Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Menjadi Tiga Perempuan

Naskah terkenal Harold Pinter, The Caretaker, yang seharusnya diperankan tiga laki-laki diadaptasi menjadi tiga perempuan. Beberapa persoalan muncul.

20 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH malam yang basah. Hujan di luar. Karina (dipe-rankan Tilona Saragih) membawa masuk seorang perempuan tua gelandangan (dimainkan Nosen Karol Handayani) ke kamarnya. Kamar itu mirip gudang. Ada dua dipan tidur sederhana. Selebihnya papan-papan, perkakas, dan barang rongsokan. Tampak sebuah ember digantung. Pertanda kamar itu bocor. Perempuan gelandangan itu kurang sehat. Karina dengan baik menyilakannya tinggal sementara waktu.

Baru satu malam, tapi muncullah masalah. Gelandangan itu mengaku selama ini memakai nama palsu. Nama aslinya Lauren Pasibuan, tapi sehari-hari ia dipanggil Jenny Permata. Gelandangan itu meminta sepatu agar bisa mengambil surat dan kartu identitas miliknya yang dia titipkan kepada sebuah keluarga di Jatinegara. Karina memberinya, tapi secara rewel gelandangan itu mencemooh karena sepatu tersebut dianggap kekecilan.

Judith (diperankan oleh Novinta Dhini Soetopo), saudari Karina, yang keesokan harinya datang, terkejut ada orang tua di kamar. Ia mengusirnya. Betapapun Karina memperbolehkan gelandangan itu tinggal, Judith mencurigainya terus-menerus. Situasi konflik terjadi saat ketiga perempuan itu memperebutkan hak atas kamar.

Kelompok Teater Pintu—semuanya alumnus Jurusan Teater Institut Kesenian Jakarta—mengadaptasi naskah Harold Pinter, The Caretaker, dalam festival adaptasi Teater Salihara, 9-10 April lalu. Naskah terkenal Pinter ini dibuat pada 1950-an. Setnya adalah sebuah flat di London dengan latar waktu musim dingin. Di situlah, pada suatu malam, Aston menyelamatkan seorang gelandangan bernama Davies yang terlibat perkelahian di kafe dan membawanya berlindung di flatnya. Tapi sang saudara, Mick, berlaku kasar dan mengintimidasi terus-menerus gelandangan itu. Secara berani kisah ketiga lelaki itu diadaptasi Teater Pintu menjadi kisah tiga perempuan di Jakarta.

Persoalannya, tidak mudah memindahkan situasi konflik laki-laki ke perempuan. Sedari awal terasa kurang kuat benar alasan mengapa Karina mau membawa gelandangan bernama Lauren itu menginap di rumahnya. Dalam adaptasi dikisahkan, Karina berbaik hati membawa Lauren karena gelandangan tua itu terlibat percekcokan di rumah makan Padang soal tempat duduk dan sampah. Tetap terasa lebih masuk akal alasan Aston membawa Davies ke kamarnya dalam naskah asli, yaitu perkelahian jalanan yang bisa merenggut nyawa Davies.

Tingkah laku Lauren yang paranoid terhadap “orang asing” juga kurang tertangkap. Sebentar-bentar gelandangan itu, saat di kamar melihat jendela, khawatir terhadap orang yang menjadi tetangga Karina. Dalam naskah asli dijelaskan karakter Davies, yakni tidak menyukai orang kulit hitam dan keturunan ras lain (mungkin ia sensitif terhadap kalangan imigran). Dalam pertunjukan malam itu, orang hitam diterjemahkan sebagai orang Papua. ”Kamar mandi, kau tidak berbagi dengan orang Papua itu, kan?” kata Lauren kepada Karina. Tak tertangkap masalah persoalan sosial dan ketakutan Davies terhadap orang kulit hitam yang mungkin menghajarnya dalam perkelahian dan mencarinya ke mana pun dia pergi.

Temperamen dan karakter emosi kakak-adik Aston dan Mick oleh Harold Pinter dibuat berbeda. Aston introver, sedangkan Mick ekstrover. Aston mempunyai pembawaan halus, Mick agresif dan impulsif. Mick senantiasa menakut-na-kuti dan mengancam Davies. Dalam naskah asli dikisahkan bahwa Aston pernah dianggap gila dan oleh dokter rumah sakit jiwa pernah disetrum. Itu membuat cara berpikirnya lambat dan susah berkonsentrasi. Sedangkan dalam adaptasi dikisahkan bahwa Karina pernah diasingkan oleh ibunya di sebuah pondok di pinggiran Jakarta, lalu ia dibantu untuk melarikan diri oleh Judith.

Tensi pertunjukan mulai naik tatkala gelandangan itu tersinggung karena oleh Karina saat tidur dianggap mengigau, meracau, berisik. “Yang berisik orang Papua itu,” ujar Lauren, sewot. Gelandangan itu terus-menerus rewel dan bawel soal angin dan air hujan yang terciprat masuk lewat jendela. Juga soal sepatu atau tali sepatu yang tidak pas.

Klimaksnya adalah saat gelandangan itu menuduh sakit jiwa Karina kambuh. Itu karena Karina, menurut dia, berhalusinasi terus memiliki mimpi buruk saat tidur. Karina yang semula menawari Lauren sebagai penjaga rumah (the caretaker) sampai mengusirnya. Tapi gelandangan tua itu marah dan mengeluarkan pisau lipat mengancam Karina. Pisau lipat itu dikeluarkannya lagi saat ia tersinggung dikata-katai Judith bahwa tubuhnya membuat ruangan berbau busuk.

Sayang, adegan pisau lipat ini kurang bisa maksimal karena pergerakan blocking ketiga aktor dari awal sampai akhir hanya seputar di depan tempat tidur. Tidak sampai menjelajah, berkejaran di sudut-sudut kamar. Eksplorasi blocking terasa minim dan stagnan.

Martin Esselin, kritikus teater, pernah menyebut naskah The Caretaker sebagai salah satu naskah absurd. Ia menyejajarkan naskah ini dengan naskah Samuel Beckett, Waiting for Godot dan End Game. Pemeran kedua naskah itu juga sedikit: empat orang. Tapi tidak bisa dibayangkan, misalnya, ada adaptasi para pemeran Waiting for Godot diganti perempuan semua. Toh, sesungguhnya, bila kita nikmati saja pertunjukan malam itu tanpa mencari-cari bandingan ke naskah asli, pertunjukan cukup lancar.

Para pemain Teater Pintu menunjukkan potensi keaktoran yang besar. Mereka mampu menyajikan bahwa ketiga perempuan dalam kamar itu masing-masing sesungguhnya memiliki persoalan kejiwaan. Terutama Nosen Karol Handayani. Sebagai gelandangan tua, ia mampu menghidupkan pentas yang disutradarai Novinta Dhini Soetopo (yang sekaligus berperan sebagai Judith) itu. Kita melihat potret sosial yang penuh paradoks: gelandangan tua yang terlunta-lunta, sakit-sakitan, asal-usulnya tak diketahui, tapi selalu tak puas diri dan bertahan dengan tipu-menipu. Itulah hidup absurd.

SENO JOKO SUYONO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus