KESALAHAN menafsirkan perbedaan antara "teater" dan "dramatari" justru muncul di Pekan Dramatari dan Teater Daerah Nasional di TIM 18 s/d 20 September 1984. Kekeliruan ini sebenarnya mudah dipahami jika diingat bahwa tidak semua daerah peserta memiliki tradisi dalam kedua bidang itu. Tapi agaknya juga karena tidak semua peserta ingin tampil dengan sungguh hati - tapi lebih banyak oleh dorongan adanya kesempatan. Bahwa Topeng Slangit tampil di antara ke-9 peserta "teater" daerah, sementara lebih dari separuh peserta "dramatari" menggubah drama dengan embel-embel tari sungguh merupakan sebuah "drama". Betapa tidak. Dorongan untuk menampilkan cerita lewat ungkapan gerak tari itu untuk sebagian besar peserta menjadi beban. Pasalnya, tak setiap peserta punya bekal keterampilan, sarana, dan pengalaman mengolahnya dengan memadai. Sejumlah provinsi bahkan mengaku tak pernah berurusan dengan bentuk dramatari, sehingga harus menggubah baru. Dan karena ketidakmampuan, banyak yang (dianjurkan) memilih bentuk "sendratari", yang secara khusus berarti dramatan tanpa dialog. Susahnya, banyak peserta menafsirkan dramatari bukan sebagai kesatuan ekspresi yang utuh, melainkan secara terpisah sebagai tontonan yang pokoknya mengandung lakon (drama) dan ada tari-menari di dalamnya. Di sinilah "drama" itu dimulai. Lahirlah kemudian tontonan yang bukan drama dan bukan pula tari. Menderetkan sejumlah tarian dengan kerangka cerita dianggap dramatari. Dialog bisu menggantikan percakapan antarpelaku gaya laku (akting) reahstls mengganti gerakan tari, dan dimaafkanlah pula penari yang tak pandai menari dan tak cakap berakting. Banyak peserta jauh dari tahu bahwa hilangnya dialog justru menuntut pengembangan aspek-aspek rupa (visual), gerak (kinestetis), dan sentuhan rasa. Untung saja, "drama" itu tak tampil di sepanjang pekan. Sejumlah kecil peserta tampll cukup menawan. Yang paling melesat misalnya Jawa Tengah, yang menggarap cerita "Ken Arok' dengan berani dan berhasil. Dramatari "Ken Arok" jelas buah garapan seorang "penata tari" dengan dukungan penari-penaro yang terlatih keterampilan dan penghayatannya, dan dengan pemusik-pemusik yang tangguh pula. Bertolak dari tari Jawa gaya Surakarta, anak-anak muda ini bukan hanya memelihara warisan tradisi, tetapi juga mempertanyakan relevansinya dengan kehidupan mereka sekarang. Mereka mewarisi tradisi dengan sikap, bukan hanya pasrah dan mengagumi. Anak-anak itu ternyata adalah penghuni Sasonomulyo (ASKI/PKJT) Surakarta. Jadi hormat saya tertuju kepada Almarhum Gendon Humardhani yang telah membinanya. Setingkat di bawahnya adalah rombongan Yogyakarta. Berbeda sikap dengan anakanak muda Surakarta, mereka memilih mengakrabi dan menikmati warisan tradisi keraton yang adiluhung. Tontonan mereka apik, resik dengan bingkai emas yang kuat. Semuanya manis, tanpa saus pedas. Dari luar Jawa dua peserta tampil menawan. Kalimantan Timur yang mampu menggarap unsur-unsur sederhana tari Dayak dengan lancar dan memikat. Begitu pula Irian Jaya yang dari bahan kasarnya memang memiliki daya tarik visual dan kinestetis. Riau, Jambi, dan Sulawesi Selatan memiliki potensi yang seimbang untuk berkembang di masa depan. Tiga garapan yang saya sebutkan pertama di atas, ternyata, dimotori oleh tenagatenaga terlatih dan terdidik selama beberapa tahun di lingkungan perguruan tinggi kesenian. Jika penari-penari yang tampil memang tidak akan menekuni tari sebagai "profesi", dan jika penata-penata tari juga menggarap karyanya hanya sebagai tugas sampingan, agaknya memang terlampau berlebihan untuk mengharapkan lahirnya penari dan penata tari berbobot dari forum serupa ini. Tak akan pernah hadir misalnya "komunikasikinestetis" atau rambatan rasa pada otot-otot pemirsa karena menyaksikan kegemulaian atau ketegapan gerak penari-penari kelas satu. Penari dan penata tari yang berbobot agaknya memang tak bisa muncul dari forum seperti ini, dan baru dapat lahir dari sebuah disiplin latihan dan pendidikan yang menelan waktu. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Bukankah sudah saatnya disediakan forum tingkat nasional yang memacu ke arah prestasi seni. Jika di bidang olah raga kita memiliki Pekan Olah Raga Nasional yang memacu prestasi, kenapa tidak diadakan yang serupa di bidang kesenian? Di bidang seni tontonan, kita bukan hanya memiliki tokoh-tokoh yang berprestasi nasional, tetapi bahkan yang internasional. Sebut saja misalnya: Bagong Kussudiardjo, Sardono W. Kusumo, Retno Maruti, Farida Feisol, Wayan Dibia, Wayan Diya, dan masih dapat disebutkan sederetan panjang nama seniman yang lain. Jika tidak, "drama" itu tentu akan berlanjut: penampilan di forum nasional tanpa prestasi nasional. Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini