Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dengan fasilitas gemerlapan

Pada pertunjukan karya guruh sukarno putra ini, suasana penuh dengan kemewahan, yang dapat dilihat dari dekorasi dan kostum yang dipakai para pemain. (ms)

13 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM pertama, 6 Januari, pada penampilan kedua, karcis habis. Di deretan depan kursi VIP Nyonya Fatmawati kelihatan segar. Dalam deretan yang sama tampak wajah Bung Hatta, Ali Sadikin, Tjokropranolo, ada juga Menteri Muda Gafur. Dandanan panggung segera menjelasan watak enteng dan molek. Panggung nti berlatar belakang hitam, dipenuhi trap yang dilapisi semacam gelas yang nemantulkan cahaya. Bingkai depannya hitam, dihiasi gambar bunga yang manis-manis. Sayap panggung sebelah kiri menampung peralatan musik. Di kanan ada gamelan Bali dan peralatan kelompok Gipsy. Kedua panggung kecil itu dideking kain merah putih. Acara tidak tepat dimulai pukul delapan. Panitia mengakui sengaja melakukan jam karet karena cemas melihat empat duduk belum semua terisi, padahal karcis amblas di loket. Rupanya pada tukang catut sudah beraksi. Ada yang menjual karcis utama sampai Rp 2 ribu. Seluruh pendukung muncul memberikan salam buka sambil menari-nari. Pakaian mereka mengambil corak Bali yang telah dientengkan, sehingga praktis dan ngepop. Terasa juga bau Cina dan Jepang. Umbul-umbul merah putih pun muncul. Semua yang di panggung tersenyum, membuka mulut dan menggerakkan tubuh dengan enerjetik dan segar. Tak ketinggalan barisan pelawak Prambors yang diperkuat oleh Jack Jumbo dan Guruh sendiri yang berjoget dalam irama dangdut. Kita langsung merasakan sesuatu yang manis, sensuil, nakal, remaja, tetapi sekaligus juga asing. Walaupun nomor pertama tambah menukik ke Bali, karena yang dibawakan lagu berjudul Janger Jakarta, terasa ada sesuatu yang hilang atau berobah. Lagu ini diciptakan Guruh tahun 1975. Temanya bersumber pada tari janger -- tari muda-mudi Bali yang lahir sekitar tahun dua puluhan. Sebaris pria dan sebaris puteri Swara Maharddhika telah berusaha mewariskan keriangannya, tetapi menyulap ornamennya menjadi "brutal". Batas barisan pria dan wanita telah hilang, keduanya bergerak dalam kegandrungan, dalam letupan emosi yang sama. Gerakan mereka lepas, aresif, berani, dan kompak. Selanjutnya seluruh penataan gerak dalam membawakan lagu dijiwai semangat seperti itu. Kadang-kadang aneh, tetapi kaya, tidak mengulang penataan gerak seperti yang sering terlihat di TVRI dari Rudy Wowor atau Titiek Qadarsih. Guruh berhasil mencari ornamen yang sensui tetapi tidak genit, malah kadang terasa naif dan lucu. Meskipun ia tak sempat menterjemahkan secara isuil seluruh tema lagunya ia baru memolesnya dengan gincu. Ini yang membuat penampilannya menjadi rata, tidak memiliki dimensi. Maklum maksudnya hanya menghibur. Lagu selanjutnya, Nostalgia Hotel Des Indes, yang juga diciptakan tahun 1975, dibawakan dengan kaku oleh Djayusman. Kata-kata yang diucapkannya tak jelas. Ia berperan sebagai seorang mahasiswa inlander yang naik beca ke Hotel Des Indes -- sekarang Duta Merlin, di bilangan Harmoni Jakarta. Di sana sedang berlangsung pesta buie. Pemuda mahasiswa itu jatuh hati pada seorang noni anak seorang residen -- dimainka oleh Trio Bebek. Cinta sang pemuda ditolak -- lalu ia pun sadar bahwa tanah yang dipijaknya beluni merdeka. Lagu ini menaikkan sebuah becak ke panggung. Tetapi sentimen kebangsaan agaknya tidak dikehendaki menjadi luapan kemarahan yang sebenarnya. Maka becak pun disulap dengan warna emas, sehingga peristiwa itu tidak memberi sugesti apa-apa - kecuali kelucuan dan cinta kampung yang tak berbalas. Tetapi dengan demikian tontonan juga jadi setia kepada niatnya untuk tidak menggali-gali emosi penonton. Panggung menjadi semacam etalase sebuah butik yang keren, mewah dan tanpa cita-cita. Sesuatu yang jadi bertentangan dengan Ambisi Guruh sendiri. Trio Bebek -- Nina, Ana dan Ani-lantas mengangkut pertunjukan itu dengan Januari Kelabu -- lagu cinta seorang pemuda yang belum dapat jawaban dari kekasihnya, diciptakan Guruh 1971. Lagunya manis, dan 'Bebek' membawakannya dengan penuh dan padu. Gerak-geriknya tergarap. Dilanjutkan dengan lagu Masa Pancaroba yang diciptakan Junaedi Salat dan Roni. Setelah itu sa ap panggung sebelah kanan teran. Rombonan Gipsy (Keenan, Chrisye, Oding, Roni, Abadi) mengganti suasana ply-beck dengan pertunjukan hidup. Grup yang memakai seragam memutih itu dibantu rombongan gamelan Bali yang dipimpin Kompyang. Mereka membawakan tiga buah lagu Guruh yang ada dalam kaset Guruh-Gipsy: Geger Gelgel. Chopin Larung dan Indonesia Mabarddika. Seharusnya nomor ini mencuat: ini lagu-lagu Guruh yang berhasil sebagai lagu. Tapi ternyata tata suara tidak memberi dukungan, apalagi gitar di talgan Chrisye mendapat gangguan. Nomor,ini menjadi terlalu panjang, kosong dan melelahkan. Rombongan lawak Prambors yang kemudian berusaha mengangkat suasana, juga gagal. Pertama karena lawakan berjudul Inspeksi, yang sempat mereka mainkan dalam gladi resik, terpaksa disunat karena ada larangan tiba-tiba dari yang berwajib. Lawakan pengganti berputar sekitar guru dan murid, dan berakhir dengan hambar. Lagu selanjutnya berjudul Smaradhana, diciptakan Guruh tahun 1972. Trio Bebek muncul lagi -- dengan gaya tari serimpi Kemudian Herman keluar sebagai penyanyi. Lagu ini diilhami oleh puisi Jawa Kuno Smaradhana -- Dewa Asmara Terbakar. Liriknya juga berbau Jawa Kuno -- sesuatu yang memang disukai Guruh. Trio Bebek berhasil memberi visualisasi intro yang menarik, tetapi Herman tak sempat membuat penonton terpukau. Akhmad Albar yang kemudian tampil dengan 2 buah lagu lebih berhasil. Mula-mula ia muncul dengan serombongan anak muda mengendarai Suzuki trail. Panggung hingar-bingar. Anak-anak muda ambil posisi dan menari seperti dalam pertunjukan West Side Story di Broadway. Lalu Albar menyanyikan Anak Jalanan. Dengan blue jean belel dan rambut kribonya Albar membuktikan ia seorang raja panggung yang tetap mempesona. Motor yang dikendarai Albar akhirnya mogok. Tapi ia cepat lari ke belakang, mengambil jubah hitam. Sementara sebuah piano bohongan sudah dipajang. Dari puncak trap, Albar mengumandangkan lagu Perikemanusiaan -- diciptakan Guruh tahun 1977, ditujukan kepada Soekarno. Guruh menulis isi hatinya dalam lagu itu: "Ia dinista dicaci dihina dimaki/Seakan tak pernah berjasa/Seakan ia makhluk tak berguna/Namun tinta sejarah tak akan punah musnah/Walau dihapuskan suatu saat kan tiba/Mata umat terbuka/Tinggal kesal dan sesal." Tepuk tangan penonton merajalela -- walaupun sayang sekali sesudah refrain, pita rekaman rupanya kendor -- tidak sikron dengan akting Albar yang sangat intens. Lagu Anak Jalanan boleh dianggap paling menarik penampilannya. Baik kostum maupun penggarapan geraknya terasa lebih mudah diterima. Sementara penampilan lagu-lagu Guruh yang lain, meskipun kwa musik bagus, tetapi isi liriknya sangat mengganggu. Semangat nasionalisme dan patriotisme yang berkobar dalam lirik itu terlalu jamak. Formulasinya tidak meyakinkan adanya keterlibatan batin yang dalam, sehingga kesannya hanya tempelan -- meski Guruh sendiri mengaku liriknya mengandung ekspresi yang jujur. Masih ada dua buah lagu Guruh lagi sesudah nomor ini. Jamrut Kbatulistiwa, diciptakan 1976, sebuah musik disko yang dibawakan dengan meriah. Kemudian Damai ( 1976) yang pernah menjadi salah satu dari 5 buah lagu terbaik Festival Lagu Populer Indonesia tahun itu. Di antara kedua lagu itu muncul kembali lawakan Prambors yang mengambil cerita Arisan. Penampilan Prambors kali ini untungnya lucu dan segar. Sekali tempo muncul kritik sosial dan guyonan yang agak cabul. Suasana pun jadi santai -- sebelum kemudian menyusul dua buah lagu perjuangan, Bagimu Negeri dan Sorak-sorak Bergembira, yang terasa seperti mencuri masuk panggung hiburan itu. Bendera-bendera merah putih ukuran raksasa muncul memenuhi pentas. Dikibar-kibarkan, dan melahirkan suasana teatral. Apalagi kemudian rombongan gamelan Kompyang datang pula dari pintu mengarak barong lengkap dengan sajen-sajen tinggi yang dijunjung di kepala beberapa wanita. Buntut pertunjukan jadi seremoni yang meriah. Semua pendukung tampil kembali, menyanyikan Salam Perpisahan (1977). Balon-balon dilepaskan. Tangan ditempelkan ke mulut dan dikecupkan untuk semua penonton. Beberapa gadis berlari ke penonton membagikan bunga. Ini menambah kesan sosok pcnampilan yang menjadi sangat salon. Tetapi Guruh tidak berkeberatan. Barangkali saja acara ini bisa lebih mcngesankan kalau Guruh hanya memi kirkan musik, di bidang mana bakatnya menonjol. Latihan-latihan sebelumnya, yang tidak dibebani kostum dan dekorasi yang ingin spektakuler, justru lebih berharga. Guruh tertarik oleh fasilitas dan seperti tidak mempercayai kesederhanaan. Kostum yang dikerjakannya memang manis ditonton, tetapi merugikan gerak yang hendak diekspresikan. Sementara dekorasi dan lampu sama sekali tidak menolong -- walaupun panitia berhasil mengeruk keuntungan minimal Rp 10 juta. Ini memang sebuah peristiwa showbiz pribumi yang mungkin sekali paling mahal dan sukses selama ini. Dari segi pencapaian kesenimanan sangat berbeda jenisnya -- dan mutunya -- dari apa yang misalnya diperbuat Sardono atau Rendra, bahkan Iwan Abdul Rahman atau Slamet Abdul Syukur. Kalau toh tontonan model itu (yang main dua kali sehari, dengan jumlah pengunjung kirakira 16.000 orang) memang harus ada di negeri ini, Guruh pantas berpikir-pikir apa ia pribadi butuh melanjutkannya -- dan bukan orang lain saja. Eksperimennya dalam Guruh-Gipsy, yang menjadi penting karena penggaliannya ke musik tradisionil, jauh lebih berharga untuk digenggam. Apa kata Guruh sendiri? "Yah, saya merasa selama ini ada yang menganggap karya saya bukan intertainmen ringan. Jadi saya ingin membuktikan, di samping Renjana dan Guruh-Gipsy saya juga bisa bikin hiburan ringan yang segar."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus