ADA yang seret pada pelaksanaan Instruksi Menteri Agama No.
4/1981. Ini tentang pencatatan tenaga asing keagamaan di
Indonesia. Sampai batas waktu yang ditentukan, akhir April, yang
masuk ternyata baru dari tiga provinsi: Riau, Kalimantan Timur
dan Sulawesi Tengah.
Padahal dengan instruksi itu, yang bergerak bukan lagi Dirjen
Bimas masing-masing agama. Tapi kepala Kanwil masing-masing
daerah. Dan instruksi itu pun diturunkan karena permintaan
pencatatan selama ini rupanya dinilai kurang membuahkan hasil --
sejak SK Menteri Agama 70 & 77 tahun 1978, yang mengatur
penyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga agama.
Ini semua menurut H.R. Djatiwijono SH, Humas Departemen Agama.
Toh kesulitan bisa sedikit dipahami cukup banyak kabarnya
misionaris asing yang datang dengan visa turis -- istimewa dari
sekte kecil. Dan Irian Jaya disebut-sebut sebagai "pusat". Dari
26 tenaga asing Gereja Mormon, misalnya, tahun lalu dipulangkan
20 orang karena masuk dengan cara itu. "Dalam hal itu mungkin
pihak Kanwil tidak bekerjasama dengan Imigrasi," dugaan sang
Humas.
Yang menarik: keberatan kepada aktivitas "gereja asing" seperti
itu juga datang dari kalangan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia.
"Terus terang mereka memang mengganggu sekali bagi kami," kata
Dr. S.A.E. Nababan, Sekjen DGI kepada TEMPO. Soalnya mereka
itulah yang suka kasak-kusuk ke rumah-rumah orang, dan biasanya
merupakan permukaan yang menyolok dari "kristenisasi".
Bahkan Nababan pernah mengeluh, tenaga asing yang tidak
direkomendasi DGI justru direkomendasi Departemen Agama sendiri.
Sebaliknya P.N. Harefa, Dirjen Bimas Kristen departemen
tersebut, menganggap selayaknya DGI hanya beranggota 53 gereja
(meskipun gereja-gereja besar), sementara jumlah gereja di
Indonesia tak kurang dari 275 buah (TEMPO, 31 Desember 1977).
Yang juga menarik, pada sang Dirjen sendiri ternyata sudah ada
ancar-ancar jumlah tenaga asing di kalangan Protestan: 900
orang. Hanya, betapa jumlahjumlah tidak selalu persis, terlihat
misalnya dari catatan misionaris yang ditanggung DGI: 118
orang. Sementara dari laporan tiga provinsi yang baru masuk saja
sudah tercantum jumlah 344 orang.
Dari pihak agama-agama lain: R.E. Sasongko Praptomo SH, Kasubdit
Penerangan Agama Budha menyebut adanya hanya dua tenaga asing
untuk umat Budhis -- dari Muangthdi. Juga dua orang untuk Hindu,
menurut Gde Pudja MA, Dirjen Bimas Hindu & Budha. Sedang dari
tiga provinsi saja sudah tersebut 12 tenaga luar negeri untuk
Budha -- sementara untuk Hindu belum masuk. Ini mungkin juga
karena bercampur-baurnya identitas agama antara Budha dan
Konghucu misalnya -- baik dalam pengakuan maupun amalan,
khususnya di kalangan keturunan Cina -- selain - karena prosedur
masuk yang "tidak tercatat".
Yang paling sedikit, dilihat dari persentase pemeluk memang
tenaga asing di kalangan Islam: hanya 14 orang di tiga provinsi.
Di tengah umat Katolik sebaliknya -- tercatat 183. Sedang untuk
seluruh Indonesia, menurut Ign. Djoko Moejono, Dirjen Bimas
Katolik, semula terdapat 6.252 orang. Tapi dengan prosedur
pemberian status WNI, yang 5.003 sudah bisa jadi warga negara
kita -- tinggal yang 525. Yang masih asing itu terdiri baik
uskup agung (1 orang), uskup (5 orang), selain pastor, bruder
dan suster. "Hal tersebut memang belum bisa kami hindari," kata
sang Dirjen. "Tapi Indonesianisasi memang sudah merupakan
program, dengan menaiknya jumlah hasil sekolah-sekolah seminari
kita."
Di kalangan DGI tenaga asing sudah lama tidak digunakan untuk
jadi imam atau jabatan kepemimpinan lain -- menurut Dr. S.A.E.
Nababan. "Untuk itu kami sendiri sudah bisa mengatasi." Mereka
misalnya datang sebagai tenaga dosen, juga untuk Lembaga
Pekabaran Injil. Sedang DGI sendiri juga mengirimkan tenaga ke
luar negeri -- bukan untuk belajar, melainkan dalam rangka
kerjasama. Sampai sekarang 30 orang, menurut Nababan.
Di kalangan berbagai aliran kecil, sebaliknya, tenaga asing bisa
sangat vital. Kelompok Clarismatic misalnya, yang di Jakarta
mengadakan kebaktian di Hotel Aryaduta (sebelumnya di Hotel
Indonesia Sheraton) dengan sekitar 400 hadirin pribumi dan
asing, punya sekitar 30 misionaris luar negeri. Mereka, yang
dikabarkan segera akan punya gereja di Jl. Menteng Raya, di
tanah seharga Rp 600 juta, menyatakan "tidak ada kesulitan
dengan agama lain --juga tidak ada diskriminasi dari Departemen
Agama" -- menurut Curtis Myers, pastornya. Di sini sekarang
sudah diangkat pastor lain yang pribumi, Suwandoko.
Di Gereja Mormon, juga Djumadi Diantara diangkat jadi 'presiden'
untuk cabang Jakarta Selatan. Ada komentar sang presiden tentang
SK 77 yang mengatur bantuan asing (termasuk bantuan tenaga
agama) itu. "Harus diakui, itu membuat tenaga misionaris kita
sendiri berkembang," katanya.
Namun Mormon (dengan pengikut 4.000-an di seluruh tanah air, dan
5 juta di dunia), maupun Charismatic, maupun Saksi Jehova (yang
dilarang Jaksa Agung lima tahun lalu karena sangat agresif,
menurut Dirjen Kristen), barulah sebagian kecil. Ada cukup
banyak jenis izin tinggal di Indonesia, dan rupanya juga jenis
izin masuk -- di negeri nan ramah tamah ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini