Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Mengenang Kuntowijoyo Membangun Jembatan

Dia bisa melancarkan kritik tajam tanpa melukai orang yang jadi sasarannya.

28 Februari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Senin, 21 Februari, kira-kira pukul 10 malam, saya menengok Kuntowijoyo, yang dirawat di ICU Rumah Sakit Sarjito, Yogyakarta. Dia tergeletak tidak sadar dengan tubuh yang ditempeli berbagai slang dan kabel. Di sampingnya ada dokter dan perawat yang sibuk mengoperasikan berbagai instrumen. Esok harinya, ketika berada di luar kota, kira-kira pukul 17.00, saya mendapat SMS dengan pesan "Mas Kunto meninggal dunia". Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un.

Walaupun bukan muridnya langsung, saya banyak belajar dari Mas Kunto, terutama melalui pengamatan dari samping. Aneka pelajaran bisa ditangkap kesehariannya, dari perbuatan-perbuatannya. Tanpa ia sadari, misalnya, saya memetik pelajaran, bagaimana menjalani hidup sebagai warga masyarakat dan sebagai ilmuwan. Intinya adalah "membangun jembatan".

Ketika banyak kalangan, ilmuwan maupun aktivis, sibuk memperbincangkan keislaman dan kejawaan sebagai dua entitas yang dipertentangkan, Almarhum justru sudah menjalani keduanya dengan harmonis. Namanya sendiri dan nama yang diberikan kepada kedua anaknya sarat dengan konsep Jawa. Ia juga terlahir dalam, dan kemudian mengembangkan sendiri, kehidupan keluarga yang sangat Islami. Kejawaan dan keislaman tumbuh dengan harmonis dalam kehidupan Mas Kunto. Sangat Islam dan sangat Jawa. Partisipasinya dalam debat mengenai "Islam dan abangan" pada akhir 1980-an bertujuan meyakinkan bahwa "abangan" adalah sub-kultur Islam di Jawa.

Ketika mengajar ilmu sejarah, Mas Kunto juga membantu pembangunan jembatan yang menghubungkan kegiatan keilmuan sejarah dengan analisis sains sosial. Dua dunia yang untuk waktu yang lama sekali terpisah. Mengikuti jejak pendahulunya, terutama Profesor Sartono Kartodirdjo, ia memanfaatkan perkakas analisis yang tersedia dalam ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, ekonomi, dan politik, untuk memahami dan menafsir fakta sejarah. Karena itu, ia sangat lincah ketika mencoba memahami fenomena radikalisasi petani.

Mas Kunto memang tidak ikut membangun jembatan "Suramadu" yang akan menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Madura. Tetapi Mas Kunto adalah satu dari sangat sedikit ilmuwan Jawa yang mempelajari masyarakat Madura. Dan, tidak tanggung-tanggung, orang yang sangat Jawa ini memikirkan Madura dari negeri yang sangat jauh?ketika ia belajar di Universitas Columbia, New York.

Kesukaan Kunto "membuat jembatan" disokong oleh kepribadiannya yang santun. Dia bisa menyampaikan kritikan tajam dengan cara yang tidak melukai. Karena itu, suatu waktu di pertengahan 80-an, teman-temannya kaget ketika mendengar berita bahwa Mas Kunto dan beberapa dosen UGM lain diinterogasi tentara di kantor Kodam di Semarang. Perkaranya cukup serius. Ia mengkritik cara tentara yang berlebihan dalam menangani kelompok muslim muda di Yogya, yang dituduh radikal oleh penguasa Orde Baru. Dia mengatakan: "Wong cuma kucing kok dianggap macan." Akibatnya, macan yang sesungguhnya marah besar dan Mas Kunto hampir digigit.

Orang yang terlahir di Ngawonggo dengan nama Kuntowijoyo ini (dalam pewayangan, "Kunto" adalah nama senjata Karna, Adipati Ngawonggo) jauh dari gambaran tentang senjata dan panglima perang. Ia adalah orang yang bekerja dengan nalar, dengan nurani, dengan mesin ketik. Selasa lalu, ia menghadap Al-Khalik dengan jari-jari masih berbekas mesin ketik.

Mochtar Mas'oed, Staf Pengajar Fisipol UGM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus