DIA tampan. Dia jantan. Dia sopan. Dia beriman. Dia hartawan. Dia diperebutkan. Dia menawan. Dia idaman. Waduh, panjang sekali, tapi begitulah si Boy pahlawan dalam film Catatan Si Boy, hasil duet Marwan Alkatiri dan Nasri Cheppy. Film ini meledak, dan Boy jadi idola. Menurut catatan PT Bola Dunia Film, pemilik si Boy Catatan Si Boy I yang diproduksi pada tahun 1987 menelan sekitar 400 ribu penonton Jakarta. Ca-Bo II diperkirakan akan lebih unggul. Sampai saat catatan ini diturunkan, film bernilai hampir 400 juta itu telah menjerat 100 ribu penonton di Jakarta -- 400 ribu untuk seluruh Indonesia. Menyaingi Saur Sepuh, yang mencatat 575 ribu penonton sampai September lalu. "Film ini kemungkinan besar akan menjadi box office," kata M. Johan Tjasmadi, Ketua Umum Pantap FFI. Pada malam terakhir di bioskop Studio 21, Jakarta, 7 Desember ini, film Ca-Bo II memang hanya mencatat kurang dari 40 orang penonton. Tetapi Minggu sore tanggal 4 Desember, di bioskop kelas satu yang lain, Kartika Chandra, terlihat antrean ular panjang. Para muda berdandan keren, dengan mobil mentereng, nyaris tak tertampung di pelataran parkir. Dengan bernafsu, mereka menanti pertemuannya yang kedua bahkan ada yang ketiga dengan si Boy. Budiati Abiyoga, produser film PR Prasidi Teta Film, sampai heran. Ia mengaku kepada Budiono Darsono dari TEMPO, anak-anaknya sampai tiga kali nonton Ca-Bo II. Padahal, mereka terhitung punya selera dan mengakui film itu tidak bermutu. "Bagi anak muda, menonton Ca-Bo II dianggap mampu mengendurkan saraf," kata Budiati. "Ya, sekadar rame-rame mengikuti trend." Di Bandung, sejak pertengahan bulan lalu sampai laporan ini diturunkan, bioskop terus kebanjiran pemburu si Boy. Tak hanya remaja, seluruh keluarga datang. Apakah mereka datang karena kebetulan Vera, pacar si Boy dalam film itu orang Sunda, sehingga kata-kata seperti kumaha danang, aya naon masuk dalam dialog? "Saya senang dengan film ini karena mampu menghibur. Nggak perlu mikir, dan lucu," kata Ny. Dody, 34 tahun, kepada Gatot Triyanto dari TEMPO. Lain lagi komentar Pak Rahmat, 48 tahun, yang berkata terus terang: "Saya senang karena Meriam Bellina nampak seksi sekali. Permainannya menggairahkan dan orannya energetik." Djoefri Palurang, ketua Perfin (Peredaran Film Indonesia) Cabang Ja-Tim memberi kabar dari Surabaya, Ca-Bo II adalah film remaja paling laris tahun 1988. Di jajaran bioskop kelas A2 (harga karcis Rp 4 ribu-Rp 5 ribu ) film ini bertahan dua minggu. Ketika memasuki jajaran A1 peminatnya juga menggebu. "Habis, bintangnya keren gitu, sih," kata Armita, 17 tahun, kepada Zed Abidien dari TEMPO. Ia dan teman-temannya mengaku sudah tiga kali nonton Si Boy. Mengapa? "Di situ Boy 'kan berperan alim," kata Armita, yang agaknya bosan melihat film-film remaja selama ini pacaran melulu. Sementara itu, di Semarang, diputar serentak di lima bioskop. Ca-Bo II sakti. Bahkan Plaza Studio 2 -- berkapasitas 200 kursi -- yang jarang menyentuh film nasional, ikut terlibat. "Belum pernah gedung Plaza sampai beberapa hari penuh seperti ini," kata penjaga loket kepada wartawan TEMPO Nanik Ismiani. Sore hari penontonnya remaja, tapi kalau sudah malam bapak dan ibu pun ikut penasaran. Banyak yang terpaksa pesan tiket lebih dulu. Apakah semua ini karena di radio Chandra Taruna antara bulan Juli dan September lalu dibawakan cerita bersambung Catatan Si Boy? "Adik-adik saya mengagumi tokoh si Boy," kata Permatadewi, seorang mahasiswa Undip. "Ibu saya sampai bilang, kalau punya mantu, pingin seperti si Boy," tambah Permatadewi sambil tersenyum. Ia sampai kehabisan karcis dua hari berturut-turut. Hari ketiga ia nekat pesan, itu pun pakai antre beberapa jam sebelumnya. Sebenarnya, bukan hanya Boy yang jadi jimat film itu. Didi Petet, yang memerankan si banci Emon, juga memiliki daya tarik tersediri. Lagak lagunya yang konyol memang menggelitik. "Terus terang, gue nonton Ca-Bo karena ada si Emon," ucap Yanti, yang nonton Ca-Bo II di bioskop Kartika Chandra. "Habis, dia konyol, sih," tambah cewek manis ini sambil tertawa ngakak. Lain lagi kata temannya. "Semula gue nggak tertarik. Tapi setelah nonton, eh, lucu juga," kata Yayan. "Kalau gue nanti punya cowok, pinginnya kaya Boy. Gue demen pribadinya. Pokoknya, dia itu idola gue, deh," ujar Erina Elisawati, 13 tahun. Pelajar kelas I SMP Al Azhar yang tinggal di kawasan elite Pondok Indah, Jakarta ini tak cukup hanya nonton satu kali. Ia menonton tiga kali berturut-turut. Bermobil Baby Benz, si Boy memang pantas digandrungi. Ia tak jijik memungut anak kucing belepotan lumpur. Sembahyang khusyuk, ketika telepon berbunyi dari fans cewek. Menjotos roboh pemuda-pemuda berandalan yang mengganggu kekasih adiknya. Memenangkan reli mobil. Bergoyang di disko, tapi sopan santun terhadap wanita. Cinta tidak dikotori seks. Boy ini bagai "anak dewa" di belantara Ibu Kota. Ia menampilkan sebuah jendela emas buat orang kaya. Cerita manis, yang tak peduli konteks sosial. Walhasil: sebuah nyamikan yang segar, lancar, sedikit nyentil dan lucu, khas untuk masyarakat kota sumpek: Jakarta. Dimulai dengan kedatangan Vera (Meriam Bellina) bekas kekasih Boy (Onky Alexander), bersama rekannya Priska (Venna Melinda) dari Los Angeles. Tak tersangka berkat gosokan Emon (Didi Petet) kemudian Priska akrab dengan Boy. Sementara itu, Boy pun diam-diam kembali ke cinta Vera. Dalam sebuah reli mobil yang dimenangkan Boy dan Emon, Vera mulai mencium hubungan segi tiga itu. Ketika Vera memergoki Boy dan Priska ajojing, ia meledak bagai mercon, nyaris menggilas Bo dengan mobil. Toh akhirnya Vera-Boy bertaut kembali, setelah Priska bicara dari hati ke hati. Sutradara menutup filmnya dengan adegan ciuman di dalam air. Bagaimana menyuguhkan cerita gombal itu menjadi tontonan yang menarik, bisa diusut dari skenarionya (Marwan Alkatiri) yang dinamis, lalu penuangannya yang berselera. Cheppy, sutradara dan juga terlibat dalam penulisan skenario, ternyata terampil dan fasih. Onky, yang kentara belum bisa bermain, dituntunnya sehingga selamat. Cheppy tepat memilih peran-peran pendukung, penata musik, dan penata artistik. Ia menciptakan gambar yang berhasil menghadirkan citra orang kaya. Dengan latar belakang sebagai pemain Teater Kecil dan sutradara teater dalam Festival Teater Remaja, ia melahirkan film manis yang tak ada isinya, namun memiliki tempat tersendiri. Di sana-sini kita sempat mengurut dada mendengar percakapan para remaja yang terasa enteng dan kampungan itu, padahal mereka mahasiswa. Tetapi inilah satu jenis lain dari anak orang kaya. Meskipun suka pacaran, Boy digambarkan santun dan taat sembahyang. Peranan Didi Petet sebagai gelandang, yang keluar masuk adegan sebagai bencong, adalah kunci lain. Aktor panggung lulusan IKJ ini bermain dengan otak jernih. Ia cermat memperhitungkan perkembangan penampilannya dari adegan ke adegan lain. Kontrolnya baik sekali. Guruh Sukarnoputra memperkirakan orang menonton Ca-Bo II. Pertama karena ingin melihat Didi Petet. Setelah itu, baru pameran kekayaan dan kecantikannya. "Bagi anak muda yang suka ngeceng, film ini merupakan bagian dari mereka. Tapi bagi remaja di daerah, ini merupakan bagian yang diingini dan diimpikan," kata Guruh. "Daya pikatnya antara lain pada ritme itu, yang membuat kita hanyut," kata Teguh Karya pada Ahmadie Thaha dari TEMPO. Daya tarik Ca-Bo II yang lain mungkin pada pemakaian idiom remaja, seperti kata rumpi, sebutan bagi yang demen gosip, atau sosot buat pacaran. "Anak-anak sekarang males nonton film Indonesia, yang kebanyakan menggunakan dialog-dialog yang kaku. Mereka pingin yang sudah akrab di telinga mereka," ujar Onky Alexander, si Boy. Kita lupakan saja isi Ca-Bo II ini. Tetapi lihat -- seperti kesaksian Marwan Alkatiri banyak anak muda keren-keren sekarang ikut salat Jumat dan mencantelkan tasbih di kaca spion mobilnya, seperti si Boy! Jiwamu yang bersih, pikiran jernih... Boy... Boy... Boy. Putu Wijaya & Yusroni Henridewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini