MALAM pertama, 6 Januari, pada penampilan kedua, karcis habis.
Di deretan depan kursi VIP Nyonya Fatmawati kelihatan segar.
Dalam deretan yang sama tampak wajah Bung Hatta, Ali Sadikin,
Tjokropranolo, ada juga Menteri Muda Gafur.
Dandanan panggung segera menjelasan watak enteng dan molek.
Panggung nti berlatar belakang hitam, dipenuhi trap yang
dilapisi semacam gelas yang nemantulkan cahaya. Bingkai depannya
hitam, dihiasi gambar bunga yang manis-manis. Sayap panggung
sebelah kiri menampung peralatan musik. Di kanan ada gamelan
Bali dan peralatan kelompok Gipsy. Kedua panggung kecil itu
dideking kain merah putih.
Acara tidak tepat dimulai pukul delapan. Panitia mengakui
sengaja melakukan jam karet karena cemas melihat empat duduk
belum semua terisi, padahal karcis amblas di loket. Rupanya pada
tukang catut sudah beraksi. Ada yang menjual karcis utama sampai
Rp 2 ribu.
Seluruh pendukung muncul memberikan salam buka sambil
menari-nari. Pakaian mereka mengambil corak Bali yang telah
dientengkan, sehingga praktis dan ngepop. Terasa juga bau Cina
dan Jepang. Umbul-umbul merah putih pun muncul. Semua yang di
panggung tersenyum, membuka mulut dan menggerakkan tubuh dengan
enerjetik dan segar. Tak ketinggalan barisan pelawak Prambors
yang diperkuat oleh Jack Jumbo dan Guruh sendiri yang berjoget
dalam irama dangdut.
Kita langsung merasakan sesuatu yang manis, sensuil, nakal,
remaja, tetapi sekaligus juga asing. Walaupun nomor pertama
tambah menukik ke Bali, karena yang dibawakan lagu berjudul
Janger Jakarta, terasa ada sesuatu yang hilang atau berobah.
Lagu ini diciptakan Guruh tahun 1975. Temanya bersumber pada
tari janger -- tari muda-mudi Bali yang lahir sekitar tahun dua
puluhan. Sebaris pria dan sebaris puteri Swara Maharddhika telah
berusaha mewariskan keriangannya, tetapi menyulap ornamennya
menjadi "brutal". Batas barisan pria dan wanita telah hilang,
keduanya bergerak dalam kegandrungan, dalam letupan emosi yang
sama. Gerakan mereka lepas, aresif, berani, dan kompak.
Selanjutnya seluruh penataan gerak dalam membawakan lagu dijiwai
semangat seperti itu. Kadang-kadang aneh, tetapi kaya, tidak
mengulang penataan gerak seperti yang sering terlihat di TVRI
dari Rudy Wowor atau Titiek Qadarsih. Guruh berhasil mencari
ornamen yang sensui tetapi tidak genit, malah kadang terasa naif
dan lucu. Meskipun ia tak sempat menterjemahkan secara isuil
seluruh tema lagunya ia baru memolesnya dengan gincu. Ini yang
membuat penampilannya menjadi rata, tidak memiliki dimensi.
Maklum maksudnya hanya menghibur.
Lagu selanjutnya, Nostalgia Hotel Des Indes, yang juga
diciptakan tahun 1975, dibawakan dengan kaku oleh Djayusman.
Kata-kata yang diucapkannya tak jelas. Ia berperan sebagai
seorang mahasiswa inlander yang naik beca ke Hotel Des Indes --
sekarang Duta Merlin, di bilangan Harmoni Jakarta. Di sana
sedang berlangsung pesta buie. Pemuda mahasiswa itu jatuh hati
pada seorang noni anak seorang residen -- dimainka oleh Trio
Bebek. Cinta sang pemuda ditolak -- lalu ia pun sadar bahwa
tanah yang dipijaknya beluni merdeka.
Lagu ini menaikkan sebuah becak ke panggung. Tetapi sentimen
kebangsaan agaknya tidak dikehendaki menjadi luapan kemarahan
yang sebenarnya. Maka becak pun disulap dengan warna emas,
sehingga peristiwa itu tidak memberi sugesti apa-apa - kecuali
kelucuan dan cinta kampung yang tak berbalas.
Tetapi dengan demikian tontonan juga jadi setia kepada niatnya
untuk tidak menggali-gali emosi penonton. Panggung menjadi
semacam etalase sebuah butik yang keren, mewah dan tanpa
cita-cita. Sesuatu yang jadi bertentangan dengan Ambisi Guruh
sendiri.
Trio Bebek -- Nina, Ana dan Ani-lantas mengangkut pertunjukan
itu dengan Januari Kelabu -- lagu cinta seorang pemuda yang
belum dapat jawaban dari kekasihnya, diciptakan Guruh 1971.
Lagunya manis, dan 'Bebek' membawakannya dengan penuh dan padu.
Gerak-geriknya tergarap. Dilanjutkan dengan lagu Masa Pancaroba
yang diciptakan Junaedi Salat dan Roni.
Setelah itu sa ap panggung sebelah kanan teran. Rombonan
Gipsy (Keenan, Chrisye, Oding, Roni, Abadi) mengganti suasana
ply-beck dengan pertunjukan hidup. Grup yang memakai seragam
memutih itu dibantu rombongan gamelan Bali yang dipimpin
Kompyang. Mereka membawakan tiga buah lagu Guruh yang ada dalam
kaset Guruh-Gipsy: Geger Gelgel. Chopin Larung dan Indonesia
Mabarddika.
Seharusnya nomor ini mencuat: ini lagu-lagu Guruh yang berhasil
sebagai lagu. Tapi ternyata tata suara tidak memberi dukungan,
apalagi gitar di talgan Chrisye mendapat gangguan. Nomor,ini
menjadi terlalu panjang, kosong dan melelahkan.
Rombongan lawak Prambors yang kemudian berusaha mengangkat
suasana, juga gagal. Pertama karena lawakan berjudul Inspeksi,
yang sempat mereka mainkan dalam gladi resik, terpaksa disunat
karena ada larangan tiba-tiba dari yang berwajib. Lawakan
pengganti berputar sekitar guru dan murid, dan berakhir dengan
hambar.
Lagu selanjutnya berjudul Smaradhana, diciptakan Guruh tahun
1972. Trio Bebek muncul lagi -- dengan gaya tari serimpi
Kemudian Herman keluar sebagai penyanyi. Lagu ini diilhami oleh
puisi Jawa Kuno Smaradhana -- Dewa Asmara Terbakar. Liriknya
juga berbau Jawa Kuno -- sesuatu yang memang disukai Guruh. Trio
Bebek berhasil memberi visualisasi intro yang menarik, tetapi
Herman tak sempat membuat penonton terpukau.
Akhmad Albar yang kemudian tampil dengan 2 buah lagu lebih
berhasil. Mula-mula ia muncul dengan serombongan anak muda
mengendarai Suzuki trail. Panggung hingar-bingar. Anak-anak muda
ambil posisi dan menari seperti dalam pertunjukan West Side
Story di Broadway. Lalu Albar menyanyikan Anak Jalanan. Dengan
blue jean belel dan rambut kribonya Albar membuktikan ia seorang
raja panggung yang tetap mempesona.
Motor yang dikendarai Albar akhirnya mogok. Tapi ia cepat lari
ke belakang, mengambil jubah hitam. Sementara sebuah piano
bohongan sudah dipajang. Dari puncak trap, Albar mengumandangkan
lagu Perikemanusiaan -- diciptakan Guruh tahun 1977, ditujukan
kepada Soekarno. Guruh menulis isi hatinya dalam lagu itu: "Ia
dinista dicaci dihina dimaki/Seakan tak pernah berjasa/Seakan ia
makhluk tak berguna/Namun tinta sejarah tak akan punah
musnah/Walau dihapuskan suatu saat kan tiba/Mata umat
terbuka/Tinggal kesal dan sesal." Tepuk tangan penonton
merajalela -- walaupun sayang sekali sesudah refrain, pita
rekaman rupanya kendor -- tidak sikron dengan akting Albar yang
sangat intens.
Lagu Anak Jalanan boleh dianggap paling menarik penampilannya.
Baik kostum maupun penggarapan geraknya terasa lebih mudah
diterima. Sementara penampilan lagu-lagu Guruh yang lain,
meskipun kwa musik bagus, tetapi isi liriknya sangat mengganggu.
Semangat nasionalisme dan patriotisme yang berkobar dalam lirik
itu terlalu jamak. Formulasinya tidak meyakinkan adanya
keterlibatan batin yang dalam, sehingga kesannya hanya tempelan
-- meski Guruh sendiri mengaku liriknya mengandung ekspresi yang
jujur.
Masih ada dua buah lagu Guruh lagi sesudah nomor ini. Jamrut
Kbatulistiwa, diciptakan 1976, sebuah musik disko yang dibawakan
dengan meriah. Kemudian Damai ( 1976) yang pernah menjadi salah
satu dari 5 buah lagu terbaik Festival Lagu Populer Indonesia
tahun itu. Di antara kedua lagu itu muncul kembali lawakan
Prambors yang mengambil cerita Arisan.
Penampilan Prambors kali ini untungnya lucu dan segar. Sekali
tempo muncul kritik sosial dan guyonan yang agak cabul. Suasana
pun jadi santai -- sebelum kemudian menyusul dua buah lagu
perjuangan, Bagimu Negeri dan Sorak-sorak Bergembira, yang
terasa seperti mencuri masuk panggung hiburan itu.
Bendera-bendera merah putih ukuran raksasa muncul memenuhi
pentas. Dikibar-kibarkan, dan melahirkan suasana teatral.
Apalagi kemudian rombongan gamelan Kompyang datang pula
dari pintu mengarak barong lengkap dengan sajen-sajen tinggi
yang dijunjung di kepala beberapa wanita.
Buntut pertunjukan jadi seremoni yang meriah. Semua pendukung
tampil kembali, menyanyikan Salam Perpisahan (1977). Balon-balon
dilepaskan. Tangan ditempelkan ke mulut dan dikecupkan untuk
semua penonton. Beberapa gadis berlari ke penonton membagikan
bunga. Ini menambah kesan sosok pcnampilan yang menjadi sangat
salon. Tetapi Guruh tidak berkeberatan.
Barangkali saja acara ini bisa lebih mcngesankan kalau Guruh
hanya memi kirkan musik, di bidang mana bakatnya menonjol.
Latihan-latihan sebelumnya, yang tidak dibebani kostum dan
dekorasi yang ingin spektakuler, justru lebih berharga. Guruh
tertarik oleh fasilitas dan seperti tidak mempercayai
kesederhanaan. Kostum yang dikerjakannya memang manis ditonton,
tetapi merugikan gerak yang hendak diekspresikan. Sementara
dekorasi dan lampu sama sekali tidak menolong -- walaupun
panitia berhasil mengeruk keuntungan minimal Rp 10 juta.
Ini memang sebuah peristiwa showbiz pribumi yang mungkin sekali
paling mahal dan sukses selama ini. Dari segi pencapaian
kesenimanan sangat berbeda jenisnya -- dan mutunya -- dari apa
yang misalnya diperbuat Sardono atau Rendra, bahkan Iwan Abdul
Rahman atau Slamet Abdul Syukur. Kalau toh tontonan model itu
(yang main dua kali sehari, dengan jumlah pengunjung kirakira
16.000 orang) memang harus ada di negeri ini, Guruh pantas
berpikir-pikir apa ia pribadi butuh melanjutkannya -- dan bukan
orang lain saja. Eksperimennya dalam Guruh-Gipsy, yang menjadi
penting karena penggaliannya ke musik tradisionil, jauh lebih
berharga untuk digenggam.
Apa kata Guruh sendiri? "Yah, saya merasa selama ini ada yang
menganggap karya saya bukan intertainmen ringan. Jadi saya ingin
membuktikan, di samping Renjana dan Guruh-Gipsy saya juga bisa
bikin hiburan ringan yang segar."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini