Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Melipat Waktu dan Jarak untuk Bapak

Sebuah film fantasi anak-anak yang diadaptasi dari sebuah novel klasik terkemuka. Sayang, sang sutradara kurang berhasil menciptakan jagat fantasi yang meyakinkan.

1 April 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Melipat Waktu dan Jarak untuk Bapak

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI sebuah dongeng, Madeleine L’Engle memulai novelnya dengan kalimat "It was a dark and stormy night". Dan seterusnya kita "terperangkap" dalam sebuah jagat fantasi seorang gadis bernama Meg Murry.

Film arahan Ava Duvernay ini memperkenalkan pasangan ilmuwan dahsyat Dr Kate Murry (Gugu Mbatha-Raw) dan Dr Alexander Murry (Chris Pine), orang tua Meg Murry (Storm Reid) dan Charles Wallace. Mereka mempresentasikan teori mereka bahwa "waktu dalam hitungan cahaya bisa dilipat sedemikian rupa" jika kita berada dalam satu frekuensi yang sama dengan alam semesta. Teori mereka ditertawai. Mereka belum siap mendengar teori yang terlalu revolusioner, demikian pikiran Kate, yang gelisah menyadari reaksi ilmuwan lain.

Dr Murry, yang sebegitu obsesif ingin "berjabat tangan dengan alam semesta", lantas mendadak menghilang dalam "lipatan waktu". Si gadis kecil Meg Murry merasa kehilangan pegangan. Semua guru hingga kawan-kawan di sekolah menganggap ayah Meg menghilang karena kecantol perempuan lain. Sedangkan adik bungsu Meg, si jenius Charles Wallace, tahu betul bapaknya berada di antara "lipatan" alam semesta dan mereka harus mencarinya. Jadilah film yang diawali dengan seorang anak gadis yang dikucilkan dan dirundung cewek-cewek populer sekolahnya berakhir sebagai penyelamat bumi.

Film yang diangkat dari novel anak-anak klasik yang terbit pada 1962 ini lebih dikenal oleh generasi 1960-an dan 1970-an yang sudah lama mengenal petualangan Meg Murry jauh sebelum heboh Harry Potter lahir di dunia. Sama seperti J.K. Rowling, penulis Madeline L’Engle juga mengalami penolakan oleh 26 penerbit sebelum akhirnya naskahnya disambar penerbit besar Farrar, Straus and Giroux. Salah satu alasan penolakan terhadap naskahnya adalahpada zaman ituprotagonis perempuan remaja dianggap tidak menarik.

Zaman sudah berubah meski Hollywood baru sekarang mempersoalkan persamaan hak upah pekerja seni dan gelora "inklusif". Tak mengherankan jika film seperti Black Panther (Ryan Coogler, 2018) menjadi salah satu standar keberhasilan. Bukan hanya karena mereka berhasil menampilkan film superhero kulit berwarnadengan para pemain kaukasian sebagai pemain pinggirantapi juga karena memang skenario dan eksekusi sutradara yang fantastis.

Lantas apakah sutradara Ava DuVernay, perempuan dan Afro-Amerika, yang kemudian mengobrak-abrik "warna" novel yang serba kulit putih menjadi sebuah gelora "inklusif" ini juga berhasil seperti halnya film Black Panther?

Sebetulnya, dari sisi plot, cerita Wrinkle in Time lebih layak disandingkan dengan film-film yang diangkat dari karya semacam The Little Prince atau The Wizard of Oz. Meski ini cerita anak-anak, isinya tetap mengandung filsafat tentang cinta dan keadilan, tentang bagaimana yang, "Memiliki kecepatan seperti cahaya hanyalah satu: kegelapan," demikian kata Mrs Which, satu di antara tiga makhluk celestial yang muncul dengan ukuran gigantik dan suara yang menggaung.

Tiga makhluk celestial itu adalah Mrs Which (Oprah Winfrey), yang bertubuh bak raksasa dan paling bijak; Mrs Who (Mindy Kaling), yang gemar menyamar sebagai nenek-nenek dan ucapannya adalah kutipan dari para tokoh bijak; serta Mrs Whatsit (Reese Witherspoon), yang begitu saja nyelonong ke rumah keluarga Murry dan berbincang ke sana-kemari hingga akhirnya dia mengkonfirmasi bahwa teori Dr Murry benar. "Ayahmu sedang berjabat tangan dengan alam semesta, dan kini dia ditarik oleh IT ke arena kegelapan. Hanya kamu yang bisa menolongnya."

Dari sini, kita diajak ke sebuah petualangan Meg beserta adiknya, Charles Wallace, dan Calvin, kawan Meg, untuk mencari sang ayah yang sudah menghilang diculik IT, kegelapan.

Perjalanan mencari si ayah ini sebetulnya bisa menjadi film perjalanan yang fantastis. Apalagi Disney Film, yang memproduksi film ini, seolah-olah tak pernah kehabisan uang. Artinya, anggaran film mereka luar biasa. Nama Ava DuVernay juga sudah terasa sebagai jaminan setelah film Selma yang menggebrak. Apalagi DuVernay sengaja melakukan sesuatu yang tak akan berani dilakukan Hollywood 10 tahun silam: meletakkan seorang Meg Murry dengan kulit berwarna dan berbagai casting yang sangat inklusif (ingat, dalam film produksi 2003, Meg Murry diperankan aktris remaja kulit putih).

Tapi sikap inklusif dan nama besar Oprah Winfrey serta Mindy Kaling tidaklah cukup. Film fantasi yang banyak berurusan dengan layar hijau dan computer-generated imagery (CGI) tidak hanya membutuhkan sikap politically-correct, tapi juga bercerita dengan menggunakan teknologi baru. Ketika ketiga nyonya makhluk angkasa membawa Meg dan kawan-kawannya ke atas dedaunan terbang yang mirip sayatan kulit manusia itu, saya tidak merasa ikut terbang berkelana. Dedaunan kulit itu menembus dimensi dan melalui portal ke planet seberang serta membuat nyeri lantaran bentuknya, sehingga saya mulai merasa sebaiknya berpegang pada novel klasik yang sudah melekat pada benak dan angan-angan. Warna-warni latar tetap meriah. Bunga-bungaan (mirip tulip) yang beterbangan kembang-kuncup dan diperlakukan sebagai "informan" itu juga menarik. Tapi kita mulai bertanya-tanya apakah DuVernay sedang berdongeng di bawah nama Disney atau sedang mengajak kita mencebur ke dalam sebuah tur "psychedelic".

Mungkin DuVernay ingin agak menyentuh rasa "offbeatlihatlah adegan para ibu rumah tangga era 1950-an dan anak-anaknya yang bak robot, seolah-olah DuVernay baru saja mengambil adegan film The Stepford Wives (Frank Oz, 2004) dan menjejalkannya ke dalam film petualangan ini.

Adapun tokoh Meg Murry, pahlawan kanak-kanak generasi saya, yang diperankan Storm Reidseorang remaja Afro-Amerikabukan problem. Yang menjadi masalah adalah DuVernay tidak berhasil mengguncang aktris baru ini agar dia tidak menjadi Meg yang kaku dan selalu cemberut. Meg adalah remaja cerdas yang bermasalah karena merasa ditinggalkan bapaknya. Tentu saja kompleksitas Meg tak sekadar cemberut sepanjang film.

Bahwa ada momen keharuan di antara reuni bapak dan anak, tentu itu sebuah pencapaian. Tapi satu adegan yang berhasil tak cukup. DuVernay kali ini tak menghasilkan sebuah karya besar, meski diangkat dari novel klasik ternama. Tapi, paling tidak, sikap DuVernay bisa diapresiasi sebagai sebuah langkah awal bagi industri film Hollywood bahwa di layar lebarseperti juga di dalam kehidupan nyatahidup tak hanya terdiri atas pemain kulit putih belaka.

Leila S. Chudori


A Wrinkle In Time
- Sutradara: Ava DuVernay
- Skenario: Jennifer Lee dan Jeff Stockwell berdasarkan novel karya Madeline L’Engle (1962)
- Pemain: Storm Reid, Oprah Winfrey, Reese Witherspoon, Chris Pine

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus