SEBUTKAN Sesuatu, judul karya Lian Sahar (46 tahun), adalah
sapuan spontan warna-warna merah, hijau, kuning, hitam, biru dan
lain lagi yang membentuk satu komposisi non-figuratif. 'Sesuatu'
di situ memang tepat. Bagi seseorang mungkin imaji visual sebuah
bunga yang lagi berkembang yang lain nungkin melihatnya
seperti bulu-bulu burung merak yang diclose up.
Karya tersebut adalah satu dari tiga buah lukisan yang 30
Desember kemarin dinyatakan sebagai 'lukisan terbaik', dan
mendapat hadiah masing-masing Rp 250 ribu -- pada Pameran Besar
Seni Lukis Indonesia (PBSLI) 1978, 14-31 Desember di Taman
Ismail Marzuki. Dua buah lukisan yang lain adalah karya Sadali
dan Srihadi.
Pemandangan Alam Jakarta, ini yang punya Srihadi. Dia memotret
satu kampung di Jakarta, yang jorok, tak teratur, terletak di
pinggir selokan besar. Di balik kampung itu muncul gedung
bertingkat yang di atasnya terpasang reklame Xerox, Gaya
Srihadi, dengan sapuan spontan yang menuangkan esensi bentuk,
memang tepat -- meski ini bukan lukisannya yang terbaik dalam
pameran tunggalnya Nopember lalu.
Bidang Omber dan Sisa-sisa Emas, lukisan Sadali, berlatar gelap
kehitaman, di sana-sini pada tempat yang tepat ada pancaran
warna emas. Komposisi lukisan vertikal pada bidang gambar yang
horisontal. Dibanding lukisan Sadali yang satu lagi yang
diikutkan Pameran Besar Seni Lukis Indonesia III, 1978, karya
ini memang lebih mantap, lebih terasa berat -- hanya secara
kompositoris ke seimbangan terasa kurang. Gelap latarbelakang
dan gelap tekstur sulit dirasakan perbedaannya. Cenderung
membosankan kalau lama kita lihat.
Kecuali tiga lukisan itu, dewan juri masih memutuskan lima
lukisan sebagai "memberi harapan baik," dengan hadiah Rp 100
ribu. Harapan satu Bunga November karya Nunung WS, 31 tahun.
Berupa komposisi bidang-bidang yang nyaris geometris. Warnanya
cerah, meski bulan Nopember biasanya kita kenal dengan hari-hari
berawan dan hujan.
Dibanding karya Nunung yang geometris benar, lukisan itu terasa
cair. Interaksi bidang-bidang tak menimbulkan apa-apa kecuali
memang selaras. Dan keselarasan ini rupanya dicapai dengan
menyamakan intensias bidang lebar dan bidang sempit, dengan
akibat: bidang gambar terasa tawar saja. Coba, lihat karya
Nunung yang benar-benar geometris dulu itu. Bidang yang lebar
benar mencekam, sementara garis-garis vertikal atau horisontal
yang tajam terasa membelah atau menarik bidang-bidang yang luas.
Pantai, adalah harapan kedua. Ini karya Nuzurlis Koto (32
tahun), sebuah lukisan non-figuratif. Ia menyusun lukisannya
dari bidang-bidang luas, terasa tajam-tajam bentuknya dengan
warna-warna yang keras: ada keselarasan antara warna dan bentuk.
Ketegasan menyapukan warna ini memang memberi harapan --
meskipun rasanya ia baru berani menyapu, belum sempat menjaga
bagaimana sapuannya membentuk satu keseluruhan yang kompak.
Betapapun ia jauh lebih kuat dari karya Nunung.
Harapan ketiga adalah Gubeng 2 karya Warsito, 32 tahun. Setasiun
yang sepi -- tak kelihatan seorang manusia pun. Tapi cara
menyusun gerbong-gerbong dan terutama tarikan garis-garis yang
membentuk gerbong itu, tidak sepi. Bidang gambar yang tak cukup
besar itu menjadi sarat dengan garis dan warna rasanya. Ada
kecenderungan lukisan Warsito berubah menjadi surealistis.
Kemungkinan yang paling dekat dengan gayanya ialah karya-karya
pelukis Italia Chirico yang meninggal beberapa bulan lalu. Tapi
itu baru kemungkinan.
Dua Kelompok
Harapan keempat diletakkan pada Ritme 77 karya Rudi Isbandi, 42
tahun. Pelukis yang juga sering menulis ini rupanya tidak suka
warna menyolok. Karyanya biasanya bernada tunggal dan bukan
warna yang tegas. Coklat muda keputihan, begitulah nada warna
Ritme 77 yang non-figuratif itu. Kekuatan Rudi ialah pada
aksen-aksennya yang kontras dengan bidang luas tak rata. Dan
karenanya sangat berarti noktah hijau pada latar coklat muda
keputihan itu.
Opening Ceremony adalah karya Nyoman Gunarso, 34 tahun.
Mengambil ide dari bentuk mata uang Bali dulu, ia menyusun satu
paduan bentuk dan warna. Keseluruhan interaksi bentuk-bentuk,
musikal. Cuma Nyoman agaknya suka mengabaikan latar belakang:
goresan dan sapuan bentuknya, beberapa terasa mengambang, tak
melekat pada latar belakang. Ini tentu saja bisa merupakan ide
cemerlang, andaikata tak terasa kalau bidang itu terlepas dari
komposisi keseluruhan.
Dewan juri tentu saja punya kriteria sendiri kenapa delapan
lukisan tersebut yang dipilih. Yang mungkin menimbulkan
persoalan ialah adanya dua kelompok hadiah itu. Bukankah sejak
dulu sudah disetujui untuk hanya menilai lukisannya, dan bukan
pelukignya? Dengan membedakan dalam dua kelompok, disahkanlah
adanya pelukis yang baru berkembang dan yang sudah matang.
Padahal DKJ sendiri sudah mempersiapkan pengelompokan secara
lain: dengan mengadakan pameran lukisan seniman muda, yang juga
dua tahun sekali, bergantian dengan PBSLI.
Agak susah menerima tersingkirnya lukisan Fadjar Sidik, Pirous,
Oesman Effendi dan Dede Eri Supria dari kesempatan mendapat
hadiah -- karena diperlukan adanya yang disebut lukisan "yang
memberi harapan baik" itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini