Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Benarkah Mereka Tidak Bisa Dibendung?

Persaingan bisnis eceran di Indonesia. untuk menarik konsumen, ekspansi dan obral masih penting. pengecer asing menembus pasar indonesia melalui sistem franchise. tapi masih perlu diteliti.

24 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASA jaya pengecer pribumi kini mulai diusik oleh kehadiran beberapa pengecer dari mancanegara. Kendati bisnis eceran modern tak sampai tergencet oleh kebijaksanaan uang ketat, "ancaman" justru menyembul dari arah lain. Ketika sektor eceran dianggap pilihan paling tepat bagi pengusaha nasional sebagai lahan "pelarian modal" yang efektif, maka iklim mulai berubah. "Agen perubahan" itu adalah pemodal asing yang rupanya sangat tidak diinginkan oleh pengusaha nasional. Posisi mereka yang kurang nyaman kini banyak dibicarakan, mulai dari Kadin, para pengamat ekonomi, BKPM, Departemen Tenaga Kerja, hingga Departemen Kehakiman. Yang dibahas di seminar Kadin Selasa pekan ini bukan "dinamika" pengecer modern di saatsaat melumpuhkan pengecer tradisional. Seminar itu jadi menarik karena topiknya adalah "rasa terancam" yang menghantui para pengecer modern -- satu hal yang agak sulit diterima akal. Mengapa? Tak pelak lagi, para pengecer modern yang nasional itu adalah pengusaha yang semakin lama semakin tangguh dan perkasa. Mereka berada hampir di setiap lokasi strategis, mencuat pada logo yang kemerlap di puncak gedung tinggi atau membias dari etalase yang kilau-kemilau. Sekalipun begitu, mereka yang serba nasional ini -- modal ataupun namanya -- tak juga bisa tenang. Sejak dua tahun lalu mereka harus menghadapi pesaing-pesaing raksasa berskala internasional. Dimulai dari Sogo -- bersemayam di Plaza Indonesia, Jakarta -- jumlah pesaing asing terus bertambah. Ada Yaohan, St. Michael, kelak disusul Isetan dan entah apa lagi. Sebagai pengusaha nasional swasta murni (dan dilindungi undang-undang), mereka merasa perlu angkat bicara. Kekhawatiran mereka memuncak setelah delegasi Kadin Jepang bertatap muka dengan Menko Ekuin Radius Prawiro dua pekan lalu. Delegasi itu dipimpin Rokhuro Ishikawa, yang antara lain bertanya mengapa Indonesia tidak membuka peluang investasi asing di bisnis eceran? Radius menjawab bahwa masuknya eceran ke dalam DNI (Daftar Negatif Investasi) merupakan komitmen dari undangundang yang mengatur bisnis perdagangan di dalam negeri. Bahkan dipertegas oleh Radius bahwa untuk kerja sama teknik pun ada pembatasan. Tentang pembatasan itu, seperti dikutip majalah Swasembada (edisi Februari 1990), konsultan Matahari Department Store, Hidayat, memastikan bahwa pintu Indonesia di sektor eceran tertutup, baik untuk modal maupun tenaga asing. Namun tak disebutkan sumber ketentuan hukum yang dirujuk Hidayat. Tapi kalau benar, Sogo ataupun Yaohan tentu tak bisa lagi mengandalkan tenaga asing yang kini terikat kontrak dengan mereka . Ketidakjelasan itu sebaiknya segera disingkapkan agar kelak tidak ada pihak yang dirugikan, baik warga Indonesia ataupun warga asing. Apalagi bisnis ini masih mempunyai prospek gemilang dalam sepuluh tahun mendatang. Tak aneh bila delegasi Kadin Jepang tergoda melihat besarnya daya tarik pasar eceran Indonesia. "Indonesia memang merupakan lahan pemasaran yang cukup besar," seperti diakui Menteri Perdagangan Arifin Siregar belum lama berselang. Jika memper hitungkan jumlah pengecer modern yang ada saat ini, Arifin memperkirakan sektor eceran masih bisa dikembangkan dalam waktu 10-20 tahun mendatang. Proyeksi itu membuat para pengecer asing lebih tekun menembus pasar Indonesia. Mereka tak henti-hentinya mencari sela-sela hukum investasi yang mungkin bisa dimasuki. Salah satu cara yang telah mereka tempuh adalah sistem franchise. Dengan sistem ini, termasuk di dalamnya soal kerja sama teknik, merek asing bermunculan di Indonesia. Wal Mart, L'Arome, dan Isetan tak lama lagi akan hadir. Isetan kabarnya siap beroperasi awal bulan depan. Sementara Wal Mart, yang akan digelar oleh Setiawan Djody, kini masih dalam tahap negosiasi. "Serbuan pengecer dari luar negeri memang tak mungkin dibendung," kata Budi Sugarda, Wakil Direktur Program Ekstension FEUI, yang rajin mengamati bisnis eceran. Itu sebabnya ia menganjurkan Pemerintah lebih mempertegas kebijaksanaannya. Misalnya, tentang modal asing yang tidak boleh masuk ke eceran. "Ini rinciannya bagaimana?" katanya mempersoalkan. Ia tidak menganjurkan agar pengecer swasta nasional dilindungi namun, seperti pengusaha mana pun, Budi berpendapat bahwa aturan main harus jelas. Ada kesan bahwa Pemerintah tidak ingin memproteksi sektor ini secara berlebihan. Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kumhal Djamil menyatakan bahwa soal kerja sama teknik atau franchise "bukan masalah". Pernyataan serupa dikemukakan oleh Direktur Bina Usaha Perdagangan dan Wakil Ketua BKPM Rasidi. Kumhal dan Rasidi berpegang pada satu prinsip: haram bagi modal asing masuk ke bisnis eceran. "Kalau franchise itu tidak apa-apa. Yang penting modalnya 100% nasional," Rasidi menekankan. Tapi keterangan itupun belum memuaskan. "Partisipasi asing dalam bisnis eceran, secara teknis masih perlu penjelasan," ujar Hidayat. Dalam hal permodalan, misalnya bagaimana jika modal asing masuk melalui bursa saham? Seperti diketahui, Supermarket Hero sudah lama mengandung modal asing lantaran pasar swalayan ini telah go public. Matahari pun akan mengambil langkah yang sama. Lain Hidayat lain pula Steve Sondakh, Direktur Hero. Selain menyarankan peraturan yang lebih rinci, ia juga menganjurkan agar Pemerintah waspada terhadap kontrak-kontrak sistim franchise. "Departemen Perdagangan harus bisa melihat ke mana tendensi kontrak-kontrak itu." Steve berucap demikian karena yang dilakukan para pemilik merek di Indonesia sangat berbeda dengan yang dilakukan di negeri lain. Makro dari Belanda, misalnya, yang bergerak di bisnis kelas supergrosir. Di mana pun dia membuka cabang, Makro selalu jadi pemegang saham mayoritas. Mereka setidaknya menguasai 49% saham. Nah, kenapa di Indonesia Makro bersedia dengan sistem franchise saja? "Sebagai langkah pertama, mereka (pemilik merek asing) menyerah pada persyaratan yang diajukan mitra lokalnya. Tapi lama-lama mereka juga yang akan menguasai," katanya. Taktik seperti ini, menurut Steve, biasa dipakai oleh pengusaha Jepang. Dengan kata lain, Steve tidak percaya pada itikad pemilik merek tersebut. Biasanya, di saat Departemen Store pemakai nama asing sudah mulai besar, pemilik merek selalu mengajukan syarat-syarat baru. Salah satunya mereka akan meminta kepemilikan saham yang besar. Kalau itu tak dikabulkan, bisa saja pihak asing mengancam akan mencabut hak pemakaian nama. Itu sangat mudah, dan pemilik merek tak akan sulit mencari pihak lain. "Sebab namanya sudah berkibar," katanya. Praduga itu tentu harus dibuktikan dulu. Namun yang paling ditakutkan bukan ancaman dalam (selubung) merek maupun permodalan. Seperti dikemukakan Hidayat, kendati banyak pengusaha mengaku punya pasar tersendiri, "Kenyataannya, setiap penambahan jumlah department store pasti terjadi saling mencaplok pangsa pasar." Sogo Department Store bisa dijadikan contoh. Diresmikan tahun 1990, toserba yang bertengger pada empat lantai seluas 1.800 meter persegi itu sekarang beromzet Rp 300 juta per hari. Atau sekitar Rp 110 milyar setahun. Ini hasil total dari departemen store, pasar swalayan, restoran, dan tempat hiburan yang dikelolanya. Yaohan yang tak seluas Sogo pun berani pasang target omzet yang tidak kecil. Menurut Suhatoyo, bekas Ketua BKPM yang kini Preskom Yaohan, dengan investasi 10 juta dolar, pihaknya berharap bisa meraih omzet Rp 50 milyar per tahun. Seperti halnya Sogo, Yaohan juga memakai kiat bisnis serupa. "Kami tidak hanya menjual barang bermutu (yang di antaranya banyak merupakan barang impor), tapi juga menyajikan pelayanan terbaik," tuturnya berpromosi. Memang tidak semua departemen store tercaplok pasarnya oleh pesaing yang menggunakan merek asing. Omzet Matahari, misalnya, terus meningkat. Tahun lalu "hanya" berhasil meraih penjualan Rp 415 milyar, Hidayat yakin targetnya tahun ini (Rp 480 milyar) akan tercapai. Tapi kenaikan omzet tidak dicapai dengan gampang. Seperti departemen store lainnya, Matahari tekun melancarkan ekspansi agar lebih dekat dengan konsumen. Kini Matahari boleh berbangga dengan 37 cabang, yang dalam lima tahun ditargetkan berkembangbiak menjadi 100 cabang. Singkatnya, grup toserba paling besar di Indonesia ini -- dan milik nasional lagi -- akan membangun 13 cabang dalam setahun. Mungkin ambisi itu yang mendorong pemiliknya untuk segera terjun ke pasar modal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus