Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari Sampah Menjadi 'Tank Top'

Perupa sampah kelas dunia, Ann Wizer, memamerkan karyanya di Jakarta.

12 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada sampah di balik balkon. Dari jendela lantai lima Hotel Kristal, Jakarta Selatan, sebuah kampung pemulung melata di seberang jalan. Memualkan, mungkin juga menjijikkan. Tapi bagi Ann Wizer, perupa dari Seattle, Amerika Serikat (AS), yang menginap di sana suatu hari, hamparan dekil itu seperti percikan yang melahirkan gagasan.

Perupa yang pernah mendalami seni instalasi di Maryland Institute College of California ini dikenal gemar mengaduk-aduk sampah. Tujuh tahun ia tinggal di Tokyo dan memulai pergaulannya dengan ampas buangan kehidupan megapolitan. Masyarakat Jepang, kata Wizer, amat terobsesi dengan kemasan, sehingga sampah terbanyak di negeri itu berasal dari bungkusan.

Gairahnya terhadap limbah makin menggelora ketika Wizer menetap sembilan tahun di Manila. Setiap pekan ia mengelilingi pantai Pulau Bataan, mengumpulkan sandal jepit yang berserak disapu ombak. Wizer bisa menjaring 3.000-an sandal karet bekas pengungsi Vietnam yang ditempatkan Ferdinand Marcos di kawasan Luzon itu. Dari ribuan sendal ini, Wizer membangun pohon dan memajangnya di Baguio International Arts Festival.

Sampah Jakarta mungkin berbeda dengan Manila atau Tokyo. Di sini limbah bukan sekadar sandal atau kemasan, juga hidup sekelompok orang. Hati Wizer tak tahan untuk turun melihat gerobak pemulung di Jalan Haji Batong, Tarogong, di pantat Hotel Kristal. Kebetulan ia bertemu Sri, seorang penggiat sosial yang mengenalkannya pada komunitas pemulung Tarogong.

"Miss Ann minta kita ngumpulin bungkus Indomie, Capri-Sonne, dan korek gas," kata Yuli, pemulung Tarogong. Dua pekan sekali, Wizer datang memesan 10 sampai 15 kilogram. Tiap kilonya ia membayar Rp 10.000. "Kita seneng, karena orderan Miss Ann tak laku di tempat lain," kata Aceng, pemulung yang lain.

Ini berkah lumayan. Biasanya tiap hari mereka hanya mendapat Rp 3.000. Tapi Yuli maupun Aceng mengaku pesanan Wizer ternyata tak mudah. "Susah," kata Aceng, "sehari paling dapat tiga atau empat bungkus Capri-Sonne atau Indomie." Akhirnya, agar dapat memenuhi pesanan Miss Ann, semua warga, jumlahnya sekitar 110 keluarga, bergotong-royong.

Lalu Wizer membeli 300 gunting dan meminta ibu-ibu memotong bungkus-bungkus tadi. Ia mengolah guntingan-guntingan itu menjadi hiasan isi sofa. Ia membawa bekas kemasan Capri-Sonne ke tempat sekelompok ibu rumah tangga yang belajar menjahit di Antasari. Berdasar desain buatan Wizer, mereka menyulap tas yang lucu-lucu.

Dari ratusan korek api gas, Wizer membangun chandelier (lampu gantung). Hasilnya tampak mewah juga. Ia juga pernah melakukan hal ini ketika di Filipina. Empat tahun di sana, ia memulung ribuan korek api gas yang dibuang ke pantai. "Ini benda kecil berwarna-warni indah, mudah dibawa juga gampang dibuang," katanya tentang korek api gas.

Lihatlah karyanya yang berjudul Heaven Gate. Ini hiasan gantung dari ratusan cakar (tulang kaki) ayam. Tampaknya Wizer ingin mengusung kritik atas ledakan makanan "plastik" dari ayam di kota-kota: fried chicken, chicken burger, chicken nugget. Tiap kali menyantap ayam, ia mengambil pinset dan menelanjangi tulang dari sisa-sisa daging yang menempel. "Wah, prosesnya men-jijikkan," katanya mengenang.

Karya lain misalnya Magellan Pijama. Bahan utamanya teh celup bekas pakai yang sudah busuk. Magellan adalah nama penjelajah asal Portugis yang mencari rempah-rempah, juga teh dari India dan Cina. Ini parodi Wizer terhadap merebaknya produk teh instan. Wizer, yang minum teh celup Earl Grey saban hari, mengumpulkan dan mengeringkan bungkusnya. "Rumah saya penuh kantong berjuntai di mana-mana," katanya.

Ketika musim hujan, kantong-kantong basi ini berjamur, menjijikkan. Kemudian Wizer mengganti strategi. Teh celup bekas ini ia bungkus dengan kemasan akrilik dan dijahit menjadi piyama—lalu ia kenakan pada manekin pria. Hasilnya mencengangkan. Boneka plastik itu tampak gagah dengan piyama dari ribuan teh celup busuk yang kecokelat-cokelatan. Gagasan "kostum trendi" ini agaknya tak mengherankan karena Wizer pernah bekerja di bagian desain sebuah industri busana New York.

Setahun lalu ia menggelar workshop enam bulan bersama Jurusan Fashion Institut Kesenian Jakarta. Para mahasiswa ternyata kreatif. Ada yang membuat gaun pesta seksi dari pita kaset, ada juga yang menciptakan baju model Shanghai dari bungkus sumpit. Imelda Tju, mahasiswa angkatan 99, membuat tank-top dari baterai. Kulit baterai dilepas, ditumbuk pipih, lalu dilubangi dengan paku. Melalui lubang-lubang kecil ini, Imelda menyambungkan pipihan kulit baterai dengan tali sepatu tipis. Sayang, dalam pameran di Lontar kali ini, kostum-kostum ganjil dan menarik dari sampah buatan murid-muridnya di IKJ tidak disertakan. Padahal ini merupakan contoh bagaimana gelora Wizer menyihir calon perupa dan desainer muda kita.

Seno Joko Suyono, Gita W. Laksmini, Rian Suryalibrata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus