Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Dokter Forensik Yang Asyik

Profesinya sebagai dokter ahli forensik yang sehari-harinya bergaul dengan mayat. salah satu dari 12 dokter forensik yang mendapat brevet keahlian. ikut menggali mayat bung tomo di padang arafat. (tk)

18 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIASANYA, dokter berhubungan dengan orang sakit. Tetapi yang satu ini lebih banyak berurusan dengan mayat. "Lebih asyik," katanya. Pengetahuan kita ditantang, sementara tak ada risiko apa-apa menangani pasien." Tentu saja -- lha pasiennya sudah mayat. Dr. Abdul Mun'im Idries memberi contoh keasyikan itu. Korban yang semula diduga bunuh diri, setelah diperiksa dengan pembedahan ternyata mati dibunuh. Atau sebaliknya Puncak keasyikan ketika saya menangani mayat yang terpotong-potong menjadi 13 bagian, yang ditemukan dalam kardus di Jl. Sudirman," katanya. Itu kejadian yang menggemparkan Ibukota tahun 1981. "Mayat itu harus diketahui identitasnya, umurnya, sebab kematiannja, dan kapan dibunuh. Ini kasus besar dan menarik." Mayat akhirnya memang tetap tak bernama. Tetapi Mun'im sudah berhasil mengungkapkan beberapa hal. Ciri-ciri korban, sampai penyakit-penyakit yang diderita korban dan perkiraan kapan terjadi pembunuhan. Menemukan bagian itu saja Mun'im sudah diancam kiri-kanan. Ia didatangi lelaki seram -- masuk begitu saja ke ruang prakteknya. "Kamu dokter Abdul Mun'im ya," kata lelaki itu. Mun'im yang gelagapan tak sempat menjawab, dan begitu saja lelaki itu pergi. Surat kaleng juga diterimanya isinya ancaman jika si dokter meneruskan usahanya mencari identitas si mayat 13. Sampai polisi menyarankan agar ia pergi dan pulang tidak pada jam-jam yang sama, tidak pula memakai mobil yang sama. "Saya sampai tidak berani pergi ke luar kota," kata Mun'im mengenang. "Daripada mati di tempat lain dan tidak dikenal orang, seperti mayat itu, lebih baik 'kan mati di sini." Alhamdulillah dokter yang kurus kecil ini masih sehat wal'afiat. Jabatannya sekarang Sekretaris Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia (LKUI). Sebagai dokter ahli patologi forensik, ilmu kedokteran kehakiman, selain bergaul dengan mayat ia pun dekat dengan polisi. Polisilah yang sering memberi "pesanan" untuk dikerjakannya -- meski diakuinya sering membosankan juga. "Habis kasusnya kecelakaan lalu lintas, korban penusukan atau pembunuhan, yang sudah jelas orangnya. Kurang menarik untuk saya," katanya terus terang. Toh dikerjakannya juga. Maklum tugas. Apalagi ada ketentuan, korban kematian yang tak wajar belum bisa dikuburkan jika belum ada surat dokter yang menentukan penyebab kematiannya. Surat itulah yang sering keluar dari tangan Mun'im. "Saya menjadi dokter hanya karena kebetulan," katanya. Lahir di Pekalongan 25 Mei 1947, setelah lulus SMA X Jakarta ia bercita-cita jadi ahli kimia. Tapi ia tak punya ongkos mendaftar ke ITB, dan karena itu mengalihkan sasaran ke Fakultas Kedokteran UI. Diterima. Waktu itu masuk perguruan tinggi masih gampang. Mulai kuliah tahun 1965, dan Jakarta diombang-ambingkan demonstrasi mahasiswa. Mun'im ikut arus, walau ia mengaku takpernah aktif di senat atau dewan mahasiswa. Teriak-teriak di jalan, hasilnya lumayan juga. Ia ketemu demonstran lain: cewek fakultas kedokteran swasta, Kiswaty Ratu Mustika namanya. Revolusi beralih ke hati dua mahasiswa ini. "Naik tingkat dua saya langsung menikah. Cepat saja," kata Mun'im. Anaknya kini lima orang, yang sulung sudah di SMA. "Wah, susah kalau orang laki ditanya umur anaknya," katanya ketawa. Ketika mahasiswa dan belajar anatomi, lengkap dengan praktek bedah mayat, jiwa Mun'im berkembang. "Padahal menurut ibu saya, sejak kecil saya ini orangnya penggeli," tuturnya. Ia sempat memantangkan makan daging selama seminggu setelah praktek pertama dengan mayat. Setiap makan daging terbayang di benaknya daging mayat. Apalagi makan otak -- o, pantang. "Banyak kesamaan otak binatang dengan otak manusia, lho. Lama-lama terbiasa juga. Makan di depan mayat yang baru dibedah tak merasa jijik lagi. Karena terbiasa itu, ketika lulus dan ditawari menjadi asisten ahli penyakit dalam (internis), ia menolak. "Jadi spesialis penyakit dalam kerjanya itu-itu saja: periksa orang sakit, lalu memberi obat." Ia memilih bidang forensik, yang dianggap kering dan jarang diminati dokter. Di Indonesia hanya terdapat 30 dokter bidang ini, dan dari mereka baru 12 yang punya brevet keahlian, termasuk Mun'im sendiri. "Tetapi aspek sosialnya tidak sempit. Bidang ini memaksa saya menekuni masalah hukum, psikologi, dan ilmu lainnya," kata Mun'im. Di RSCM Jakarta, Mun'im memang tidak harus membedah sendiri. Di sana ada juru bedah yang membantunya. Juga mahasiswa yang berpraktek memperlancar kerjanya. Hanya dalam kasus besar ia ikut mempreteli organ mayat di kamar bedah. Tetapi Mun'im tak cuma bekerja di Jakarta. Ia berkali-kali "dipesan" ke daerah. "Sering saya melakukan autopsi di kuburan," ujarnya. Dan di situ pembedahan dilakukannya sendiri, karena di daerah juru bedah sangat langka (lihat Suka Duka). Ia, misalnya, pernah dipanggil ke Jepara, Ja-Teng, dan malam-malam, hujan lagi, membedah mayat di makam. Petugas kepolisian yang mengantar yang justru ngeri. Jepara masih terhitung dekat. Abdul Mun'im pernah menggali mayat di Padang Arafat, Tanah Suci. Ialah memang yang dulu diminta keluarga Bung Tomo untuk menggali dan mengenali mayat tokoh pejuang Surabaya ini, yang meninggal ketika menunaikan ibadat haji. "Terus terang saya merasa stressed waktu itu," kenang Mun'im. "Untuk menentukan yang mana mayat Bung Tomo, kami hanya mendapat izin seluruhnya delapan hari." Kesulitan menggali di Arafat disebabkan di setiap liang ada empat sampai lima mayat dikubur. Di padang luas itu lubang-lubang makam dari beton petak-petak- berderet-deret. Mun'im membekali diri dengan data lengkap fisik Bung Tomo. Beruntung, petak liang Bung Tomo dikenali keluarganya. Begitu digali, Abdul Mun'im hanya memerlukan waktu 20 menit untuk mencocokkan jenazah dengan data yang dia pegang. Wajah almarhum Bung Tomo sendiri masih dikenali keluarganya, tetapi Mun'im tetap diperlukan untuk memberi pembuktian ilmiah. Misi ini sukses. Dokter forensik sangat membantu polisi. Kodak Metro Jaya sejak 1979 sudah mengadakan kerja sama dengan LKUI. "Ini besar artinya, untuk kepentingan masyarakat luas. Bagi polisi ini membantu penyidikan dan menghindari kemungkinan salah tangkap." Mun'im memberi contoh. Polisi menemukan sepotong betis. Adalah tugas dokter forensik untuk menentukan betis siapakah itu. Dari sepotong betis itu dikenali jenis kelaminnya, tinggi tubuhnya, dan kanan betis itu lepas dari tubuh. Identifikasi lainnya jadi urusan polisi. "Kasus-kasus begini menarik. Penuh teka-teki, walau cukup mengkhawatirkan," kata Mun'im. Kekhawatirannya sudah disebut tadi: sang pembunuh, atau orang lain, mengancam. Kasus yang menjengkelkan adalah pembedahan biasa bagi keperluan surat kematian. Keluarga korban biasanya keberatan. "Kadang-kadang makan hati. Saya sering berdebat dengan keluarga yang mati," ujar dokter ini. Bahkan ada keluarga korban yang merebut jenazah sebelum autopsi. "Padahal jenazah itu menurut peraturan tak akan diberi izin dikuburkan sebelum saya memberikan surat kubur." Keluhan lain, "kalau ini termasuk keluhan," katanya: sebagai pegawai negeri Golongan IIID, ia hanya menerima Rp 135.000 -- termasuk segala tunjangan. "Itu mana cukup untuk membiayai keluarga dengan lima anak dan seorang istri," katanya tanpa malumalu. Tugas ke daerah, tak mendapat tambahan apa-apa, selain transpor yang sudah ditanggung. Karena itu "saya membuka praktek umum. Dengan terpaksa sekali," lanjutnya. Ruang prakteknya di rumah orangtuanya di Kebon Jeruk, Jakarta. Kecil saja: 3 x 3 meter, dan sederhana. Ada beberapa poster di antaranya tiga poster menggambarkan alat vital wanita. Dengan senyum-senyum dokter kehakiman ini berkata: "Pasien saya kebanyakan wanita yang sakit kelamin." Setiap malam datang ke situ antara 10 sampai 20 pasien dengan tarif yang berlaku umum, Rp 3.000. Ia sendiri mengaku sebenarnya ingin memberi saran agar wanita yang datang membawa penyakit itu berhenti "praktek". "Tetapi mana mungkin saya memberi saran begitu. Paling saya memberi petunjuk kesehatan, agar pasien sadar sendiri bahaya penyakitnya." Dari praktek umum ini keluarga Mun'im "tertolong hidup di tengah hingar-bingar Jakarta, seperti dikatakannya. Jangan dibayangkan sang dokter naik mobil pribadi. Dari rumahnya di Kepa Duri ia naik bis Patas. Mobil pribadi memang ada, Mercedes Benz tahun 1965, tapi hanya ia pakai kalau sedang jaga malam di RSCM. "Terlalu boros pakai mobil setiap hari," katanya. Tetapi bukan karena ingin hemat jika sang dokter hampir tak pernah menonton film Indonesia. "Terus terang saja, saya tak suka film Indonesia. Kalau ada film Amerika yang bagus saya baru menonton." Malah The God Father ia tonton sampai empat kali -- mulai waktu diputar di New Garden Hall sampai di bioskop kelas bawah. Bukan karena melulu menyenangi film itu. "Saya meneliti waktu putar film," katanya. Kesimpulannya: "semakin merosot kelas bioskop, semakin banyak yang dipotong." Ilmu bedah rupanya juga dipakai di kalangan cukong bioskop, begitu kesimpulan dokter bedah ini. Anak keenam di antara 11 bersaudara ini, putra almarhum Letkol K.H. Iskandar Idries (yang dikenal mendirikan Pusat Rohani TNI AD -- kini Dinas Bimbingan Mental TNI AD, dan terakhir anggota Majelis Ulama DKI), menyukai lagu-lagu Ebiet G.Ade, Jean Michel Jarre, dan Malaguena, lagu Spanyol. "Dulu saya suka mancing. Kini tak sempat. Sibuk," katanya. Yang masih lengket: membaca. Buku apa saja, tidak meluru buku kedokteran, dibaca. Abdul Mun'im sendiri sudah menulis tiga buku menyangkut bab kedokteran, kehakiman. Dan di kamar praktek umumnya terlihat buku-buku Thy Neighbour's Wife dan Girlfriends yang bergambar sampul wanita sexy. Pada tirai putih di kamar prakteknya, dokter yang sehari-harinya memelototi mayat itu malah menggantungkan foto wanita bule yang agak, hm, diambil dari majalah asing. Kontras itu barangkali memang diperlukan............

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus