MENGHAMPIRI ulang tahunnya yang kedua puluh enam kemarin -- 13
Januari -- Guruh menempatkan diri sebagai anak Soekarno yang
paling melejit tanpa main politik. Ia tampil dengan pertunjukan
musik yang spektakuler di Balai Sidang Senayan, 6 dan 7 Januari,
yang didukung oleh sekitar 100 musisi dengan biaya Rp 53 juta.
Pertunjukan tersebut merupakan tetes pertama untuk dunia showbiz
pribumi yang diusahakan gede-gedean. Apalagi selama ini panggung
banyak melompong. Para artis kebanyakan main-main di studio
rekaman: baik organisasi yang pernah getol seperti Papiko,
maupun bintang panggung kayak Ahmad Albar diam-diam mencabut
diri dari pentas. Banjir kaset merajalela, dunia showbiz sepi.
Bayangkan: karcis pertunjukan Guruh, yang harganya Rp 3.000, Rp
5.000, Rp 8.000, disedot penonton yang di antaranya datang dari
luar kota. Barangkali saja ada yang beli karcis karena Guruh
anak Bung Karno -- dan ini memang kemujuran. Tetapi
alhamdulillah pertunjukan yang berlangsung 2 kali setiap hari
itu (pukul 4 dan pukul 8) sama sekali bukan semacam arena
nostalgia. Ia tetap setia pada musik -- meski memang tidak
muncul dalam kesatuan tema.
Penampilan itu merupakan kumpulan lagu-lagu Guruh yang dibawakan
dengan tari -- yang juga dirancang Guruh sendirl. Semacam
tontonan aneka ragam, variety show, yang ingin menyenangkan
banyak orang. Ada ambisi untuk membangkitkan rasa patriotisme.
Ada semangat eksperimen dengan memadukan gamelan dengan musik
klasik dan pop. Ada bau salon yang keras untuk menunjukkan
sesuatu yang cantik dan rapi.
"Sejak kecil saya memang sudah memimpikan untuk membuat sebuah
pertunjukan seperti di Broadway, Lido dan Moulin Rouge di
Perancis atau Opera Peking," kata Guruh kepada TEMPO. Ia
menyebut-nyebut juga Hollywood, Walt Disney dan kemudian
Takaratsuka di Jepang. Sejauh pengalamannya, menyaksikan
pertunjukan kesenian antar negara, ia selalu menjumpai Indonesia
tampil dengan buruk. Bukan karena materi yang dipersembahkan.
Tapi karena penyuguhannya. "Ini bertolak dari penyakit asal
jadi," ujarnya. "Saya melihat masih semrawut, detailnya tidak
tergarap, dan ini semua karena tidak adanya disiplin."
Diketahui, Guruh mula-mula nongol setelah lagunya Renjana menang
dalam Festival Lagu Populer Indonesia 1975. Dengan mengantongi
sejumlah lagu, ia kemudian bertemu dengan Johny Lantang yang
punya satu kelompok anak sekolah yang sedang gila main folk
song. Dengan kelompok itu Guruh membuat semacam laboratorium
kerja. Kelompok itulah yang kemudian diresmikan sebagai Swara
Maharddhika, 27 Maret 1977. Artinya: suara yang hebat, perkasa
dan merdeka. Tetapi nama saja bukan jaminan -- kelompok ini
tidak segera bisa mewujudkan impian Guruh.
Dan harga mimpi anak presiden pertama kita ini ternyata terlalu
mahal. Agustus tahun lalu, mula-mula diperkirakan hanya Rp 7
juta. Tetapi setelah panitia kecil sempat dibentuk, angka itu
justru membengkak jadi Rp 20 juta. Kawan-kawan Guruh di Swara
Maharddhika tertegun. Untung ada Guntur, kakak sulungnya, yang
kemudian membawa rencana itu ke meja HIPMI (Himpunan Pengusaha
Muda Indonesia). Orang HIPMI pada ketawa melihat angka itu.
Mereka tertarik. Akhirnya HIPMI berembuk dengan Guruh. Dari
hasil perhitungan, dipastikan biaya tidak akan kurang dari Rp 53
juta. HIPMI langsung buka dompet menyediakan Rp 25 juta untuk
modal awal. "Guruh masih dalam proses yang perlu ditunjang,"
kata Husni Thamrin Sabirin, Sekretaris HIPMI menjelaskan. Uang
itu diartikan sebagai modal pinjaman. Kekurangannya kemudian
diburu dari kantong sponsor, dengan menerbitkan sebuah lembaran
acara yang disusun dalam gaya koran, juga bernama Swara
Mahardhika. Koran yang dicetak 20 ribu eksemplar ini saja sudah
menghabiskan Rp 3,5 juta - tetapi berhasil menggaet duit
sebanyak Rp 18 juta, yang notabene dari para anggota HIPMI
sendiri. Tak kurang dari 26 orang bergerak dalam kepanitiaan.
Bekerja tidak semata-mata karena honor, tetapi oleh dorongan
solidaritas. Sulit ditentukan apakah ini dijiwai oleh idealisme
musik 54 atau "karisma" Guruh. Anak Presiden ini sudah
mengumpulkan begitu banyak musisi muda yang paling laris masa
ini seperti Keenan, Chrisye, Yockie, Roni dan Achmad Albar.
Kerja itu mungkin sulit dilakukan orang lain. Belum lagi 84
orang anggota Swara Maharddhika yang berkumpul dengan disertai
rasa kagum. Ini merupakan sesuatu yang tersendiri pada Guruh
memang.
Setelah ada modal, didampingi Junaedi Salat dan Ronny Harahap,
Guruh membawa Swara Maharddhika membuat rekaman di Studio Gelora
Seni. Sudah diputuskan bahwa sebagian pertunjukan akan
dilangsungkan secara play-back. "Untuk pementasan yang dilakukan
anak-anak yang masih sekolah, belum profesional, kalau tidak
play-back risikonya terlalu besar," kata Chrisye memberi
komentar.
Rekaman itu mengambil waktu 34 hari -- dan menghasilkan 18 lagu.
Ongkosnya Rp 3 juta. Junaedi menganggap kwalitas rekaman itu
hanya pas-pasan saja -- karena anggota 'SM' sibuk sekolah, jadi
rekaman hanya bisa malam hari. Sadar pada kwalitas suara yang
masih kurang, Guruh sendiri menetapkan penampilan harus didukung
kostum yang keren dan gerak yang menarik. Tata sandang lantas
direncanakannya sendiri -- secara tak tanggung-tanggung. Kuncir
hias kepala misalnya, supaya tidak kalah dari rombongan 'Royal
Family' di Eropa, langsung dibeli dari Paris. Sementara untuk
gerak, dengan bantuan Atik Ganda, setiap hari Guruh sibuk
mencari perpaduan dari tari Bali, Jawa, Melayu dan gerak Kung
Fu.
Menjelang saat pertunjukan, untuk memudahkan koordinasi, seluruh
pendukung penampilan dikarantinakan di Gelanggang Mahasiswa
Kuningan -- sejak 2 Desember, alias 4 - 5 hari sebelum mulai.
Sembilan buah ruangan mereka tempati, sementara latihan terus
dilangsungkan di Gedung Pengembangan Kesenian tak jauh dari
situ. Tentu saja ini merepotkan -- tidak hanya bagi beberapa
anak yang harus sekolah. Tapi "dengan dibantu beberapa orangtua,
saya harus menjamin tidak akan terjadi apaapa dalam karantina,"
tutur Guruh.
"Saya merasa sebagai pekerja saja. Saya percaya, unsur-unsur
yang lemah kalau dipadu bisa jadi kekuatan. Karena itu juga saya
menekankan soal-soal presentasi yang sifatnya visuil. Jadi
penampilan ini tidak bisa disamakan dengan eksperimen seperti
dalam kaset Guruh-Gipsy. Kaset itu berat. Sedang ini hanya
hiburan segar, intertainmen yang ringan tetapi apik."
Ia tak menolak kalau pertunjukannya dianggap tontonan "anak
gedongan". Ia sendiri menyadari telah dibesarkan sebagai anak
gedongan. "Tapi bagi saya memang sebaiknya kita harus memulai
dari atas, kalau ingin memperbaiki moral di negeri ini,"
ujarnya. Sebaliknya ia juga merasa harus "merakyatkan"
tontonannya yang mewah itu. Karena itu tanggal 5 sore, pintu
Balai Sidang dibuka gratis untuk anak-anak yatim piatu, keluarga
veteran serta penderita cacad, untuk menyaksikan gladi resik
yang dimainkan dengan kostum lengkap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini