dan potongan harga kalau berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan tertentu. Bila film Ca-Bo dipenuhi remaja, itu bisa dimaklumi. Merekalah pendengar setia Radio Prambors. Anak-anak muda itu penasaran ingin membandingkan sosok Boy dalam radio dengan yang di film. Tak terlalu berbeda memang. Tapi, juga tidak sama persis. "Kalau dilihat dari pakem-nya, sama dan sebangun," kata Marwan, penulis skenario Ca-Bo. Sudah barang tentu, adanya tambahan di sana-sini sulit dielakkan. Bagaimanapun juga, media visualisasinya sudah berlainan. Tapi penonton puas. Tak hanya di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah lain yang memutar film itu. Prambors pun ikut kecipratan rezeki. Dari Ca-Bo I, Prambors menerima royalti Rp 15 juta. Dan dalam Ca-Bo II yang sedang jadi demam itu, masuk Rp 25 juta. Bisa dibayangkan berapa perolehan selanjutnya yang mengalir ke kocek Prambors bila Ca-Bo menjadi film serial. Sudwikatmono dan dua produser lain sudah mengalokasikan dana Rp 800 juta untuk pembuatan Ca-Bo III, yang menurut rencana akan syuting d Amerika. Yusroni Henridewanto, Moebanoe Moera, dan Budiono Darsono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini