BIASANYA, dokter berhubungan dengan orang sakit. Tetapi yang
satu ini lebih banyak berurusan dengan mayat. "Lebih asyik,"
katanya. Pengetahuan kita ditantang, sementara tak ada risiko
apa-apa menangani pasien." Tentu saja -- lha pasiennya sudah
mayat.
Dr. Abdul Mun'im Idries memberi contoh keasyikan itu. Korban
yang semula diduga bunuh diri, setelah diperiksa dengan
pembedahan ternyata mati dibunuh. Atau sebaliknya Puncak
keasyikan ketika saya menangani mayat yang terpotong-potong
menjadi 13 bagian, yang ditemukan dalam kardus di Jl. Sudirman,"
katanya. Itu kejadian yang menggemparkan Ibukota tahun 1981.
"Mayat itu harus diketahui identitasnya, umurnya, sebab
kematiannja, dan kapan dibunuh. Ini kasus besar dan menarik."
Mayat akhirnya memang tetap tak bernama. Tetapi Mun'im sudah
berhasil mengungkapkan beberapa hal. Ciri-ciri korban, sampai
penyakit-penyakit yang diderita korban dan perkiraan kapan
terjadi pembunuhan.
Menemukan bagian itu saja Mun'im sudah diancam kiri-kanan. Ia
didatangi lelaki seram -- masuk begitu saja ke ruang prakteknya.
"Kamu dokter Abdul Mun'im ya," kata lelaki itu. Mun'im yang
gelagapan tak sempat menjawab, dan begitu saja lelaki itu pergi.
Surat kaleng juga diterimanya isinya ancaman jika si dokter
meneruskan usahanya mencari identitas si mayat 13. Sampai polisi
menyarankan agar ia pergi dan pulang tidak pada jam-jam yang
sama, tidak pula memakai mobil yang sama. "Saya sampai tidak
berani pergi ke luar kota," kata Mun'im mengenang. "Daripada
mati di tempat lain dan tidak dikenal orang, seperti mayat itu,
lebih baik 'kan mati di sini."
Alhamdulillah dokter yang kurus kecil ini masih sehat wal'afiat.
Jabatannya sekarang Sekretaris Lembaga Kriminologi Universitas
Indonesia (LKUI). Sebagai dokter ahli patologi forensik, ilmu
kedokteran kehakiman, selain bergaul dengan mayat ia pun dekat
dengan polisi. Polisilah yang sering memberi "pesanan" untuk
dikerjakannya -- meski diakuinya sering membosankan juga. "Habis
kasusnya kecelakaan lalu lintas, korban penusukan atau
pembunuhan, yang sudah jelas orangnya. Kurang menarik untuk
saya," katanya terus terang. Toh dikerjakannya juga. Maklum
tugas. Apalagi ada ketentuan, korban kematian yang tak wajar
belum bisa dikuburkan jika belum ada surat dokter yang
menentukan penyebab kematiannya. Surat itulah yang sering keluar
dari tangan Mun'im.
"Saya menjadi dokter hanya karena kebetulan," katanya. Lahir di
Pekalongan 25 Mei 1947, setelah lulus SMA X Jakarta ia
bercita-cita jadi ahli kimia. Tapi ia tak punya ongkos mendaftar
ke ITB, dan karena itu mengalihkan sasaran ke Fakultas
Kedokteran UI. Diterima. Waktu itu masuk perguruan tinggi masih
gampang.
Mulai kuliah tahun 1965, dan Jakarta diombang-ambingkan
demonstrasi mahasiswa. Mun'im ikut arus, walau ia mengaku
takpernah aktif di senat atau dewan mahasiswa. Teriak-teriak di
jalan, hasilnya lumayan juga. Ia ketemu demonstran lain: cewek
fakultas kedokteran swasta, Kiswaty Ratu Mustika namanya.
Revolusi beralih ke hati dua mahasiswa ini. "Naik tingkat dua
saya langsung menikah. Cepat saja," kata Mun'im. Anaknya kini
lima orang, yang sulung sudah di SMA. "Wah, susah kalau orang
laki ditanya umur anaknya," katanya ketawa.
Ketika mahasiswa dan belajar anatomi, lengkap dengan praktek
bedah mayat, jiwa Mun'im berkembang. "Padahal menurut ibu saya,
sejak kecil saya ini orangnya penggeli," tuturnya. Ia sempat
memantangkan makan daging selama seminggu setelah praktek
pertama dengan mayat. Setiap makan daging terbayang di benaknya
daging mayat. Apalagi makan otak -- o, pantang. "Banyak kesamaan
otak binatang dengan otak manusia, lho.
Lama-lama terbiasa juga. Makan di depan mayat yang baru dibedah
tak merasa jijik lagi. Karena terbiasa itu, ketika lulus dan
ditawari menjadi asisten ahli penyakit dalam (internis), ia
menolak. "Jadi spesialis penyakit dalam kerjanya itu-itu saja:
periksa orang sakit, lalu memberi obat." Ia memilih bidang
forensik, yang dianggap kering dan jarang diminati dokter. Di
Indonesia hanya terdapat 30 dokter bidang ini, dan dari mereka
baru 12 yang punya brevet keahlian, termasuk Mun'im sendiri.
"Tetapi aspek sosialnya tidak sempit. Bidang ini memaksa saya
menekuni masalah hukum, psikologi, dan ilmu lainnya," kata
Mun'im.
Di RSCM Jakarta, Mun'im memang tidak harus membedah sendiri. Di
sana ada juru bedah yang membantunya. Juga mahasiswa yang
berpraktek memperlancar kerjanya. Hanya dalam kasus besar ia
ikut mempreteli organ mayat di kamar bedah. Tetapi Mun'im tak
cuma bekerja di Jakarta. Ia berkali-kali "dipesan" ke daerah.
"Sering saya melakukan autopsi di kuburan," ujarnya. Dan di situ
pembedahan dilakukannya sendiri, karena di daerah juru bedah
sangat langka (lihat Suka Duka). Ia, misalnya, pernah
dipanggil ke Jepara, Ja-Teng, dan malam-malam, hujan lagi,
membedah mayat di makam. Petugas kepolisian yang mengantar yang
justru ngeri.
Jepara masih terhitung dekat. Abdul Mun'im pernah menggali mayat
di Padang Arafat, Tanah Suci. Ialah memang yang dulu diminta
keluarga Bung Tomo untuk menggali dan mengenali mayat tokoh
pejuang Surabaya ini, yang meninggal ketika menunaikan ibadat
haji. "Terus terang saya merasa stressed waktu itu," kenang
Mun'im. "Untuk menentukan yang mana mayat Bung Tomo, kami hanya
mendapat izin seluruhnya delapan hari."
Kesulitan menggali di Arafat disebabkan di setiap liang ada
empat sampai lima mayat dikubur. Di padang luas itu
lubang-lubang makam dari beton petak-petak- berderet-deret.
Mun'im membekali diri dengan data lengkap fisik Bung Tomo.
Beruntung, petak liang Bung Tomo dikenali keluarganya. Begitu
digali, Abdul Mun'im hanya memerlukan waktu 20 menit untuk
mencocokkan jenazah dengan data yang dia pegang. Wajah almarhum
Bung Tomo sendiri masih dikenali keluarganya, tetapi Mun'im
tetap diperlukan untuk memberi pembuktian ilmiah. Misi ini
sukses.
Dokter forensik sangat membantu polisi. Kodak Metro Jaya sejak
1979 sudah mengadakan kerja sama dengan LKUI. "Ini besar
artinya, untuk kepentingan masyarakat luas. Bagi polisi ini
membantu penyidikan dan menghindari kemungkinan salah tangkap."
Mun'im memberi contoh. Polisi menemukan sepotong betis. Adalah
tugas dokter forensik untuk menentukan betis siapakah itu. Dari
sepotong betis itu dikenali jenis kelaminnya, tinggi tubuhnya,
dan kanan betis itu lepas dari tubuh. Identifikasi lainnya jadi
urusan polisi. "Kasus-kasus begini menarik. Penuh teka-teki,
walau cukup mengkhawatirkan," kata Mun'im. Kekhawatirannya sudah
disebut tadi: sang pembunuh, atau orang lain, mengancam.
Kasus yang menjengkelkan adalah pembedahan biasa bagi keperluan
surat kematian. Keluarga korban biasanya keberatan.
"Kadang-kadang makan hati. Saya sering berdebat dengan keluarga
yang mati," ujar dokter ini. Bahkan ada keluarga korban yang
merebut jenazah sebelum autopsi. "Padahal jenazah itu menurut
peraturan tak akan diberi izin dikuburkan sebelum saya
memberikan surat kubur."
Keluhan lain, "kalau ini termasuk keluhan," katanya: sebagai
pegawai negeri Golongan IIID, ia hanya menerima Rp 135.000 --
termasuk segala tunjangan. "Itu mana cukup untuk membiayai
keluarga dengan lima anak dan seorang istri," katanya tanpa
malumalu. Tugas ke daerah, tak mendapat tambahan apa-apa, selain
transpor yang sudah ditanggung. Karena itu "saya membuka praktek
umum. Dengan terpaksa sekali," lanjutnya.
Ruang prakteknya di rumah orangtuanya di Kebon Jeruk, Jakarta.
Kecil saja: 3 x 3 meter, dan sederhana. Ada beberapa poster di
antaranya tiga poster menggambarkan alat vital wanita. Dengan
senyum-senyum dokter kehakiman ini berkata: "Pasien saya
kebanyakan wanita yang sakit kelamin." Setiap malam datang ke
situ antara 10 sampai 20 pasien dengan tarif yang berlaku umum,
Rp 3.000. Ia sendiri mengaku sebenarnya ingin memberi saran agar
wanita yang datang membawa penyakit itu berhenti "praktek".
"Tetapi mana mungkin saya memberi saran begitu. Paling saya
memberi petunjuk kesehatan, agar pasien sadar sendiri bahaya
penyakitnya."
Dari praktek umum ini keluarga Mun'im "tertolong hidup di tengah
hingar-bingar Jakarta, seperti dikatakannya. Jangan dibayangkan
sang dokter naik mobil pribadi. Dari rumahnya di Kepa Duri ia
naik bis Patas. Mobil pribadi memang ada, Mercedes Benz tahun
1965, tapi hanya ia pakai kalau sedang jaga malam di RSCM.
"Terlalu boros pakai mobil setiap hari," katanya.
Tetapi bukan karena ingin hemat jika sang dokter hampir tak
pernah menonton film Indonesia. "Terus terang saja, saya tak
suka film Indonesia. Kalau ada film Amerika yang bagus saya baru
menonton." Malah The God Father ia tonton sampai empat kali --
mulai waktu diputar di New Garden Hall sampai di bioskop kelas
bawah. Bukan karena melulu menyenangi film itu. "Saya meneliti
waktu putar film," katanya. Kesimpulannya: "semakin merosot
kelas bioskop, semakin banyak yang dipotong." Ilmu bedah rupanya
juga dipakai di kalangan cukong bioskop, begitu kesimpulan
dokter bedah ini.
Anak keenam di antara 11 bersaudara ini, putra almarhum Letkol
K.H. Iskandar Idries (yang dikenal mendirikan Pusat Rohani TNI
AD -- kini Dinas Bimbingan Mental TNI AD, dan terakhir anggota
Majelis Ulama DKI), menyukai lagu-lagu Ebiet G.Ade, Jean Michel
Jarre, dan Malaguena, lagu Spanyol. "Dulu saya suka mancing.
Kini tak sempat. Sibuk," katanya. Yang masih lengket: membaca.
Buku apa saja, tidak meluru buku kedokteran, dibaca. Abdul
Mun'im sendiri sudah menulis tiga buku menyangkut bab
kedokteran, kehakiman. Dan di kamar praktek umumnya terlihat
buku-buku Thy Neighbour's Wife dan Girlfriends yang bergambar
sampul wanita sexy.
Pada tirai putih di kamar prakteknya, dokter yang sehari-harinya
memelototi mayat itu malah menggantungkan foto wanita bule yang
agak, hm, diambil dari majalah asing. Kontras itu barangkali
memang diperlukan............
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini