SUKSES Ca-Bo I dan II tak bisa dilepaskan dari sosok Nasri Cheppy. Sebelum terjun ke dunia film, laki-laki kelahiran Padang 38 tahun silam ini aktif di teater. Mula-mula ia bergabung dengan Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer, 1973-1975. Belakangan Cheppy mendirikan "Road Teater". Tapi itu pun tak bertahan lama. Lalu, ia bangun lagi "Teater O". Kariernya dalam perfilman diawali sebagai costumer. Lalu, sempat menjadi asisten, sebelum benar-benar jadi sutradara. Sekarang ini ia sedang sibuk mempersiapkan sebuah film baru berjudul Namaku Joe. Berikut petikan wawancara Nasri Cheppy dengan Ardian Taufik Gesuri dari TEMPO. Sudah Anda duga, Ca-Bo II bakal meledak? Sewaktu saya ajukan, produser memang kurang yakin. Sebab, biasanya produksi kedua tak sehebat yang pertama. Tapi saya penasaran. Kenapa tidak kita coba dulu. Beri saya kesempatan. Akhirnya, para produser menyetujui. Ternyata, hasilnya di luar dugaan. Apa yang ingin Anda capai lewat film itu? Yang jelas, saya ingin memberikan suatu intertainment. Tapi tidak berarti saya tak punya ambisi untuk membuat film yang lain, yang punya nilai, seperti Tjoet Nya' Dhien. Hanya saja, situasi saat ini belum memungkinkan. Itu sudah saya baca. Karena itu, sementara ini saya ingin berbicara tentang mimpi dulu. Tentang si Boy. Manusia biasa yang kebetulan dari segi materi kelihatan menonjol, punya BMW, Baby Benz, sampai Rolls-Royce, tapi tidak sombong. Dalam kondisi seperti sekarang ini, sulit mencari figur seperti itu. Namun, saya ingin tokoh fiktif si Boy bisa menjadi panutan anak-anak muda. Umumnya, orang kaya selalu dipojokkan. Dalam film ini, saya ingin memberikan image yang lain. Ini mungkin menjadi suatu kebanggan bagi orang-orang yang duduk di Baby Benz. Suatu pride. Pendak kata, melalui film ini, saya hendak memberikan suatu nilai. Walaupun hanya sedikit. Mungkin cuma 10 persen. Antara Ca-Bo I dan II, ada pergeseran cerita, betul? Pada awalnya, memang bercerita tentang kepahlawanan tokoh Boy. Tapi belakangan berkembang pada masalah konflik dia dalam percintaan. Tentu dengan variasi di sana-sini. Misalnya, dalam Ca-Bo II porsi peran Emon diperbesar. Lantaran itu pula tak tertutup kemungkinan akan menyusul serial Ca-Bo lain dengan kisah yang berbeda. Saat ini kami sedang mencari ide. Berjubelnya penonton Ca-Bo merupakan bukti film Anda disukai penonton. Apa Anda akan melangkah lebih jauh? Saya sering bertanya-tanya, kenapa banyak film yang menang Piala Citra justru ditonton sedikit orang. Begitu pula yang memperoleh Oscar. Situasi seperti ini segera saya analisa. Lalu saya bikin film. Saya berikan sesuatu kepada masyarakat. Ternyata diterima. Rupanya, masyarakat membutuhkan film seperti itu. Saya tak bisa menyalahkan. Saya tidak mungkin melawan arus. Bahwa ada seorang seperti Eros Jarot, saya bangga. Di tengah situasi seperti ini muncul Eros. Tapi saya akan memberikan keseimbangan dengan menyajikan film yang menghibur. Dengan demikian, di samping ada yang bermutu, ada juga film yang laku. Jadi, Anda hanya akan membuat film "komersial" saja? Banyak orang menganggap komersial itu konotasinya porno. Padahal, tidak selalu demikian. Tapi, sampai sekarang saya belum bisa mendefinisikan apa itu komersial. Sebab, tak jarang sebuah film yang laku terus dibilang komersial karena ada adegan buka dada. Bagi saya, yang penting adalah memberikan sesuatu kepada masyarakat, yang secara penalaran bisa diterima akal sehat. Sehingga masyarakat tidak merasa dibodohi, ditipu, dan dipermainkan. Contohnya? Dalam Ca-Bo, misalnya, adegan ciuman dibuat sewajar mungkin. Tidak dibuat-buat. Kewajaran itulah yang memungkinkan film tersebut diterima masyarakat. Yusroni Henridewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini