Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sutradara Arifin C. Noer sutradara film Pengkhianatan G30S/PKI (1984) lebih dahulu membuat film mencekam Djakarta 1966 (1982). Film Djakarta 1966 menjadi film yang harus layak ditonton usai menonton Pengkhianatan G30S/PKI.
Menurut adik dari sutradara tersebut, Embie C. Noer, “Saya pribadi berpendapat, trilogi Serangan Fajar, Pengkhianatan G30S/PKI, dan Djakarta 1966 harus ditonton semuanya agar dapat dinikmati secara utuh,” katanya.
Embie C. Noer menyayangkan kondisi film Djakarta 66 sebagai epilog karena rusak terkena gunting sensor. Padahal, film tersebut memperlihatkan diskusi-diskusi menarik dan penting. Sayangnya, adegan-adegan penting itu yang banyak kena gunting sensor.
Djakarta 1966
Film Djakarta 66 memperlihatkan kejadian-kejadian di Jakarta setelah peristiwa 30 September 1965 mulai dari Januari sampai turunnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Pada film tersebut, sosok Soeharto masih ditempatkan sama dengan film Pengkhianatan G30S/PKI yang menjadi anak buah Soekarno dengan sifat baik hati, penuh pengabdian dan pengorbanan, serta cinta pada pemimpin dan rakyatnya. Sementara itu, Soekarno digambarkan sebagai sosok pemarah akibat demonstrasi tidak kunjung selesai.
Selain pemeran utama tertuju pada Soekarno dan Soeharto, tetapi para pemuda juga berperan besar dalam Supersemar. Para pemuda dalam film ini berasal dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), sebuah kumpulan organisasi mahasiswa non-komunis, seperti HMI, GMKI, PMKRI, PMII, dan Mapancas.
Lalu, pada 10 Januari 1966, KAMI menyuarakan tiga tuntutan rakyat (Tritura), yaitu bubarkan PKI, turunkan harga, dan mengganti kabinet Dwikora. Dari tiga tuntutan tersebut, pembubaran PKI menjadi fokus utama yang harus dilakukan pemerintah.
Dengan desakan dari mahasiswa dan beberapa TNI, PKI dibubarkan dan beberapa menteri kabinet Dwikora yang terkait PKI diamankan. Pada 1967, Soekarno pun meninggalkan Istana Negara yang menjadi akhir dari perjuangan mahasiswa.
Pada Djakarta 66, Arifin menggambarkan krisis dalam tiga bulan pada 1966 itu dengan cara yang terpecah-pecah dan tidak membentuk satu kesatuan. Akibatnya, penonton yang lahir usai runtuhnya Orde Baru kemungkinan akan bingung mengikuti setiap cerita dan potongan fragmen tentang perjuangan mahasiswa kala itu. Namun, ada hal konsisten yang muncul sejak film Pengkhianatan G30S/PKI, yaitu peristiwa 1965-1966 menjadi konflik rakyat dan PKI.
Berdasarkan ypkp1965.org, dari Djakarta 1966, penonton tidak bisa mengetahui benar tidaknya kontroversi terkait Supersemar karena dokumen aslinya tidak bisa ditemukan lagi. Lalu, film yang digarap Arifin C. Noer ini pun dibiayai oleh negara dan diproduksi saat pemerintahan Soeharto. Meskipun terdapat kekurangan, tetapi film ini harus ditonton setelah Pengkhianatan G30S/PKI karena dapat secara jelas melihatkan gelapnya konstelasi politik kala itu terkait PKI.
Adapun, para pemain film Djakarta 66, antara lain:
- Amoroso Katamsi sebagai Soeharto
- Umar Kayam sebagai Sukarno
- A. Nugraha
- Cok Simbara
- Ikranagara
- Jajang C. Noer
- Piet Pagau
- Rachmat Kartolo
- Ratna Riantiarno
- Tizar Purbaya
Pilihan Editor: Wawancara Embie C. Noer Penata Musik Film Pengkhianatan G30S/PKI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini