GURUH lahir di Jakarta, 13 Januari 1953. Masuk sekolah taman
kanak-kanak di kompleks Istana, lalu menyambungnya di Perguruan
Cikini. 1972-1974 ia berada di Negeri Belanda belajar Arkeologi
di Universitas Amsterdam. Sebelum berangkat ia sudah akrab
dengan gamelan Bali lewat gurunya I Made Gerindem di daerah
Teges, Ubud.
Ibunya, Nyonya Fatmawati, menceritakan bahwa Guruh sejak kecil
memang tekun, suka kerja keras dan suka menasehati orang.
"Memang benar dalam keluarga salah satu yang menonjol pada Guruh
ketekunannya," kata Guntur, kakaknya yang paling sulung.
Diceritakannya juga bahwa Guruh sudah main piano sejak kelas V
SD. Waktu SMP ia membentuk band bernama 'Flower Poetman'. Ia
juga mendapat pelajaran tari dan gamelan Jawa dari Pratono --
sekarang di Kanwil P&K. Sedang tari Sunda didapatnya dari
seorang yang disebut Guntur Pak Samsi.
Sejak di Negeri Belanda Guruh sudah belajar berdiri sendiri.
Guruh mempergunakan kepintarannya main gamelan: ia memberi
kursus.
Kembali ke Indonesia,ia menempati rumah di Jalan Sriwijaya.
Sejak setengah tahun lalu seluruh perawatan rumah itu harus
ditanggungnya sendiri. "Guruh sudah dianggap mampu untuk itu,"
kata Guntur. Uangnya dari mana? "Ya saya menyimpan duit di bank,
mengontrakkan rumah, sama jual lagu," kata Guruh. "Kita sekarang
sudah sendiri-sendiri. Nafkah sebenarnya sudah seret. Agak
minim."
Guruh menulis lagu pertamanya di tahun 1968, berjudul Sepasang
Merpaei. Pengetahuan teori dan komposisi didapatnya dari Muchtar
Embut. Sampai sekarang tidak kurang dari 40 buah lagu pop yang
dihasilkannya.
Kasetnya berjudul Gurub-Gipsy, yang dikerjakan bersama kelompok
band Keenan dan merupakan ekspcrimen yang menggabungkan unsur
musik klasik, pop dan tradisionil, mendapat tanggapan bagus dari
para musisi. Ada yang mengatakan Guruh lebih berhasil dari Harry
Rusli dari Bandung, yang juga berusaha mencampurkan musik rock
dengan gamelan Sunda. Kaset Guruh-Gipsy itu sendiri jauh lebih
bagus dari misalnya Bali Agung yang dikerjakan Eberhart Schoner
dari Deep Purple.
Apa yang dilakukan Guruh sebenarnya tak terlepas dari apa yang
sedang terjadi dalam percaturan musik pop mancanegara. Setelah
Beatles pecah, grup keras seperti Led Zeppelin, Deep Purple,
Uriah Heep, Grand Punk dan sebagainya mencoba mendominir
pasaran. Musik menjadi sangat brutal dan keras. Tetapi kemudian
grup-grup lain berusaha mencampurkan rock dengan klasik dan jazz
seperti yang dilakukan, Mahavisnu, Emerson Lake & Palmer, Yes,
Queen, Pink Floyd dan sebagainya Muncullah musik yang lebih
kontemplatif dan kadang manis. Yang terakhir ini kemudian tampak
mengalir dalam penggarapan musik pop kita.
Sezaman dengan Guruh adalah orang sepcrti Eros Djarot di samping
Harry Rusli. Eros memberikan titik letup pada penggarapan musik
pop yang lebih segar, lewat kasetnya yang bernama Badai Pasti
Berlalu -- yang didominir oleh permainan keyboard Jockie. Kaset
ini pula mulai mengorbitkan suara sopran seperti yang dimiliki
HutauFuk Bersaudara dan suara-suara cemeng manis Chrisye.
Tak lama kemudian Keenan dan Chrisye tampil sendiri-sendiri.
Lalu melejit pula nama Jockie sebagai pengaransir yang sangat
berbakat. Mereka menggabungkan kemanisan dan kegesitan Eros
dengan pencarian-pencarian Guruh menjadi satu bentuk baru.
Publik yang rupanya sudah bosan dengan musik pop macam Koes Plus
dan Riyanto, atau juga Titiek Puspa, segera menyambut musik
anak-anak muda ini. Dengan tidak sengaja terjadilah peremajaan
dalam musik pop kita. Terutama dalam aransemen, ekspresi maupun
penulisan lirik yang kemudian cenderung patriotik.
Harian Kompas menamakan musik baru ini "pop klasik". Apapun
namanya, dalam musik ini para remaja ikut aktif di dalamnya:
berekspresi dengan lebih jujur dan sedikit demi sedikit
melepaskan diri dari pendiktean selera produser Ini tak bisa
dilepaskan dari makin banyaknya studio dan makin mudahnya
kesempatan rekaman. Sementara sejak lama sudah ada grup folk
song di sekolah-sekolah yang merupakan ladang pembibitan. Api
yang lain disulut oleh adanya lomba cipta remaja Prambors dan
kursus-kursus musik yang menyebarkan keterampilan.
Berbeda dengan sebelumnya, generasi muda musik pop ini satu sama
lain akur -- setidak-tidaknya sampai sekarang. Figur Guruh di
antara mereka tetap merupakan tokoh yang disegani karena
beberapa bukti yang jelas. Latar belakang musik tradisionilnya.
Kemenangannya dengan Renjana, yang mewakili Indonesia ke
festival internasional di Tokyo 1976. Dan di samping kwalitas
Guruh-Gipsy, juga n ilustrasi musiknya untuk film Ali Topan Anak
Jalanan yang dapat hadiah kedua dalam Festival Film Indonesia di
Ujung Pandang tahun lalu. Harapannya dalam dunia musik besar,
meski anak Bung Karno ini tampak punya kcinginan lain juga.
"Cita-cita saya ada untuk terus menekuni bidang komposisi
musik," ujarnya "Tetapi sekarang mulai tidak ada waktu. Terasa
hidup saya tidak harya untuk itu. Ada hal lain yang seharusnya
bisa ditanggapi, misalnya soal-soal politik dan sosial." la
mengaku terus terang, sebagai anak Bung Karno ia harus memikul
beban psikologis yang tidak kecil. "Ini jadi tanggung jawab
moril. Seakan saya harus memenuhi harapan orang untuk berbuat
yang besar-besar sebagai anak bapak." Matanya tampak agak lelah.
"Tapi kalau lagu saya dikagumi, saya kira benar dari karyanya,
bukan karena embel-embel nama Soekarno."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini