Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sekolah Goceng di Kemang

12 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah gedung berlantai dua itu terletak di kawasan elite Jalan Kemang Timur, Jakarta Selatan. Ke sanalah Titin, 37 tahun, mengantarkan anaknya, Ilham, 5 ta-hun-, bersekolah saban harinya. Tanpa seragam, hanya berpakaian sederhana, Ilham dengan riang berbaur dengan belasan anak lain.

Dibimbing dua guru, para siswa taman kanak-kanak itu asyik menggambar, mewarnai, dan belajar mengeja huruf. "Kelas" mereka adalah ruang tamu di dalam rumah gedung itu.

Sementara itu, Titin tak lantas pulang. Ia masuk ke sebelah ruang tamu. Di situ "kelas"-nya beserta para ibu murid lain. Hari itu mereka duduk berkumpul membuat berbagai kerajinan tangan. Ada hiasan stoples, gantungan kunci, boneka, hingga aksesori kulkas. "Jadi, anak sekolah, kami pun ikut sekolah membuat kerajinan tangan," kata Titin.

Tinggal di sebuah kampung kumuh yang menempel di kawasan mewah Kemang, Jakarta Selatan, tak mudah bagi Titin mencari sekolah murah bagi ketiga anaknya. Maklum, penghasilan suaminya sebagai tukang ojek motor hanya- Rp 700 ribu sebulan.

Buat makan saja jumlah itu sangat pas-pasan. Apalagi untuk menyekolahkan anaknya ke TK di dekat rumahnya. Di sana, Titin setidaknya harus membayar uang pangkal minimal Rp 500 ribu dengan iuran Rp 50 ribu sebulan.

Beruntung, Titin bertemu Elizabeth Fonner, 34 tahun. Penggiat sosial itu menawarkan sekolah murah yang dikelolanya sendiri: TK Pelangi Kramat Buntu. Uang sekolah-nya hanya Rp 5.000 per bulan, tanpa ongkos daftar. Selain itu, Titin juga dilatih membuat kerajinan barang bekas yang bisa menghasilkan uang.

Eli-panggilan Elizabeth-tergerak mendirikan TK Pelangi setelah melihat banyak anak warga kampung se-belah- rumahnya yang tak bersekolah. Soalnya, orang tua mereka cuma bekerja sebagai pengojek motor, satpam, atau sopir angkutan kota, yang koceknya tipis.

Mereka adalah korban penggusuran akibat pembangun-an kompleks perumahan. Suami Eli, yang berkebangsaan Inggris, mendukung idenya dan mengizinkan bagian rumahnya dipakai sebagai tempat belajar.

Mulailah Eli merombak ruang tamunya menjadi kelas. Ia menyediakan fasilitas mulai dari alat tulis hingga buku-buku perpustakaan. Lalu me-rekrut tenaga pengajar dan membuat kurikulum.

Sambil mengurus izin ke pengurus- RT, RW, dan lurah setempat, Eli me-nawarkan sekolahnya dari rumah ke rumah sambil mendata kondisi ekonomi calon siswanya. "Saya pilih yang betul-betul tak sanggup menyekolahkan anaknya di TK biasa," ujarnya.

Pada tahun pertama, cuma 20 anak yang mendaftar. Maklum, banyak yang belum percaya sekolah murahnya- itu bermutu. Menurut Eli, banyak orang tua yang ragu. Bahkan, katanya, ada pengurus RT yang menolak warganya disebut tak mampu.

Tahun berikutnya Eli mendapat 55 anak. Dari jumlah itu, 20 anak digratiskan karena pendapatan orang tuanya di bawah Rp 500 ribu sebulan. Sisanya, tetap diwajibkan membayar. "Supaya mereka punya kesadaran atas pendidikan anak mereka," Eli beralasan.

Kendati TK murah, Eli tak main-main dalam kurikulum. Ia memakai pola TK plus. Para siswa diajari bahasa Inggris, pelajaran etika, dan kemandirian. Contohnya membantu ibu memasak, mandi, cuci, dan membersihkan rumah. Ada pula permainan, berenang, dan berkemah. Semua dilakukan di halaman belakang rumah Eli.

Tentu, menyelenggarakan sekolah seperti ini tidaklah murah. Untuk menutup ongkos operasional sekolahnya, Eli harus merogoh kocek pribadi. Sesekali saja ada donatur. Ia pun mesti putar otak untuk menggalang dana. Akhir pekan lalu, seusai pesta wisuda sekolah, misalnya, ia menggelar pameran lukisan hasil kreasi para murid.

Di sana, dijual pula kerajinan karya para orang tua murid-. Hasilnya lumayan. Setelah dipotong 10 persen untuk- ke-untungan ibu-ibu pembuat kerajinan, selebihnya bisa di-gunakan membeli peralatan sekolah.

Sekolah murah bagi warga tak mampu ada juga di tempat lain. Di terminal Depok, Jawa Barat, misalnya, Yayasan Bina Insan Mandiri bahkan menggelar sekolah gratis bagi anak-anak pengamen, pedagang asongan, sopir, kondektur, hingga pekerja kantoran. Biarpun gratis, lulusannya tetap mengantongi ijazah. "Dari Dinas Pendidikan," kata Nurrohim, pendiri yayasan.

Di kawasan Pejaten Barat, Jakarta Selatan, ada pula Kampung Kids. Sekolah ini menyediakan beasiswa bagi warga tak mampu mulai dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Tersedia pula les bahasa Inggris gratis dengan pengajar para sukarelawan asing dari Inggris, Belanda, dan Australia.

Sekolah-sekolah murah-bahkan gratis-dengan kualitas bagus yang didirikan oleh orang-orang yang berjiwa sosial ini sebuah oasis bagi warga miskin yang tergencet tingginya biaya pendidikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus