Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mimpi anak bekas presiden

Guruh sukarno putra mengadakan pertunjukan di balai sidang, tgl 6 & 7 jan 1979, yang didukung oleh 100 musisi. pertunjukan tersebut merupakan hasil pertama untuk dunia showbiz pribumi.(ms)

13 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGHAMPIRI ulang tahunnya yang kedua puluh enam kemarin -- 13 Januari -- Guruh menempatkan diri sebagai anak Soekarno yang paling melejit tanpa main politik. Ia tampil dengan pertunjukan musik yang spektakuler di Balai Sidang Senayan, 6 dan 7 Januari, yang didukung oleh sekitar 100 musisi dengan biaya Rp 53 juta. Pertunjukan tersebut merupakan tetes pertama untuk dunia showbiz pribumi yang diusahakan gede-gedean. Apalagi selama ini panggung banyak melompong. Para artis kebanyakan main-main di studio rekaman: baik organisasi yang pernah getol seperti Papiko, maupun bintang panggung kayak Ahmad Albar diam-diam mencabut diri dari pentas. Banjir kaset merajalela, dunia showbiz sepi. Bayangkan: karcis pertunjukan Guruh, yang harganya Rp 3.000, Rp 5.000, Rp 8.000, disedot penonton yang di antaranya datang dari luar kota. Barangkali saja ada yang beli karcis karena Guruh anak Bung Karno -- dan ini memang kemujuran. Tetapi alhamdulillah pertunjukan yang berlangsung 2 kali setiap hari itu (pukul 4 dan pukul 8) sama sekali bukan semacam arena nostalgia. Ia tetap setia pada musik -- meski memang tidak muncul dalam kesatuan tema. Penampilan itu merupakan kumpulan lagu-lagu Guruh yang dibawakan dengan tari -- yang juga dirancang Guruh sendirl. Semacam tontonan aneka ragam, variety show, yang ingin menyenangkan banyak orang. Ada ambisi untuk membangkitkan rasa patriotisme. Ada semangat eksperimen dengan memadukan gamelan dengan musik klasik dan pop. Ada bau salon yang keras untuk menunjukkan sesuatu yang cantik dan rapi. "Sejak kecil saya memang sudah memimpikan untuk membuat sebuah pertunjukan seperti di Broadway, Lido dan Moulin Rouge di Perancis atau Opera Peking," kata Guruh kepada TEMPO. Ia menyebut-nyebut juga Hollywood, Walt Disney dan kemudian Takaratsuka di Jepang. Sejauh pengalamannya, menyaksikan pertunjukan kesenian antar negara, ia selalu menjumpai Indonesia tampil dengan buruk. Bukan karena materi yang dipersembahkan. Tapi karena penyuguhannya. "Ini bertolak dari penyakit asal jadi," ujarnya. "Saya melihat masih semrawut, detailnya tidak tergarap, dan ini semua karena tidak adanya disiplin." Diketahui, Guruh mula-mula nongol setelah lagunya Renjana menang dalam Festival Lagu Populer Indonesia 1975. Dengan mengantongi sejumlah lagu, ia kemudian bertemu dengan Johny Lantang yang punya satu kelompok anak sekolah yang sedang gila main folk song. Dengan kelompok itu Guruh membuat semacam laboratorium kerja. Kelompok itulah yang kemudian diresmikan sebagai Swara Maharddhika, 27 Maret 1977. Artinya: suara yang hebat, perkasa dan merdeka. Tetapi nama saja bukan jaminan -- kelompok ini tidak segera bisa mewujudkan impian Guruh. Dan harga mimpi anak presiden pertama kita ini ternyata terlalu mahal. Agustus tahun lalu, mula-mula diperkirakan hanya Rp 7 juta. Tetapi setelah panitia kecil sempat dibentuk, angka itu justru membengkak jadi Rp 20 juta. Kawan-kawan Guruh di Swara Maharddhika tertegun. Untung ada Guntur, kakak sulungnya, yang kemudian membawa rencana itu ke meja HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia). Orang HIPMI pada ketawa melihat angka itu. Mereka tertarik. Akhirnya HIPMI berembuk dengan Guruh. Dari hasil perhitungan, dipastikan biaya tidak akan kurang dari Rp 53 juta. HIPMI langsung buka dompet menyediakan Rp 25 juta untuk modal awal. "Guruh masih dalam proses yang perlu ditunjang," kata Husni Thamrin Sabirin, Sekretaris HIPMI menjelaskan. Uang itu diartikan sebagai modal pinjaman. Kekurangannya kemudian diburu dari kantong sponsor, dengan menerbitkan sebuah lembaran acara yang disusun dalam gaya koran, juga bernama Swara Mahardhika. Koran yang dicetak 20 ribu eksemplar ini saja sudah menghabiskan Rp 3,5 juta - tetapi berhasil menggaet duit sebanyak Rp 18 juta, yang notabene dari para anggota HIPMI sendiri. Tak kurang dari 26 orang bergerak dalam kepanitiaan. Bekerja tidak semata-mata karena honor, tetapi oleh dorongan solidaritas. Sulit ditentukan apakah ini dijiwai oleh idealisme musik 54 atau "karisma" Guruh. Anak Presiden ini sudah mengumpulkan begitu banyak musisi muda yang paling laris masa ini seperti Keenan, Chrisye, Yockie, Roni dan Achmad Albar. Kerja itu mungkin sulit dilakukan orang lain. Belum lagi 84 orang anggota Swara Maharddhika yang berkumpul dengan disertai rasa kagum. Ini merupakan sesuatu yang tersendiri pada Guruh memang. Setelah ada modal, didampingi Junaedi Salat dan Ronny Harahap, Guruh membawa Swara Maharddhika membuat rekaman di Studio Gelora Seni. Sudah diputuskan bahwa sebagian pertunjukan akan dilangsungkan secara play-back. "Untuk pementasan yang dilakukan anak-anak yang masih sekolah, belum profesional, kalau tidak play-back risikonya terlalu besar," kata Chrisye memberi komentar. Rekaman itu mengambil waktu 34 hari -- dan menghasilkan 18 lagu. Ongkosnya Rp 3 juta. Junaedi menganggap kwalitas rekaman itu hanya pas-pasan saja -- karena anggota 'SM' sibuk sekolah, jadi rekaman hanya bisa malam hari. Sadar pada kwalitas suara yang masih kurang, Guruh sendiri menetapkan penampilan harus didukung kostum yang keren dan gerak yang menarik. Tata sandang lantas direncanakannya sendiri -- secara tak tanggung-tanggung. Kuncir hias kepala misalnya, supaya tidak kalah dari rombongan 'Royal Family' di Eropa, langsung dibeli dari Paris. Sementara untuk gerak, dengan bantuan Atik Ganda, setiap hari Guruh sibuk mencari perpaduan dari tari Bali, Jawa, Melayu dan gerak Kung Fu. Menjelang saat pertunjukan, untuk memudahkan koordinasi, seluruh pendukung penampilan dikarantinakan di Gelanggang Mahasiswa Kuningan -- sejak 2 Desember, alias 4 - 5 hari sebelum mulai. Sembilan buah ruangan mereka tempati, sementara latihan terus dilangsungkan di Gedung Pengembangan Kesenian tak jauh dari situ. Tentu saja ini merepotkan -- tidak hanya bagi beberapa anak yang harus sekolah. Tapi "dengan dibantu beberapa orangtua, saya harus menjamin tidak akan terjadi apaapa dalam karantina," tutur Guruh. "Saya merasa sebagai pekerja saja. Saya percaya, unsur-unsur yang lemah kalau dipadu bisa jadi kekuatan. Karena itu juga saya menekankan soal-soal presentasi yang sifatnya visuil. Jadi penampilan ini tidak bisa disamakan dengan eksperimen seperti dalam kaset Guruh-Gipsy. Kaset itu berat. Sedang ini hanya hiburan segar, intertainmen yang ringan tetapi apik." Ia tak menolak kalau pertunjukannya dianggap tontonan "anak gedongan". Ia sendiri menyadari telah dibesarkan sebagai anak gedongan. "Tapi bagi saya memang sebaiknya kita harus memulai dari atas, kalau ingin memperbaiki moral di negeri ini," ujarnya. Sebaliknya ia juga merasa harus "merakyatkan" tontonannya yang mewah itu. Karena itu tanggal 5 sore, pintu Balai Sidang dibuka gratis untuk anak-anak yatim piatu, keluarga veteran serta penderita cacad, untuk menyaksikan gladi resik yang dimainkan dengan kostum lengkap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus