PRAMBORS lahir dari sebuah pemancar gelap yang mengudara lantaran korban mode. Sekelompok anak-anak muda, dengan bekal semangat hura-hura, iseng-iseng buka pemancar. "Soalnya, gang yang tak punya pemancar radio tak bakal ngetop," kata Malik Sjafei, Dirut PT Radio Prambors, mengenang masa lalu. Zaman itu, sekitar tahun 1967, "gang-gang"-an lagi ngetop. Di mana-mana mereka bersaing keras merebut popularitas. Ada gang yang unjuk gigi lewat kebut-kebutan. Ada yang gagah-gagahan dengan adu jotos. Sepuluh anak muda yang tinggal di bilangan Menteng tak mau ketinggalan. Di kawasan elite itu, mereka membangun kerajaan hura-hura, dengan papan nama Prambors. Singkatan dari Prambanan, Mendut, dan Borobudur. Huruf "s" sengaja dipasang untuk gertak sambal karena terdengar keinggris-inggrisan. Anak muda belasan tahun itu memboyong seperangkat pemancar sederhana, tape, mike, dan kabel untuk antena yang cukup dicolokkan ke negarif listrik. Peralatan milik Tritunggal -- sekarang Tri tidak ikut lagi -- mengudara. Mereka bersorak, meski radiusnya hanya 300 meter. Sebatas kawasan Megaria. Satu dua orang mengudara, yang lain berpencar menenteng radio. "Targetnya pingin beken," kata Malik. Esoknya, mereka memancangkan bambu. Antena pun menjulang. Kawasan Menteng mulai disemarakkan lagu Beatles, Bee Gees, yang memang lagi ngetop waktu itu. Kubu siaran Prambors ada di rumah Bambang Wahyudi, di Jalan Borobudur 20. Kapan mengudara, kapan cabut dari udara, semau-maunya. "Lagi enak-enak siaran, ada teman ngajak pergi, ya matiin," kata Imran Amir kepada Liston P. Siregar dari TEMPO. Gelombang pun berganti-ganti seenak udel. Malik Sjafei dan konco-konconya tak menduga kumandang Prambors kemudian jadi bom. Prambors pun kian melambung, lantaran lagu Barat yang mereka udarakan adalah lagu-lagu baru. Kekuatan Prambors mendapat dukungan dan orangtua mereka yang pejabat dan tergolong kaya. "Kalau ada ortu ke luar negeri, oleh-olehnya piringan hitam lagu baru," kata Malik, yang waktu itu baru duduk di bangku SMP. Pemancar liar itu hanya bertahan sampai tahun 1969. Menerobos tahun 1970, Prambors ditabok penertiban yang dikeluarkan Ali Sadikin, Gubernur DKI waktu itu. Pemancar yang mau terus terbang harus dikelola yayasan dan mesti pakai izin. Akibatnya, tak sedikit radio liar mampus. Prambors ikut kebingungan. Mereka tergolong bego untuk mengerti arti yayasan dan mengurus izin ini-itu. Akhirnya, Prambors memilih terus mengudara. "Walau kami belum yakin itu bisa buat hidup," kata Malik. Tahun 1971, Prambors liar jadi PT. Modalnya Rp 2 juta dirogoh dari kocek bapak Bambang Wahyudi -- penerbit Indira itu, lho. Program siaran tetap mengabdi kepentingan anak muda, segmen pendengar yang telah dibentuk sejak Prambors masih liar. Iklan pertama muncul dari PT Kemang Murni, perusahaan EMKL. "Lucu juga. Radio anak muda, iklannya perusahaan ekspedisi muatan kapal laut," kata Malik. Namun, kini Prambors tak perlu menganggap itu lucu lagi, setelah berfoya-ria dengan iklan. Per bulan omsetnya mencapai Rp 40 juta. Dari modal peralatan yang diangkut dari rumah dengan sembunyi-sembunyi, Prambors kini jadi sebuah medan bisnis mapan. Lapangan hijau yang menampung 40 karyawan. Cakar bisnisnya juga membengkak. Mereka punya "Selaras Swara" yang bergerak pada bidang studio rekaman iklan. Ada "Prambors Binatama Management", biro jasa manajemen dan konsultasi radio. Mangkal di Jalan Borobudur 9, Prambors kian keren. Dengan suntikan Rp 100 juta, tahun 1986 Prambors masuk jalur FM. Berdasarkan penelitian Survey Indonesia, rakyat Radio Prambors kini berjumlah 175 ribu pendengar. Sembilan puluh persen adalah kawula muda. Kekayaannya juga makin gila. Berapa aset? "Pokoknya, kayalah," kata Malik, bapak seorang anak yang selalu bergaya mirip si Boy. Selama 20 tahun mengudara, Prambors selalu setia, tak sudi beranjak ke pendengar dewasa. Ia tetap jadi milik anak muda. Para pendirinya, yang kini tak lagi bercelana pendek, tak segan ngeceng di tempat tongkrongan "Si Boy," menyerap masukan. Budiono Darsono dan Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini