Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah nama Indonesia. Alasannya, beberapa tahun silam, “Karena saya tak ingin orang mengenal saya sebagai sejarawan.” Belakangan, dia baru sadar bahwa ternyata “menulis dan menerbitkan fiksi jauh lebih susah daripada menerbitkan buku akademis”. Akhirnya, setelah mendengarkan saran sejumlah rekan, sang profesor terpaksa menggunakan nama sendiri, meski dia menyunatnya menjadi Tony Reid.
Anthony Reid lahir di Selandia Baru pada 19 Juni, 80 tahun silam. Seorang sejarawan Asia Tenggara yang karya doktoralnya di University of Cambridge bertema persaingan kekuasaan di utara Sumatera. Buku-buku sejarah Reid, seperti The Blood of the People, Asia in the Age of Commerce, Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia (1999); An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra (2004); dan Imperial Alchemy: Nationalism and Political Identity in Southeast Asia (2010), menjadi pegangan para mahasiswa sejarah. Di mana-mana, di berbagai negara, selalu saja ada alumnus “Pak Anthony” yang mengutip bukunya. Itulah sebabnya, menarik mengetahui alasan dia merasa perlu menambah deretan karyanya dengan sebuah buku fiksi sejarah.
Berikut ini petikan wawancara dengan profesor emeritus sejarah Australian National University, Canberra, itu yang dilakukan saat peluncuran novel pertamanya di Museum Nasional, Jakarta, Rabu, 20 Maret lalu, dan melalui surat elektronik.
Anda mengatakan ingin menulis novel agar bisa dibaca pembaca yang lebih luas, apa alasan lainnya?
Awalnya memang saya berniat (menulis novel) agar bisa meraih pembaca yang lebih luas, tapi ternyata jauh lebih sulit menulis dan menerbitkan sebuah novel daripada menerbitkan buku akademis. Ada hal lain yang menyebabkan saya sangat menikmati proses ini. Saya bisa memberikan emosi dan peran yang lebih besar kepada tokoh perempuan dibanding apa yang biasanya muncul dalam rekaman sejarah yang ditulis para lelaki yang merasa diri paling penting. Saya juga menikmati sikap ambivalen setiap tokoh sehingga timbul berbagai ide. Dalam setiap debat, sebagian dari diri saya menyetujui apa yang dikatakan tokoh Hodges, Sri, Romo, dan Anggalaga meski mereka bertentangan. Kita bisa membiarkan pembaca menyimpulkan sendiri, ini bukan yang diperoleh saat kita membaca karya akademis.
Siapa penulis fiksi sejarah yang Anda sukai?
Favorit saya Amitav Ghosh karena dia menulis dengan tema (sejarah) negara Asia yang saya kenal, Burma, Malaysia, India, juga barangkali lantaran dia melakukan transisi dari seorang akademikus, doktor dalam bidang antropologi. Penulis Nigel Barley yang menulis fiksi sejarah tentang Bali juga menarik. Hilary Mantel menulis tentang sejarah Tudor Inggris dengan piawai meski ada hal yang tak saya setujui darinya. Saya ingin memberikan penghormatan kepada kelompok penulis fiksi sejarah generasi baru di Indonesia yang akhirnya memberi pembaca Indonesia karya yang lebih simpatik dan lebih memahami sejarah abad ke-20 dibanding diktat sekolah yang membuat orang ogah membaca sejarah.
Apakah Thomas Hodges tokoh utama novel Anda terinspirasi dari tokoh nyata?
Ada beberapa pengelana pada abad ke-17 yang mempunyai rekaman yang memberi inspirasi, seperti Frederick de Houtman yang tertangkap di Aceh pada 1599-1601, juga Rijklof van Goens yang mengunjungi Mataram empat kali sebagai duta VOC.
Mengapa Anda memilih perdebatan agama sebagai salah satu tema? Apakah karena terasa relevan dengan persoalan hari ini?
Semula saya menganggap persoalan agama lebih menarik ditulis dalam buku sejarah, tapi ternyata itu juga dibutuhkan dalam fiksi. Tema ini membuat saya bisa menjelajahi isu yang fundamental, yaitu bagaimana kita yang mempunyai keimanan bisa memahami perbedaan dengan simpatik. Untuk kebutuhan itu, formula Bhinneka Tunggal Ika dan semua jalan keimanan memang hanya berbeda dari luar belaka, secara esensi mereka satu.
Dalam diskusi di Museum Nasional, Anda mengatakan menulis novel ini untuk pembaca Barat. Mengapa Anda membatasi pembaca Anda?
Saya menggunakan formula Hodges sebagai pusat cerita. Maka niat saya jelas sekali bahwa pembaca Anglophone bisa merasa terwakili oleh asumsi-asumsi dan kecurigaan orang Barat (terhadap Timur) yang biasanya diakhiri dengan rasa kagum atas keindahan Jawa. Teknik ini memudahkan saya karena pendidikan dan latar belakang saya kurang-lebih mirip dengan pembaca Anglophone secara umum sehingga saya bisa membuat pertemuan dengan Indonesia sebagai sesuatu yang kami rasakan.
Debat antara tokoh Hodges dan Romo sangat “Inggris” karena mereka mempertanyakan keimanan, nasionalisme, dan ilmu pengetahuan. Tapi sekarang, karena ternyata orang Indonesia mulai membaca buku ini, saya berharap pembaca Indonesia juga bersimpati terhadap bagaimana nenek moyangnya “menemukan” Eropa melalui adegan perdebatan mereka dengan berbagai pendatang Eropa.
LEILA S. CHUDORI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo