Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pemerintahan Sendiri di Atas Meja

Memecah kebekuan, GAM keluar dengan gagasan pemerintahan sendiri. Mereka tak ingin merdeka?

28 Februari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR pertemuan itu dilaporkan hangat dan sarat pengertian. Sehari sebelum bubar, Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Malik Mahmud, membacakan pidato. Suaranya terdengar mantap. Dia bicara atas nama Teungku Hasan di Tiro, sang "wali negara" yang kini bermukim di Swedia. "Kami percaya, dengan sikap sabar dan bijak, kita bisa menemukan jalan keluar," ujarnya Selasa pekan lalu di Helsinki, ibu kota Finlandia.

Dari Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin pun gembira. Dia datang bersama Menteri Informasi dan Komunikasi Sofyan Djalil. Menunggu di luar ruang pertemuan itu, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Widodo A.S. dan Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat Mayjen Syarifuddin Tippe. Keduanya masuk tim delegasi Indonesia, tapi tak ikut ke meja perundingan.

Ini adalah perjumpaan kedua, setelah akhir Januari lalu dua delegasi yang sama bertemu di kota itu. Selama tiga hari, sejak Senin sampai Rabu pekan lalu, bekas Presiden Finlandia Martti Ahtisaari mengajak kedua pihak duduk satu meja lagi. Sebagai Ketua Crisis Management Initiative, badan penengah dialog informal itu, Martti berupaya mencari titik temu bagi keduanya. "Kita mencari penyelesaian komprehensif dari konflik Aceh," ujarnya.

Pada hari ketiga, dialog itu pun berakhir. Hasilnya, semua masih cair dan belum ada kesepakatan resmi. Sejak awal, pertemuan itu lebih mencari titik temu pemerintah RI dan GAM. Setelah Aceh dihantam bencana tsunami, keduanya berkeinginan mengakhiri konflik bersenjata dengan cara damai. Tapi ada satu kesepakatan di Helsinki pekan lalu: mereka akan bertemu lagi pada 12-17 April mendatang.

Jarak ke pertemuan berikutnya memang dibuat longgar. Soalnya, kata Martti, dibutuhkan waktu membedah masalah plus bersiap melangkah ke diskusi lebih sensitif. Agar sukses, Martti pun mewanti-wanti, "Saya mohon semua pihak menahan diri di lapangan."

Pertemuan kedua itu pun sebetulnya bukan kerja sia-sia. Sejumlah isu, menurut Martti, sempat dibahas dengan serius. Misalnya soal amnesti dan perangkat lain guna memfasilitasi perjanjian itu. Lalu, soal pengaturan keamanan, serta pengawasan pelaksanaan komitmen dan jadwal kerja. Yang paling menarik adalah tawaran otonomi khusus. GAM rupanya tak telak-telak menampik tawaran Indonesia itu. Mereka malah mengajukan tawaran alternatif bagi otonomi khusus: "pemerintahan sendiri".

Ide pemerintahan sendiri itu sontak mengejutkan banyak pihak. Ini boleh dibilang jalan baru bagi politik diplomasi GAM. Apalagi publik selama ini mengenal GAM itu tak pernah lekang dari tuntutan merdeka sejak 1976. Mereka juga tak pernah terdengar mau kompromi dengan otonomi. Betulkah mereka melunak?

"Jangan salah sangka," ujar Nur Djuli, salah satu juru runding GAM yang turut berembuk di sana. Menurut Djuli, mereka menyodorkan opsi pemerintahan sendiri sebagai "kreativitas pemikiran politik agar perundingan tidak sampai macet". Sejak awal, kata dia, kedua pihak menghadapi halangan besar duduk di meja perundingan. Keduanya punya prinsip yang tak mungkin bertemu. GAM tak bersedia menerima otonomi, pemerintah Indonesia menolak Aceh lepas dari Indonesia.

Usul itu, kata Djuli, mencegah agar dialog tak terbentur tembok lagi. Tawaran itu tak berarti GAM sudah melucuti ide merdeka. Begitu juga Indonesia, tak berarti mencampakkan otonomi khusus. "Kita sisihkan yang tak bisa kita setujui. Kita cari alternatif," ujar Djuli. Soalnya, dialog itu berlangsung dengan satu prinsip: tidak ada kata sepakat sampai semuanya disepakati. Maksudnya, kalau saja ada satu hal ditolak, seluruh isi dialog terancam gagal. Dalam siaran persnya, juru bicara GAM Bachtiar Abdullah secara diplomatis menyebut penetapan makna pemerintahan sendiri "tergantung kehendak bangsa Aceh sendiri".

Makanya, soal tawaran pemerintahan sendiri ini belum bisa ditarik ke mana ujungnya.

Tapi, bukankah artinya mirip otonomi khusus? Djuli tak sependapat. Di mata GAM, otonomi adalah status quo. Dalam konsep otonomi itu, menurut Djuli, terekam jejak kekerasan dan juga korupsi yang parah. Meski begitu, merdeka juga bukan pilihan bagi dialog sekarang. Ide itu sudah ditolak mentah-mentah oleh Jakarta. Maka, muncullah lontaran pemerintahan sendiri itu. "Tawaran itu tidak keluar dari permintaan Indonesia," ujar Djuli.

Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Widodo mengakui masih mempelajari maksud usul ini. "Mungkin menyangkut logika semantik atau istilah," ujarnya Jumat pekan lalu di Jakarta. Menurut Widodo, masih terjadi perbedaan tafsir tentang substansi otonomi khusus yang berjalan di Aceh. Bagi Indonesia, kata dia, otonomi bukan lagi sekadar istilah, tapi sudah jadi produk hukum. Meski begitu, Widodo mengakui ada pencapaian positif dari dialog di Helsinki itu. Tawaran GAM soal pemerintahan sendiri itu pun sudah dilaporkan ke Presiden.

Kepada wartawan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui sudah mendapat laporan dari Helsinki. "Perkembangannya makin positif," ujar Yudhoyono di Istana Negara, Kamis lalu. Maksudnya, dialog sudah membahas serius makna otonomi khusus, pengakhiran konflik, amnesti, dan lain-lain. "Terus terang, saya ingin betul konflik Aceh yang berlangsung 29 tahun ini bisa segera diakhiri," ujar Presiden.

Tapi kecurigaan rupanya masih tetap muncul. Apalagi GAM sempat membawa "penasihat asing" ke Helsinki. Menteri Widodo juga sudah menyampaikan keberatan itu kepada Martti. Mereka tak mau ada campur tangan pihak lain, entah LSM atau lainnya, dalam perundingan mendatang.

Dalam barisan GAM kemarin, memang hadir Damien Kingsbury, ahli politik dari Universitas Deakin, Australia. "Dia tak masuk delegasi, cuma sebagai penasihat politik kami," ujar juru bicara GAM Swedia, Bachtiar Abdullah. Selain Damien, Bachtiar juga sempat mengenalkan tim delegasi yang lain, yakni Vlacy Vlazna, doktor asal Australia.

Damien sendiri mengaku diajak Malik Mahmud membantu memberikan masukan bagi GAM dalam perundingan ini. "Saya bukan negosiator, hanya penasihat," ujarnya. Tujuannya membantu GAM mencari jalan keluar yang damai dan demokratis bagi konflik Aceh. Kata Damien, dia rajin mengingatkan GAM agar kooperatif dalam perundingan itu. "Saya bukan musuh pemerintah Indonesia," ujarnya.

Dalam acara rembuk itu pun Damien tak begitu rajin berbisik ke telinga GAM. "Saya hanya bertemu mereka saat rehat," ujarnya. Jadi, Damien lebih banyak berada di kamar, menunggu delegasi GAM sehabis berunding. Dia sepakat dengan tawaran "pemerintahan sendiri" itu. Kata Damien, konsep itu memberikan ruang lega bagi rakyat Aceh menentukan hak di daerah mereka, sementara integritas wilayah Indonesia tetap terjaga.

Menurut Nur Djuli, dengan konsep pemerintahan sendiri, improvisasi politik kedua pihak bisa ditampung. Dia mengatakan tugas perundinglah membawa ide itu ke rumah masing-masing. Lagi pula, tak ada yang perlu ditakuti, karena ide itu belum berupa barang jadi. Taruh kata, jika terganjal di parlemen, gagasan itu pasti buyar. Sebaliknya, jika ide itu ditampik oleh GAM di lapangan, konsep itu pun hancur. Dia menolak kalau dikatakan bahwa soal pemerintahan sendiri itu tipu politik belaka. "Berapa lama kita bisa menipu publik, pasti ketahuan juga," ujarnya.

Kalau apa yang dikatakan Djuli benar, tentu ini pergeseran yang cukup signifikan dari GAM. Tapi pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Kusnanto Anggoro, menilai sebaliknya. Menurut dia, tuntutan GAM tak melemah. Mungkin terlihat lebih taktis saja. Bagi kelompok pemberontak, kata dia, "Itu tuntutan minimum di luar tuntutan kemerdekaan." Pemerintahan sendiri, kata Kusnanto, adalah masa transisi menuju hak menentukan nasib sendiri alias referendum.

Itu baru ganjalan pertama. Di Jakarta, sandungan bagi Helsinki babak kedua sudah dimulai. Dari parlemen, misalnya, muncul gugatan dari Effendi Choirie, anggota Komisi I DPR RI. Dia menilai perundingan dengan GAM hanya sia-sia belaka. Kata Effendi, ini adalah buntut operasi militer di Aceh tidak maksimal, begitu juga operasi terpadu. "Gembong GAM belum tertangkap sampai sekarang," ujarnya. Dalam waktu dekat, kata dia, DPR akan bertanya kepada pemerintah tentang langkah di Helsinki itu.

Setelah remuk redam dihantam tsunami, Aceh seharusnya tak butuh perang lagi.

Nezar Patria, Yuswardi A. Suud

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus