Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Djaduk dan Jazz Hujan

Menurut Djaduk, jazz adalah perilaku, dan itu seperti kuda lumping.

9 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUJAN yang tumpah dari langit menggerojokkan panik pada Djaduk Ferianto. Pada akhir bulan lalu, sejak sore, air seperti tak mau berhenti meluncur dari angkasa Yogyakarta. Padahal malam itu setidaknya ada tiga kelompok jazz papan atas Indonesia yang hendak naik pentas di panggung Ngayogjazz 2012. Sebagai koordinator festival jazz dengan enam panggung simultan di Brayut, Pandowoharjo, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, itu, Djaduk pantas resah.

Brayut merupakan desa wisata berlanskap Merapi, sekitar 30 menit perjalanan kendaraan bermotor dari jantung Kota Yogyakarta. Malam itu Barry Likumahuwa bersama Benny Likumahuwa akan manggung di Panggung Pacul. Di panggung yang sama, Idang Rasjidi segera menyusul. Lalu, di Panggung Lesung, akan tampil Syaharani and Queenfireworks. Ada juga Irianti Erningpraja & Eramono Soekaryo, yang bakal main di Panggung Caping.

Di tengah hujan lebat, Djaduk khawatir pengunjung bakal sepi. Penonton yang tiba sejak pagi hingga siang bisa segera buyar. Dalam gundah, ia menelepon anak buah yang memantau arus pengunjung di tempat parkir. Dari ujung telepon, dia mendapat jawaban bahwa pengunjung tetap deras mengalir. Djaduk, yang semula waswas, mendadak yakin. Musik di atas panggung Ngayogjazz jalan terus. Ia jadi merinding terharu. "Hati saya berkata, inilah jam session sesungguhnya, jazz menyatu dengan alam," ujar Djaduk, yang menemui kami di Padepokan Bagong Kussudiardja di Dusun Kembaran, Tirtonirmolo, Kabupaten Bantul, Selasa tiga pekan lalu.

Ngayogjazz memang digagas oleh Djaduk. Ia membangun Ngayogjazz bersama musikus Yogya lainnya, yakni Hattakawa, Wendra, Aji Wartono, Bambang, dan Hendi, pada 2006. Bersama Hattakawa dan Wendra, Djaduk punya gagasan membuat pementasan musik di Malioboro. Ada kerinduan terhadap Malioboro tempo dulu, sebagai pusat seni budaya. Kawasan di jantung Kota Yogyakarta itu belakangan memang didominasi kegiatan ekonomi.

Musik yang diusulkan jazz. Sejumlah nama sempat dilontarkan untuk memberi nama festival ini. Di antaranya Yogyes, seperti banyak tercetak di kaus. Ngayogjazz akhirnya yang mereka pilih, pelesetan dari Ngayogyakarta. Nahas, setelah proposal jadi, gempa meluluhlantakkan Yogyakarta. Ngayogjazz pertama baru bisa digelar setahun kemudian, pada 2007. Mereka cuma bermodal Rp 30 juta. Ngayogjazz pertama digelar di Padepokan Bagong Kussudiardja.

Sukses itu membawanya menggelar Ngayogjazz kedua di Tembi, Bantul, pada 2008, dan Ngayogjazz 2009 di Gabusan, Bantul. Pelaksanaan Ngayogjazz 2010 mundur karena Gunung Merapi meletus pada akhir Oktober tahun itu. Ngayogjazz baru muncul Januari 2011 di pelataran rumah pelukis Joko Pekik di Sembungan, Bantul. Ngayogjazz kembali digelar di tahun yang sama pada November di Kotagede, Yogyakarta.

Buat Djaduk, bermain jazz di kampung tak membuat musik jazz rendah. Ketika banyak orang beranggapan bahwa jazz adalah musik elite yang hanya bisa dinikmati di gedung mewah, ia menemukan sebaliknya. Jazz bukan musik mahal dan sulit.

l l l

Suatu sore di Wina, Austria, pada 2008. Di bawah hujan deras, Djaduk mendatangi restoran di sebuah hotel. Seorang lelaki yang hanya ia kenal lewat surat elektronik telah menanti. Dia Fritz Thom, yang mengorganisasi 17 festival jazz tersohor dunia, di antaranya North Sea Jazz Festival dan Vienna Jazz Festival.

Kala itu, Kua Etnika, kelompok musik etnik yang ia dirikan bersama Butet Kartare­djasa dan Purwanto pada 1995, lolos menjadi salah satu kelompok yang bakal melakukan pementasan di Festival Jazz Wina. Dengan biaya sendiri, mereka terbang ke Eropa. Panitia festival hanya menyiapkan akomodasi di lokasi.

"Djaduk, aku bahagia kamu main di sini. Aku sudah menunggumu," kata Fritz Thom saat mereka bertemu. Ia lalu bertanya satu hal, "Apakah orang Indonesia, terutama orang Jakarta, tahu kamu main di sini?" Konteks dari pertanyaan ini adalah bagaimana mungkin seorang musikus jazz Indonesia bisa melenggang ke festival jazz dunia tanpa "restu" penguasa jazz Indonesia. Padahal sudah jadi kelaziman, untuk lolos ke panggung jazz internasional, musikus jazz Indonesia harus pergi melalui saringan orang itu. Djaduk menyebut dia "bro­ker" kebudayaan.

Pertanyaan itu kemudian membuat Djaduk ingin Thom mengenal lebih banyak musikus jazz Indonesia tanpa melalui saringan sang broker. Dia menawari Thom datang ke Ngayogjazz 2009 di Gabusan, Bantul. Maksudnya sekaligus untuk mempromosikan pemusik jazz daerah, yang selama ini nyaris tak tersentuh Jakarta. Kali ini Djaduk hanya menawarkan akomodasi penginapan dan makan, tanpa honor dan ongkos terbang ke Indonesia. Dan tawaran itu mereka sanggupi.

Djaduk percaya diri mengajak Thom ke Ngayogjazz karena saban tahun pemain dan kelompok jazz yang menjadi peserta amat berbeda. Pemain dari sejumlah daerah, seperti Semarang, Purwokerto, dan Balikpapan, juga hadir. Ini berbeda dengan kebanyakan festival jazz di Indonesia, yang menampilkan musikus itu-itu saja.

Kepercayaan diri Djaduk berbuah manis. Thom, menurut dia, tak pernah menemui festival jazz di mana pun di dunia yang serupa dengan Ngayogjazz. Festival jazz yang digelar di pedesaan dan melibatkan cukup banyak orang. Bahkan, dengan biaya relatif murah (Ngayogjazz 2009 menelan biaya Rp 230 juta), festival itu digelar secara gratis. "Saya ingin jazz menjadi kesenian rakyat," katanya.

Lazimnya kesenian rakyat di Indonesia, yang digelar di halaman rumah penduduk desa, Ngayogjazz pun begitu. Ngayogjazz 2008 di Tembi, misalnya, salah satu panggung didirikan di halaman masjid. Ada juga panggung yang berlatar belakang kuburan. Bahkan pembukaan Ngayogjazz 2012 di Brayut dilakukan di panggung yang berdampingan dengan kandang ayam.

l l l

Lahir di Yogyakarta, 19 Juli 1964, Djaduk adalah putra pasangan Bagong Kussudiardja-Soetiana. Bagong adalah koreografer dan pelukis kenamaan. Namanya diambil dari nama Djaduk Djajakusuma, seorang seniman film, teater, sekaligus penulis. Bagong mengagumi Djaduk Djajakusuma. Djaduk berasal dari kata bahasa Jawa kuno yang berarti linuwih, atau orang yang memiliki kemampuan lebih. Ia memang punya kelebihan dalam soal seni.

Hanya, selama ini orang menganggap Djaduk adalah musikus etnik. Dia sendiri tampaknya menganggap seperti itu. Adalah sosiolog Universitas Gadjah Mada, Heru Nugroho, yang mengubah pandangan Djaduk pada musik yang dipilihnya.

Pada 1995, Djaduk, yang hendak mengikuti festival JakJazz, bertemu dengan He­ru, yang baru saja pulang dari studi di Jerman. Heru adalah pengasuh musik jazz di Radio Geronimo. Perjumpaan itu membuatnya bertanya, apa itu musik jazz. "Kowe kuwi wis jazz banget (kamu itu sudah jazz sekali)," ujar Djaduk, menirukan jawaban Heru. Sejak saat itu, Djaduk mulai belajar aneka referensi, menonton, dan bertandang ke tempat komposer jazz. Ia berkesimpulan bahwa jazz, yang tumbuh dari masyarakat Afro-Amerika yang terpinggirkan, seperti kesenian rakyat. "Sama dengan jathilan (kuda lumping)," katanya, tertawa.

Meski baru tercerahkan pada pertengahan 1990-an, Djaduk sebenarnya telah berkenalan dengan jazz sejak 1980-an. Ia punya koleksi sejumlah album musikus jazz dunia. Satu di antaranya kaset bajakan permainan flute Dave Valentin. Bagong Kussudiardja kerap memanfaatkan permainan flute pemusik asal Amerika itu untuk mengiringi tarian. Seorang di antara penari yang dimiliki Bagong tak lain adalah Djaduk. "Dari situ, saya kepingin main flute," katanya. Saking ingin memainkan flute, Djaduk meminta Bagong membelikannya. Flute itu bermerek Lark buatan Cina. Sayang, kini benda itu entah ke mana.

Bungsu dari tujuh bersaudara ini memang tak pernah belajar musik secara formal. Pengetahuan musik dia dapat otodidak, dan pada sejumlah empu musik, termasuk Bagong Kussudiardja, yang seniman tari. Dia justru memilih Fakultas Seni Rupa saat belajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada 1984. Salah satu dosen melukis Djaduk adalah Nyoman Gunarsa. Dari pelukis ternama asal Pulau Dewata itu, ia belajar membuat garis.

Menurut Djaduk, daya semangat Nyoman­ Gunarsa dalam membuat garis lukisan mempengaruhi cara dia bermusik. Djaduk kerap melanggar aturan harmoni musik, sehingga musik yang ia hasilkan terdengar unik dan baru. Ketika bermain musik, ia mengibaratkan sedang melukis. Hanya, Djaduk tak menggunakan cat dan kanvas. "Saya melukis lewat bunyi-bunyian," ujarnya.

Ia ikut membidani lahirnya Kiai Kanjeng bersama Emha Ainun Nadjib pada 1996. Namun konflik melemparkan Djaduk keluar dari Kiai Kanjeng. "Sakitnya menghunjam," katanya. Tangan kanan dia menempel di dada. Mata Djaduk basah oleh air mata. Ia menarik napas dalam, tak tega untuk mengudar kembali ihwal kepergiannya dari Kiai Kanjeng.

Djaduk justru mengambil hikmah dari perpecahan itu. Mungkin, jika tak ada konflik itu, tak lahir Kua Etnika dan Sinten Remen pada 1997. Nama Djaduk terus moncer saat Sinten Remen dan Kua Etnika memiliki program sendiri di sebuah stasiun televisi, Senggal-Senggol dan Pasar Rakyat. Sejak itulah pola kerja dia berubah. Semula serampangan, kini Djaduk menggunakan manajemen modern.

Djaduk menyatakan jazz punya cakupan musik yang luas, dari hip­-hop, jazz kontemporer, hingga world music. Bahkan, pada gamelan, muncul perilaku jazz. Meski bahasa bermusiknya beda, esensinya sama. Ia merujuk pada perkembangan musik pada 1995 ketika world music menjadi tren. Banyak pemusik jazz yang berkolaborasi dengan musik lokal, misalnya pemain alat musik etnik Afrika dan India.

Itulah kenapa Djaduk amat terinspirasi oleh Shakti, sebuah kelompok musik yang memadukan jazz dunia Barat dan musik etnis India. Grup ini diawaki gitaris asal Inggris, John McLaughin; pemain biola India, L. Shankar; Zakir Hussain pada tabla; Ramnad Raghavan memainkan mridangam; dan T.H. "Vikku" Vinayakram, yang jago memegang gatham. Ada dua pemusik yang menjadi idola Djaduk dalam grup ini: Zakir dan Vikku.

Perpaduan musik yang jazzy dengan musik etnik itu mempengaruhi permainan musik Djaduk. Mulai 1982, ia menggarap musik yang memadukan pola seperti itu, di antaranya melalui pementasan Unen-Unen oleh Wathathita. Perkawinan musik kontemporer dan etnik saat itu menjadi tren. Perpaduan nada pentatonis dan diatonis dianggap sebagai bentuk pembaruan dalam musik. "Jazz itu perilaku. Musik adalah bahasa universal," ujar Djaduk.

Sunudyantoro, Anang Zakaria


Gregorius Djaduk Ferianto
Tempat dan tanggal lahir: Yogyakarta, 19 Juli 1964

Pendidikan:
Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Yogyakarta

Penghargaan:

  • Juara I Musik Humor Tingkat Nasional
  • Piala Vidia Festival Sinetron Indonesia sebagai Penata Musik Terbaik (1995)
  • Pemusik Kreatif dari PWI cabang Yogyakarta (1995)
  • Nomine Festival Sinetron sebagai penata musik terbaik Di Balik Pusaran Awan (1996)
  • Penghargaan Musik Unggulan di Asia-Pacific Film Festival (1998)
  • Grand Prize 2000 (UNESCO)
  • Pemeran Pembantu Terbaik Festival Film Indonesia (2004)
  • Penata Musik Terbaik Piala Citra (2008, 2009)
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum