Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Dia yang Tak Pernah Takluk

Semsar Siahaan, salah satu aktivis seni paling keras di awal 1980-an, meninggal di Bali. Mengapa hijrah ke Kanada justru di saat pemerintahan Soeharto kolaps?

28 Februari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni modern Indonesia, kata Semsar, seharusnya kembali ke realitas. Ketika saya menyaksikan happening art yang menampilkan pembakaran patung karya dosennya di pelataran Seni Rupa ITB, Bandung, 24 tahun silam, saya baru tahu apa yang dimaksud Semsar dengan "realitas".

Senin pagi itu tak terlalu terik?juga di sayap kiri kampus Ganesha, Bandung. Beberapa mahasiswa seni bergerombol di selasar yang menghubungkan studio jurusan satu dengan lainnya, menyaksikan Semsar Siahaan, yang ketika itu sebagai mahasiswa tingkat empat Jurusan Patung, tengah berada di lapangan menyiapkan peranti seni pertunjukan: lumpur, daun pisang, air, nasi kuning, api, dan sebuah patung Citra Irian dalam Torso karya Sunaryo, seorang dosen, yang baru saja diikutkan dalam sebuah pameran internasional.

Seni modern Indonesia, begitu keyakinan Semsar ketika itu, hanyalah mengeksploitasi kebudayaan dan seni tradisional. Bergerak tak jauh dari sekadar mengeksplorasi bentuk-bentuk (profan) seni tradisional. Tak lebih. Contohnya, ya, Citra Irian dalam Torso tadi.

Bahkan, ujar pria kelahiran Medan, 11 Juni 1952, ini lebih lanjut, formula seperti itu sudah merasuki kurikulum pendidikan seni yang ada di kampusnya. "Membuat mahasiswa tak lagi kritis dan tumpul berkreasi," katanya seusai pertunjukan. Cara-cara ini diyakini Semsar sebagai sesuatu yang senafas dengan apa yang dilakukan pihak rezim militer dalam melakukan pendekatan keamanan melalui bidang seni dan budaya untuk mengebiri pikiran kritis.

Tak ada sorak-sorai?meski tidak juga hening?ketika api mulai menjilat, membakar sebagian patung torso dari kayu buatan sang dosen dan menjadikannya arang. Hasil karya seni pertunjukan yang diberi judul Oleh-oleh dari Desa II ini kemudian menjadi soal serius di lingkungan Seni Rupa ITB dan barangkali di dunia seni kita secara umum. Kejadian ini kemudian menjadi kasus hukum dengan dalih merusak karya orang lain.

Peristiwa tersebut, meski tak berlanjut ke meja hijau, menguatkan keyakinan Semsar untuk memutuskan keluar dari kampus dan bergerak sekaligus sebagai aktivis politik di lautan masyarakat luas. Mulai saat itu, jaringan komunikasi Semsar dengan lembaga-lembaga nonpemerintah (LSM) kian meluas, khususnya LSM yang bergerak di bidang hak asasi manusia.

Reaksinya terhadap peristiwa politik ketika itu, seperti penangkapan beberapa aktivis mahasiswa dan prodemokrasi oleh pemerintahan Soeharto, diterjemahkannya melalui bentuk karya lukis, poster yang menggelegak. Secara umum karya-karya Semsar menggambarkan perjuangan orang melawan ketamakan dan hipokrisi elite politik.

Semsar bisa dianggap sebagai salah satu aktivis seni yang paling keras di awal 1980-an. Jejak-jejak sikap dia tampak pada pameran tunggalnya di Taman Ismail Marzuki pada awal 1988. Karyanya yang berjumlah lebih dari 200 buah dengan tinta hitam, serta belasan kanvas yang menggunakan cat minyak, hampir semuanya melukiskan penderitaan rakyat jelata, kemiskinan, pengangguran, penindasan, dan penghisapan terhadap buruh, indoktrinasi, juga penyeragaman pikiran.

Kegiatan Semsar dan beberapa aktivis seni rupa seperti Harsono, Moelyono, dan kawan-kawan di dunia seni rupa terus berjalan beriringan bersama gerakan prodemokrasi yang mulai menghangatkan situasi politik di awal 1990-an.

Biennale Seni Rupa yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, akhir 1993, diisinya dengan karya-karya protes sosial yang menghentak Sebuah mural besar, lukisan dinding, pada tembok bekas ruang pamer TIM menggambarkan penindasan oleh oligarki kekuasaan terhadap rakyat miskin.

Tak mengherankan ketika terjadi demonstrasi oleh orang ramai terhadap pembredelan media massa?salah satunya adalah Tempo?Semsar ada di barisan terdepan, dan siang itu di jalanan, dia ditangkap dan tulang kakinya dihantam hingga patah oleh kebrutalan aparat disekitas Monas pada pertengahan 1994.

Semsar muda yang pernah belajar seni di Beograd, Yugoslavia, dan San Francisco Art Institute, Amerika (1975), ini, meski tampak radikal, sebenarnya termasuk teman yang irit bicara. Kebiasaan membaca dan menggambar yang dimulai pada masa kanak-kanak, berlanjut hingga masuk ITB. Jika sore menjelang dan kuliah usai, saya sering menemukan dia sedang membaca buku sendirian di sebuah sudut studio patung, di ujung selasar kampus.

Sejak tahun kedua di kampus itu, beberapa pemikiran kritis Semsar terhadap kurikulum pendidikan seni mengisi berbagai diskusi kecil mahasiswa. Pria berdarah Batak ini pada 1979 di kampus yang sama, pernah melakukan eksperimen Patung Hidup dengan media tubuhnya sendiri dan lumpur tanah liat sebagai bentuk protes terhadap kurikulum baku di tempatnya menimba ilmu.

Bersama rontoknya pemerintah Soeharto dan kolapsnya Orde Baru pada 1998, suara berang Semsar seperti lenyap, tak lagi terdengar. Dari seorang kawan, saya baru tahu, agaknya dia menyingkir ke Kanada. Mulanya hanya ingin berobat untuk penyakit tekanan darahnya yang tak stabil, namun hingga tahun-tahun berikutnya, Semsar tak juga pulang ke Tanah Air.

Akhir tahun lalu, terdengar kabar bahwa Semsar akan berada di Indonesia dan mengadakan pameran tunggal, setelah menghilang selama lima tahun. Pameran yang akhirnya diselenggarakan di Galeri Nasional, Jakarta, itu menampilkan karya terbarunya sejak ia mengasingkan diri di Kanada. Namun, tetap saja, "garis perjuangan" Semsar tak berubah. Sikap kritisnya terhadap arus globalisasi, kapitalisme, imperialisme, atau juga pelanggaran HAM merupakan tema utama pada karya yang dipamerkannya tahun lalu. Hanya, kali ini gaya ungkapnya tampak tak lagi wantah.

Rabu siang pekan lalu, saya mendapatkan kiriman pesan pendek (SMS) lewat telepon seluler dari seorang teman yang mengabarkan: "Semsar Siahaan, bekas mahasiswa Seni Rupa ITB tahun 1977 telah meninggal dunia di Bali dalam usia 53 tahun, terkena serangan jantung", sebelum kemudian baterai telepon saya meredup dan habis.

S. Malela Mahargasarie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus