Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Diego Paredes, Suatu Pagi

Lelaki tua itu, Diego Paredes, menundukkan pandangannya. Dia memang punya empat anak.

12 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LELAKI tua itu, Diego Paredes, berdiri di depan lapak cukur di dekat pasar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Selamat pagi, Lito!” Si tukang cukur, Juan Acuna—laki-laki berkulit cokelat dan berumur awal 40-an—tersenyum. Wajahnya semringah begitu melihat lelaki tua itu, Diego Paredes, di depan lapaknya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lelaki tua itu, Diego Paredes—dan biasa dipanggil “Lito”—ikut tersenyum di balik kumis putihnya yang lebat. 

“Mau cukur, Lito?” 

Lelaki tua itu, Diego Paredes, menjawab “ya” dengan suara gemetar. 

Si tukang cukur, Juan Acuna—masih dengan menyungging senyum—mendekat. Lalu dia meraih lengan kurus lelaki tua itu, Diego Paredes, dan menuntunnya ke kursi di depan cermin. 

“Pagi-pagi begini! Apa kabar, Lito? Sehat?” 

Lagi, lelaki tua itu, Diego Paredes, menjawab “ya” dengan suara gemetar. Sebetulnya sudah tak bisa dikatakan “pagi-pagi” karena sekarang jam sembilan lewat. 

Si tukang cukur, Juan Acuna, lalu mengamati dengan memandang ke arah cermin. 

“Dipotong seperti biasa, Lito? Kumisnya dicukur juga? Sudah lebat begitu!” 

Lagi, lelaki tua itu, Diego Paredes, menjawab “ya” dengan suara gemetar. 

Si tukang cukur, Juan Acuna, mengambil kain kep, membentangkan ke tubuh lelaki tua itu, Diego Paredes, dan menautkan kancing di belakang leher. Lalu dia mengambil botol penyemprot air dan mulai membasahi rambut putih lelaki tua di depannya itu. Sekadar membasahi, untuk memudahkan waktu menggunting rambut. Jangan menyemprot terlalu banyak, batinnya. Salah-salah nanti pusing, atau malah masuk angin. Maklum, lelaki tua itu, Diego Paredes, sudah berumur 70 tahun lebih. 

Tetapi, meskipun berumur 70 tahun lebih, rambut, alis, dan kumisnya masih lebat. Hanya saja sudah berwarna putih seluruhnya. 

“Dari rumah, Lito?”

“Tidak,” lelaki tua itu, Diego Paredes, menjawab. “Aku baru dari bank di dekat pasar.” 

“Ooo, ada perlu apa pagi-pagi ke bank, Lito?” 

“Kemarin anakku menelepon. Anak laki-laki di ibu kota itu! Katanya sudah kirim duit. Karena itu, aku mengecek ke bank, pagi ini.” 

“Ooo, begitu? Sudah masuk, Lito?” Si tukang cukur, Juan Acuna, mulai menggunting rambut, dimulai dari belakang kepala. 

“Sudah. Tapi yang ini dari anakku, betul-betul anakku! Bukan anakku yang satu lagi. Anak perempuan yang juga di ibu kota itu. Yang suaminya pejabat di Jawatan Kereta Api.” 

“Wah, semua anak Lito orang sukses rupanya!” 

“…Anakku itu, yang betul-betul anakku, tiap dua bulan kirim duit. Katanya, untuk obat paru-paruku! Entah dari mana dia dapat duit. Setahuku, anakku itu tidak bekerja. Istrinya yang bekerja.” 

“Lho, zaman sekarang orang kerja tidak mesti ke kantor, Lito. Bisa kerja dari rumah, atau dari mana saja. Ada telepon, lalu video call. Tambahan lagi, sekarang ada internet.” 

“Benar…. Anakku itu, setelah rampung kuliah, sempat magang di Kementerian Pekerjaan Umum. Maksudku, yang betul-betul anakku! Lalu dia diangkat jadi tenaga tetap. Setelah beberapa tahun, dia jadi penggede di sana. Lalu kudengar dia mengundurkan diri dan pindah ke perusahaan swasta. Juga jadi penggede. Setelah itu, dia pindah lagi ke perusahaan lain. Sampai dua tahun lalu, kudengar dia sudah tidak bekerja. Betul-betul tidak bekerja, di perusahaan mana pun….” 

“Mungkin dia punya bisnis sendiri, Lito.” 

“Entahlah. Aku tak pernah tanya! Mungkin begitu, karena dia bisa kirim duit tiap dua bulan. Paling tidak dalam setahun ini. Keluarganya juga baik-baik saja…. Apa aku pernah bercerita tentang anak itu, yang betul-betul anakku?” 

“Sudah, Lito. Oh ya, Lito mau minum?” 

“Tidak usahlah.” 

Si tukang cukur, Juan Acuna, mulai menggunting rambut di pelipis kanan lelaki tua itu, Diego Paredes, setelah membasahi dengan sedikit air. 

“Entah dia punya bisnis sendiri atau tidak…. Dia tak bercerita. Karena itu, aku tak bertanya. Tidak baik mencampuri urusan anak yang sudah berkeluarga. Aku bertemu dengan anakku itu dan keluarganya setahun lalu. Maksudku, yang betul-betul anakku! Mungkin sudah setahun lebih. Jadi aku tahu kalau mereka baik-baik saja.” 

“Syukurlah! Ngomong-ngomong, bagaimana dengan paru-paru Lito? Masih sering sesak napas?” 

“Tidak. Sudah lebih baik, sejak aku berhenti merokok. Sejak dokter sontoloyo itu mengancam. Katanya, kalau tak mau berhenti merokok, lebih baik tak usah minum obat. Percuma! Hanya buang-buang duit, katanya.” 

“Dokter itu benar. Buktinya, sekarang Lito lebih sehat.” 

“…Iya,” lelaki tua itu, Diego Paredes, berkata lirih. 

“Masih berobat, Lito?” 

“Masih. Tapi tidak ke dokter sontoloyo itu lagi. Sekarang aku berobat ke rumah sakit. Sejak anakku yang bontot pulang, dia mendaftarkan aku pada jaminan kesehatan milik pemerintah. Maksudku, anak perempuan bontot yang lama di luar kota itu! Sekarang aku berobat ke rumah sakit yang dirujuk pemerintah.” 

“Bagus itu! Kalau bisa berobat gratis, kenapa mesti bayar?” 

“…Tidak gratis. Tiap bulan anakku yang bontot membayar iuran. Semacam asuransi begitu!” 

“Iya, maksudku juga begitu.” 

“…Sekarang anak bontot itu tiap bulan mengantarku ke rumah sakit.” 

“Wah, dia sayang betul pada Lito!” 

“Dia anak yang baik. Sejak dia tahu aku sakit, dia pulang. Katanya, mau menjaga aku dan ibunya. Sekarang dia tinggal tak jauh dari rumah, bersama ketiga anaknya. Cucu-cucuku! Sebelumnya, dia ikut suaminya yang bekerja di perusahaan obat. Mereka kerap berpindah-pindah. Sampai sekarang suaminya masih ditugaskan di luar kota. Tapi selalu pulang tiap akhir minggu…. Apa aku pernah bercerita tentang anak bontot itu?” 

“Sudah, Lito! …Ngomong-ngomong, Lito tak mau minum?” Si tukang cukur, Juan Acuna, bertanya lagi karena suara lelaki tua di depannya itu terdengar makin serak. Dia baru saja merampungkan guntingan di pelipis kanan dan kiri, lalu rambut di atas kepala. 

“Tak usahlah,” lelaki tua itu, Diego Paredes, menjawab sambil berdeham-deham. 

Si tukang cukur, Juan Acuna, meraih hair clipper lalu mulai merapikan guntingan di pelipis dan tengkuk. 

Sejenak keduanya diam. Lelaki tua itu, Diego Paredes, tampak agak terganggu oleh getaran dan suara dengung dari hair clipper

“Bagus bisa berkumpul dengan anak, menantu, dan cucu, Lito.” 

“…Hanya dengan anak bontot itu, suami, dan ketiga anaknya. Anakku yang lain hanya pulang waktu Tahun Baru. Maksudku, anak yang suaminya pejabat di Jawatan Kereta Api itu! Jadi setahun sekali. Itu pun kadang-kadang dia tidak pulang. Dengan anakku yang laki-laki, aku baru bertemu setahun lalu. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu…. Maksudku, yang betul-betul anakku.” 

“Syukurlah mereka masih ingat pulang, Lito.” 

“…Belum lama ini aku bertemu dengan anakku yang satu lagi, betul-betul anakku! Anak perempuan yang tinggal di L.A. itu.” 

“Oh ya?” 

“Ya. Anak itu, begitu selesai kuliah, lanjut sekolah ke Amerika. Lalu dia bekerja di L.A., dan menikah di sana. Suaminya orang Amerika. Belum lama ini dia pulang, dengan anak perempuannya yang berumur 10 tahun. Kami bertemu di restoran sebelah sana! Kami makan bersama. Lalu dia mengajakku ke vila milik temannya di kota atas. Dia menginap di sana, dan dia juga mengajakku menginap. Tapi aku tidak mau…. Apa aku pernah bercerita tentang anak yang satu itu?” 

“Sudah, Lito.“ 

“…Kalau dihitung-hitung, sudah 10 tahun aku tak bertemu dengan anak itu. Sejak dia menikah.” 
“Tapi kenapa tidak mau menginap, Lito?” 

“Vila itu milik temannya…. Dia juga mau memberiku duit, tapi aku menolak.” 

“Kenapa menolak, Lito?” 
Lelaki tua itu, Diego Paredes, menggumamkan kata-kata yang tidak jelas. 

“Sudah selesai,” si tukang cukur, Juan Acuna, berkata setelah beberapa saat. Dia lalu mencermati pekerjaannya dengan memandang ke cermin. 

“Cukup, Lito?” 

Lelaki tua itu, Diego Paredes, menjawab “ya” dengan suara gemetar. 

“Aku mulai mencukur kumis Lito, ya.” 

Lagi, lelaki tua itu, Diego Paredes, menjawab “ya” dengan suara gemetar. 

Si tukang cukur, Juan Acuna, lalu mengambil wadah berisi krim cukur. 

Lelaki tua itu, Diego Paredes, menundukkan pandangannya. Dia memang punya empat anak. Dua anak dengan istrinya, yaitu anak laki-laki dan anak perempuan yang tinggal di L.A. itu. Lalu dua anak dari perempuan itu. Tiga puluh tahun lalu, setelah dia meninggalkan istrinya, dia melanjutkan hubungan dengan perempuan itu, sambil mendekatkan diri kepada kedua anak dari perempuan itu. Waktu itu anak yang sulung—sekarang suaminya pejabat di Jawatan Kereta Api—berumur 12 tahun, sementara anak kedua—sekarang suaminya bekerja di perusahaan obat—berumur 6 tahun. Tidak mudah menjalin hubungan yang diinginkannya, terutama dengan si anak sulung, tapi tidak juga sangat sulit. Akhirnya dia bisa diterima dalam keluarga itu. 

Sekarang, setelah 30 tahun, dia mesti berkata bahwa dia telah menjalani hari-hari terbaik dalam hidupnya. Lepas dari berbagai persoalan dalam 30 tahun itu, dia bahagia karena mereka—perempuan itu dan kedua anaknya—adalah keluarganya sekarang. Sering kali kedua anak itu yang menjadi perekat sekaligus pelerai ketika muncul konflik antara dirinya dan perempuan itu. 

Dulu, ketika dia memutuskan meninggalkan istrinya, hubungan dengan kedua anak kandungnya—yang waktu itu berumur 15 tahun dan 12 tahun—juga merenggang. Itulah sebabnya mereka tak bertemu selama bertahun-tahun. Tapi sekarang hubungan mereka mencair, setelah istrinya meninggal dan dia sakit paru-paru. 

“Selesai, Lito!” 

Si tukang cukur, Juan Acuna, mengambil sikat bulu, lalu membersihkan potongan rambut di belakang leher, bahu, dan dada lelaki tua itu, Diego Paredes, sebelum melepas kain kep. 

“Berapa?” 

“Berapa….” 

“Berapa aku mesti bayar?” 

“Ah, tidak usahlah, Lito.” 

“Lho, kenapa begitu?” 

“Tidak usah. Justru aku yang berutang pada Lito. Kalau bukan karena Lito, tak mungkin aku membuka lapak cukur ini.” 

“Begitu? Tapi dicatat, ya. Nanti diperhitungkan.” 

“Baik, Lito!” 

Si tukang cukur, Juan Acuna, membantu lelaki tua itu, Diego Paredes, berdiri dan mengantarnya sampai di luar lapak. 

“Hati-hati di jalan, Lito.”

***

LELAKI tua itu, Diego Paredes, masuk ke tenda penjual bubur di dekat pasar. 

“Selamat pagi, Lito! Wah, baru cukur rupanya!” Si penjual bubur, Nora Cadena—perempuan gemuk dan berumur awal 40-an—tersenyum. Wajahnya semringah begitu melihat lelaki tua itu, Diego Paredes, masuk ke tendanya. 

Lelaki tua itu, Diego Paredes, balas tersenyum. 

“Porsi yang sama, Lito?” 

Lelaki tua itu, Diego Paredes, menjawab “ya” dengan suara gemetar. Dia duduk. Hari masih pagi. Belum jam sepuluh, tapi sudah tak ada pengunjung di tenda itu. 

“Dari rumah, Lito?” 

“Tidak. Baru dari tukang cukur.” 

“Wah! Jadi Lito baru saja cukur? Pagi ini?” si penjual bubur, Nora Cadena, tertawa. 

Lelaki tua itu, Diego Paredes, ikut tertawa. 

“Sehat, Lito?” 

“Ya!” 

“Ibu juga sehat?” 

“Lumayan. Gula darahnya sudah turun. Tapi mesti sering dikontrol.” 

“Oh, begitu?” 

“Ya. Ibu itu bandel. Seminggu lalu gula darahnya naik gara-gara minum sirup. Lalu diam-diam dia membeli es potong dari penjual di depan rumah. Ibu itu doyan manis. Sejak dulu. Karena itu, dia kena diabetes…. Belum lama ini Ibu sempat dirawat di rumah sakit karena gula darahnya melonjak tinggi. Untung anakku yang bontot tinggal tak jauh dari rumah! Repot sekali mengurus di rumah sakit itu…. Apa aku pernah bercerita soal Ibu yang sempat dirawat di rumah sakit?” Lelaki tua itu, Diego Paredes, bercerita tentang perempuan itu. 

“Sudah, Lito.” 

Si penjual bubur, Nora Cadena, mendekat dengan baki berisi mangkuk dan gelas. 

“Porsi yang sama. Selamat bersantap, Lito!” 

“Terima kasih.” 

Di depannya ada semangkuk bubur jagung, dengan telur mata sapi dan beberapa udang rebus serta segelas air hangat. 

Dia mulai menyantap bubur itu. Pagi ini, obrolan dengan si tukang cukur, Juan Acuna, mengingatkannya pada tahun-tahun yang lewat. Pada umur 27 tahun, dia menikah. Awalnya semua berjalan dengan baik. Dia dan istrinya adalah pasangan muda yang berbahagia. Dia bekerja sebagai penjaja keliling di usaha tekstil milik ayahnya, sementara istrinya seorang guru. Mereka menempati rumah pemberian ayahnya di pemukiman padat. Lalu keadaan berubah beberapa tahun setelah anak keduanya lahir—anak yang sekarang tinggal di L.A. itu. Ketika itu istrinya sudah berhenti bekerja karena mesti membesarkan dua anak yang berjarak tiga tahun. 

Mula-mula istrinya mengeluhkan biaya hidup. Sebagai penjaja keliling, gajinya memang kecil. Apalagi ayahnya tergolong pelit, bahkan kepada anak-anaknya—dia dan adik-adiknya—yang bekerja di usaha tekstil itu. Mula-mula istrinya hanya mengeluh, lalu lambat laun mulai mendesak, dan akhirnya mulai membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. 

Istrinya membandingkan dia dengan adik-adiknya, yang setelah berkeluarga memilih berdagang sendiri, sementara dia tetap penjaja keliling di usaha tekstil itu. Istrinya juga membandingkan dia dengan teman-temannya, yang makin lama makin kaya, sementara mereka tetap miskin. Mula-mula dia hanya diam, lalu mereka mulai berdebat. Makin lama makin keras. 

Sejak itu mereka sering bertengkar. Sejak itu dia merasa rumah tangganya seperti neraka, apalagi kedua anaknya cenderung membela ibu mereka. Dia mulai keluar malam, sering tidak pulang. Hal itu membuat istrinya makin marah dan mereka bertengkar sengit. Akhirnya pada suatu titik, setelah bertahun-tahun, dia merasa rumah tangganya tak bisa lagi dipertahankan. Dan dia pergi, meninggalkan istri dan kedua anaknya. 

Setelah keluar dari rumah, dia menjalin—tepatnya melanjutkan—hubungan dengan perempuan itu. Seorang perempuan yang ditemuinya di pasar, saat dia keluar-masuk pasar sebagai penjaja keliling. Perempuan itu cantik, kulitnya bersih, dan 12 tahun lebih muda, serta sehari-hari berdagang di pasar.

Bicaranya ceplas-ceplos, tapi itu yang membuatnya tertarik. Belakangan dia tahu bahwa perempuan itu punya dua anak, dari suami yang berbeda. Suami pertama meninggal. Dengan suami kedua, perempuan itu bercerai. Tapi hal itu tak menyurutkan langkahnya. 

Lalu ayahnya meninggal. Dia mewarisi usaha tekstil itu, bersama dua adiknya. Ternyata usaha tekstil itu terlilit utang. Setelah dua tahun, dia tak mampu lagi mempertahankan usaha tekstil itu. Apalagi salah satu adiknya terus menggerogoti keuangan perusahaan. Dengan sisa uang warisan, dia membuka toko sembako bersama perempuan itu. Dengan penghasilan dari toko sembako, dia menyekolahkan kedua anak kandungnya sampai lulus kuliah. Dengan penghasilan dari toko sembako, dia juga menyekolahkan kedua anak dari perempuan itu. 

Tapi akhirnya, dia harus menutup toko sembako itu karena terus merugi. Mereka kalah bersaing dengan minimart yang makin menjamur. 

“Bungkus satu porsi ya, untuk Ibu,” kata lelaki tua itu, Diego Paredes. 

“Baik, Lito. Ibu masih di pasar?” 

“Ya!” 

Hubungannya dengan perempuan itu bukannya tanpa masalah. Tak lama setelah toko sembako itu tutup, mereka berpisah. Perangai perempuan itu juga keras, sama seperti istrinya. Tapi bukan itu yang menyebabkan mereka berpisah. Mereka punya persoalan yang lebih mendasar. Hal tersebut yang mengganggu perempuan itu selama bertahun-tahun. 

Dulu dia tak bisa bercerai dari istrinya karena agamanya melarang. Setelah itu, dia tak bisa menikahi perempuan itu karena regulasi di kantor agama. 

Setelah—untuk kedua kalinya—meninggalkan rumah, dia membuka toko sembako kecil di tempat lain. Lalu, tiga tahun setelah itu, tiba-tiba anak bontot itu muncul disertai calon suaminya. Anak itu memintanya pulang ke rumah. Bapak dan Ibu sudah tua, jadi jangan bertengkar lagi, kata anak itu. Di rumah Bapak dan Ibu bisa saling menjaga, sebagai teman masa tua, lanjut anak itu. Dia tidak mau, tapi dia tak bisa menolak permintaan anak yang paling disayanginya itu. Anak itu kemudian membujuk ibunya. Perlu waktu lebih lama, lalu dia mendengar perempuan itu mengiyakan. 

Dia kembali ke rumah itu. Dia punya kamar sendiri dan perempuan itu punya kamar sendiri. Dia punya kartu keluarga sendiri dan perempuan itu punya kartu keluarga sendiri. Tapi mereka menjalani hari-hari bersama, sampai pagi ini…. 

“Ini, Lito!” Si penjual bubur, Nora Cadena, meletakkan sebungkus bubur jagung dalam kantong plastik di meja. 

“Berapa semua?” 

“Tidak usahlah.” 

“Lho, jangan begitu! “ 

“Tidak usah. Justru aku masih berutang pada Lito. Jika bukan karena Lito, aku tak bisa berjualan bubur.” 

“Terima kasih.” 

“Sama-sama, Lito. Hati-hati di jalan.” 

Lelaki tua itu, Diego Paredes, keluar dari tenda penjual bubur. Sambil berjalan pulang, dia tersenyum. Sejak kembali ke rumah itu, dia ‘bekerja’ dengan ‘cara’ meminjamkan uang dan menarik bunga. Kedua anak kandungnya pernah menyebutnya rentenir. Tapi dia berpikir, apa bedanya dia dengan bank, atau sebut saja koperasi simpan pinjam? 

***


Wendoko adalah seorang penulis. Ia menulis puisi dan cerita. Buku cerpennya berjudul Gerimis di Kuta terbit pada 2018. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Wendoko

Wendoko

Wendoko adalah penulis. Ia menulis puisi dan cerita. Tulisan-tulisannya tersiar di sejumlah media massa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus