Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH tubuh yang tegap tanpa lemak yang seolah terdiri dari serangkaian otot besi berbungkus kulit itu memiliki wajah yang dingin, tanpa basa-basi. Dengan cerutu yang tak pernah lepas dari bibirnya, ia menunggang kuda. Memasuki bar. Memicingkan mata di balik gundukan pasir, mengintip musuh dari kejauhan. Meledakkan dinding penjara. Ia dingin tatkala menggantung orang. Bahkan ketika beradu tembak.
Cerutu itu membuatnya berkesan tenang, dingin, acuh tak acuh. Tak banyak cakap dan seolah tak peduli orang lain, tapi tetap waspada.
Puluhan tahun kemudian, lelaki bernama Clint Eastwood itu—yang masih tegap dan masih tanpa lemak—berdiri di atas panggung, tanpa cerutu Tuscan. Ia bukan lagi the man with no name, sang koboi pemburu hadiah yang selalu berkemul serape, kain hangat Meksiko. Ia bukan lagi ”Dirty Harry”, detektif dekil yang hidupnya awut-awutan. Ia tampil ke panggung, dua pekan silam, dengan tuxedo necis menerima penghargaan bergengsi sebagai Sutradara Terbaik Academy Awards 2005. Filmnya berjudul Million Dollar Baby mengalahkan The Aviator karya Martin Scorsese.
Selama puluhan tahun pertama dalam kariernya, Clint Eastwood tak pernah dikaitkan, sebagai aktor atau sutradara, dengan tema-tema serius dan reflektif sebagaimana Martin Scorsese yang pernah menggarap Last Temptation of Christ. Namanya juga tak pernah disebut-sebut bersinggungan dengan kesenian avant garde sebagaimana banyak sutradara Amerika lain. Tapi ia adalah sekaligus aktor, produser film, dan sutradara yang menempati posisi unik dalam sejarah Hollywood.
Film-filmnya adalah sebuah dunia sendiri: dunia yang mengetengahkan kekerasan. Ia tergolong produser, sutradara, dan aktor yang sangat produktif. Bagi mereka pecandu film yang menyukai film-film ”berat”, banyak film yang dibintangi atau disutradarai Eastwood dianggap picisan. Namun, semua mengakui, Clint Eastwood adalah salah satu legenda Amerika yang hidup. Ia adalah legenda yang sosoknya memiliki tempat yang unik dalam belantika perfilman dunia. Para kritikus mengatakan Eastwood memiliki karisma: the Eastwood touch.
Eastwood menempati kedudukan khusus karena ia adalah wakil awal dari mereka, para aktor yang memerankan pelbagai sosok yang identik dengan sosok seorang jalanan—seorang yang tak dikenal kehidupan pribadinya, tapi sehari-hari hidup dalam kekerasan. Seorang yang maskulin dan hidup dalam kesendirian. Dalam film Pale Rider (1985), yang disutradarai dan dimainkan sendiri oleh Eastwood, tokoh utamanya seorang asing yang bernama Preacher—pendeta. Sang pendeta melakukan balas dendam keluarga pekerja tambang emas, dan tangannya berlumuran darah. Sosok yang kompleks dan tak berlumuran kata-kata ini adalah ciri khas peran-perannya.
Eastwood semakin mempelajari seni watak dan menemukan karakter dirinya sendiri dalam trilogi film: A Fistful of Dollars (1964), For Few Dollars More (1965), The Good, The Bad and The Ugly (1966), yang disutradarai sutradara asal Italia, Sergio Leone.
Leone terkenal sebagai pelopor spaghetti western, sebuah sebutan bagi jenis film koboi kerja sama Amerika-Italia yang dibuat dengan anggaran rendah di Italia. Adalah Leone yang menginjeksikan ”gaya Italia” dalam koboi. Adegan penembakan selalu ditampilkan dengan enteng semenjak awal. Ini berbeda dengan konvensi wild-wild west, yang umumnya menampilkan kekerasan sebagai tujuan akhir atau klimaks, saat tokoh yang baik—entah sang sheriff atau jago tembak yang lazim diperankan oleh John Wayne—mampu memampuskan penjahat. Demikian corak film-film klasik wild-wild west.
Leone merombak pakem itu. Sheriff sering digambarkan korup. Dengan iringan ilustrasi musik instrumen folk Sisilia yang banyak memberi ruang kepada siul, film karya Leone menampilkan sinisme terhadap sesuatu yang hitam-putih. Tokohnya tak lagi hanya pembela kebenaran. Seperti penuturan pengamat film Italia, Peter Bondanella, tokoh-tokoh film Leone tak berurusan dengan perkara moral. ”Ford is an optimist, I am a pessimist,” kata Leone membandingkan dirinya dengan John Ford, sutradara koboi terkenal. Film Leone menampilkan kesan kebobrokan masyarakat tetap tak akan berubah, betapapun kedatangan jago tembak baik hati.
Syahdan, Leone yang kemudian membentuk akting Clint Eastwood. Leone mengadaptasi Yojimbo (The Bodyguard) karya Akira Kurosawa, yang dibintangi aktor tangguh Toshiro Mifune, menjadi A Fistful of Dollars. Ini kisah seorang ronin bernama Sanjuro yang datang ke sebuah kota yang terbelah antara dua gang yang berseteru. Ia tidak memihak, malah bergantian mengabdi hanya mencari uang dan mengadu domba. Leone semula menginginkan Charles Bronson atau James Coburn untuk memerankan Sanjuro versinya. Tapi mereka meminta bayaran terlalu tinggi. Akhirnya, pilihan jatuh pada seorang aktor bernama Clint Eastwood, yang saat itu masih belia dan baru dikenal melalui serial televisi bertema western berjudul Rawhide.
Eastwood, waktu itu 34 tahun, ternyata menghidupkan karakter impian Leone. Eastwood mampu memunculkan sosok anti-hero yang bertindak bukan dengan pertimbangan moral, melainkan uang. Mengenyahkan para cecunguk, tapi tanpa berpretensi mencari kebenaran. Syahdan, John Wayne kemudian mengkritik koboi ala Eastwood ini mengkhianati para perintis film koboi.
Banyak cerita lucu bagaimana Leone, yang tak bisa berbahasa Inggris, saat syuting. Seperti ditulis Michael Carlson, penulis film Financial Times, Leone selalu mengucapkan ”Watch me, Clint,” lalu ia bergerak, dan ini kemudian ditiru Eastwood. Nyatanya, ”bahasa tarzan” itu mampu memunculkan karakter Eastwood: Karakter dingin, pendiam, tanpa banyak cakap, kadang kelihatan lesu, tapi toh tetap melahirkan kesan bahaya sekaligus magnetis. Pengembara kesepian—dengan cerutu Tuscan-nya itu—yang tak bernama, tapi ada di mana-mana.
Film Eastwood sejak awal hingga pelbagai fase penyutradaraan di tahun 1990-an hingga kini hampir tak pernah melibatkan dirinya sebagai sosok yang emosional, meledak-ledak menumpahkan seluruh emosi—sembari tangan terentang seperti akting Dustin Hofman dalam Kramer vs Kramer, atau akting Al Pacino dalam Dog Day Afternoon, atau Robert de Niro dalam Cape Fear. Seorang kritikus Hollywood mengatakan, wajah dan sorot mata Eastwood adalah salah satu yang paling ekspresif di dunia film. Kamera Leone hampir selalu diarahkan ke arah mata Eastwood.
Dalam film For Few Dollars More, Eastwood bukan tampil sebagai peran utama, melainkan Lee Van Cleef yang berperan sebagai Kolonel Mortimer dan Gian Maria Volonte sebagai El Indio. Eastwood tidak tampil di tiap adegan, tapi justru karakternya mendominasi film.
Pada tahun 1968, Eastwood mulai bekerja sama dengan sutradara Don Siegel. Siegel adalah seorang sutradara yang fokus film-filmnya berkisar tentang individu kesepian yang tak mau berkompromi dengan masyarakat. Dan Eastwood paling cocok untuk itu. Citra anti-hero Eastwood makin diperkuat setelah memerankan film-film thriller karya Don Siegel.
Film pertama mereka adalah Coogan Bluff (1968). Ceritanya tentang seorang sheriff bernama Coogan yang kemudian menjadi polisi dan lantas menyadari kebrengsekan hamba-hamba hukum sendiri. Dari koboi liar, Eastwood kemudian menjadi a modern cowboy cop, seorang polisi yang dalam institusi kepolisian sendiri merasa menjadi outsider. Salah satu film besutan Don Siegel yang kemudian menjadi klasik adalah Dirty Harry (1971), yang kemudian berdiri sebagai salah satu film yang penting dalam sejarah film Hollywood. Film yang mengisahkan sepak terjang detektif bernama Harry Callahan itu kemudian melahirkan kalimat ”Make my day” dengan suara dingin dan parau Eastwood yang tak terlupakan.
Dalam sebuah wawancara dengan Richard Schickel, kritikus film majalah Time, seminggu sebelum pengumuman Academy Awards tahun ini, Eastwood mengatakan: ”Jika Anda sekilas melihat Dirty Harry, memang dia tampak sebagai polisi bajingan. Dia memang bangsat. Tapi bangsat yang kehilangan istrinya. Dia sesungguhnya dirundung sedih, dan makin sedih karena birokrasi kepolisian yang membiarkan pembunuh sadistis dan psikopat berkeliaran. Jika Anda menempatkan Harry sebagai seorang yang berpembawaan riang, mengentengkan segala sesuatu, dan tak mau tahu dengan keadaan sekeliling, Anda tak akan memiliki kaitan emosional dengan film ini.”
Adegan terkenal adalah ketika Harry membuang lencananya—sebagai tanda kemuakannya atas sistem hukum. Ia menjadi ex cop, seorang pembelot atau renegade. Seorang American loner. Ia melawan atasannya sendiri yang menjadi bagian dari sindikat, dalam Magnum Force (1973). Harry kemudian tumbuh menjadi seorang yang berpegang pada etika situasional, bukan etika universal. Bahwa pembunuhan boleh dilakukan—bila situasi menuntut demikian. Tak ayal ini juga mengundang kritik. Ada yang kemudian menuduh bahwa film Dirty Harry adalah sebuah film fasis.
DARI Siegel, Eastwood mulai belajar tentang penyutradaraan. Tahun 1971 Eastwood menyutradarai sendiri Play Misty for Me, kisah seorang gadis yang membunuh seorang sersan polisi. Dengan bendera perusahaan Malpaso yang dipimpinnya, sejak saat itulah Eastwood bekerja sama dengan Warner Brothers atau Universal memproduksi film-film baik yang dibintangi maupun yang disutradarai Eastwood.
Tahun 1973, Eastwood menyutradarai dan menjadi pemeran utama Outlaw Josey Wales, sebuah film tentang Wales yang istri dan anaknya dibunuh serombongan kavaleri tentara, lalu Wales berkelana, mencari anggota kavaleri itu satu per satu. Film ini sukses secara bisnis. Para kritikus menganggap inilah penyutradaraan pertama Eastwood yang berhasil. Bertolak dari keuntungan ini, ia membikin sekuel Dirty Harry. Tahun 1976, muncul sekuel Dirty Harry: The Enforcer. Saat itu Eastwood terlihat tertarik pada gagasan-gagasan women liberation. Banyak korban kriminal dalam filmnya adalah mereka yang mengalami pelecehan seksualitas dan diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Selama ini Eastwood memerankan tokoh-tokoh yang jauh dari wanita. Tokoh yang sendiri, atau ditinggal lari, ataupun bercerai. Atau, kalaupun filmnya melibatkan seorang istri, pastilah dia segera tewas seperti dalam film Outlaw Josey Wales. Tak jarang wanita dalam filmnya hanya hadir dalam kenangan. ”Mengapa kamu menyelamatkan aku?” kata Marisol, seorang wanita yang direnggut dari suami dan anaknya dan dipaksa menjadi gundik bajingan bernama Ramon, dalam A Fistful of Dollar. ”Aku ingat seorang wanita seperti kamu,” kata sang koboi.
Pada fase itulah muncul nama aktris Sandra Locke, yang kemudian menjadi istri Clint Eastwood dalam kehidupan nyata. Sandra Locke muncul pertama kali dalam The Gauntlet (1977). Peran Sandra Locke adalah korban yang dicampakkan. Ia kemudian tampil seterusnya dalam film-film Eastwood.
Tahun-tahun itu agaknya masa ombang-ambing Eastwood. Ia meninggalkan dunia film, masuk politik, dan menjadi Wali Kota Carmel, California, pada tahun 1986. Muncul spekulasi bahwa ia akan mundur dari dunia film dan mengabdikan diri sepenuhnya pada politik mengikuti jejak Ronald Reagan. Ternyata itu hanya bertahan dua tahun. Meski hanya sekejap, nama Carmel sempat menjadi besar di peta dunia hanya karena memiliki wali kota seorang aktor, meski Carmel lebih mirip sebuah desa yang asri, permai, rapi, dan terkenal dengan sebuah pojok yogurt yang sering dikerumuni mahasiswa Indonesia yang tengah studi di California.
Hanya dua tahun kemudian, pada tahun 1988, Eastwood sudah gatal untuk kembali ke dunianya. Ia kembali menyutradarai film Bird. Lalu berturut-turut ia melahirkan Pink Cadillac (1989), White Hunter, Black Heart (1990), dan The Rookie (1990). Film White Hunter, Black Heart adalah karyanya yang perlu mendapat catatan penting karena ini adalah karya serius Eastwood—non-koboi—yang nantinya mewarnai berbagai film serius Eastwood berikutnya hingga ia akhirnya meraih Academy Awards. Film ini diangkat dari kisah nyata tentang sepak terjang sutradara John Houston (ayah Angelica Houston) saat pembuatan film The African Queen. Dalam film inilah Eastwood bukan hanya memperhatikan satu sosok penting yang mendominasi seluruh film—seperti film-film koboinya—melainkan juga sebuah ansambel aktor yang saling tergantung satu sama lain. Di sini pula Eastwood mulai terlihat bakatnya sebagai seorang sineas yang sangat efektif dalam melahirkan adegan. Tak ada adegan usus buntu, tak ada ”padding” (adegan yang berkepanjangan untuk mengisi waktu), dan ia anti terhadap air mata meski sangat mampu melahirkan keharuan.
Film The Unforgiven (1992), yang berhasil meraih penghargaan Academy Awards sebagai film terbaik itu, dipersembahkan untuk dua gurunya: Sergio Leone dan Don Siegel. Pada titik inilah pengamat melihat ia mampu melepaskan diri dari gaya Leone dan Siegel, sembari menyerap inti dasarnya. Sebuah film koboi yang lain. Sebuah film koboi yang manusiawi. Sebuah film yang juga menunjukkan kulminasi perhatian Eastwood pada hak-hak wanita.
Film ini bercerita tentang seorang peternak babi bernama William Munny yang miskin. Istrinya meninggal, dan dia meninggalkan dua orang anak. Fisik Munny telah rapuh. Bahkan, ketika memisahkan babi-babi yang demam agar tak berbaur, ia selalu terpeleset. Tapi, di masa lalunya, ia seorang bajingan bengis. Suatu hari, ia mendengar ada pelacur dianiaya di Kota Big Whiskey. Putingnya disayat, wajahnya dirusak, dan para pelacur lain bersolidaritas menjanjikan hadiah bagi siapa pun yang dapat membunuh pelakunya. Dia usia senja itu, Munny turun gunung. Ia mencari pasangannya di kala muda, Ned Logan, yang diperankan Morgan Freeman (yang kelak juga aktor yang mendampingi Eastwood dalam Million Dollar Baby).
Film The Unforgiven memantapkan Eastwood sebagai seorang sutradara besar koboi. Ia membuat perubahan pada film koboi. Tapi tak terbayang bahwa Eastwood bakal menyutradarai sebuah film cinta yang menyentuh. Pada 1995, ia menyutradarai dan menjadi pemeran utama The Bridges of Madison County dengan lawan main Meryl Streep. Sebuah film yang bisa dianggap anomali bagi pencinta Eastwood lantaran sama sekali tak ada darah, tak ada senjata, dan ia ”jatuh” menjadi seorang pria tua yang tampak begitu ”cengeng” meraih cinta yang tak mungkin.
Eastwood memerankan Robert Kincaid, seorang fotografer National Geographic yang tengah merekam jembatan Madison County. Selama empat hari pemotretan itu, ia bertemu dengan Fransesca Johnson (Meryl Streep), seorang ibu rumah tangga dari keluarga harmonis. Pertemuan yang sedemikian singkat itu melahirkan benih cinta. Fransesca bertahan pada keluarga. Ini salah satu film terbaik Eastwood. Eastwood dan Meryl Streep mampu memunculkan gerak-gerak kecil, emosi-emosi terpendam. Ketika meninggal, dalam surat wasiatnya Fransesca meminta agar ia dikremasi dan abunya ditaburkan di jembatan itu. Ilustrasi sayup-sayup mengalunkan lagu romantis seperti What A Wonderful World. Sulit melihat Dirty Harry itu menjadi pria romantis dengan air mata mengembang di pelupuk mata. Tapi Eastwood merasa dia harus melalui fase itu.
Tahun 2000, Eastwood menyutradarai film Space Cowboy, kisah para astronaut, dan juga film kriminal Blood Work. Kedua film ini tak berkobar, tapi kritikus menganggap film Eastwood yang tak meledak lazimnya menjadi appetizer menuju karya-karyanya yang bermutu.
Dia juga sempat tampil dalam dua film thriller yang sukses secara komersial, yakni In the Line of Fire, tempat ia berperan sebagai anggota pasukan pengawal presiden (dia bermain bersama Renee Russo), dan Absolute Power, tempat Eastwood tampil sebagai seorang pencuri tingkat tinggi yang—dalam operasi pencuriannya—secara tak sengaja menjadi saksi skandal Presiden AS. Kedua film thriller ini, terutama Absolute Power, adalah film Eastwood yang menghibur dan masuk dalam kategori thriller yang tengah digemari penonton saat itu.
Tahun 2003, Eastwood melahirkan film Mystic River (2003), yang bercerita tentang sisi kelam keluarga dan persahabatan. Tiga bocah lelaki Jim, Dave, dan Sean mengalami sebuah peristiwa gelap. Di saat dewasa, anak gadis Jim (Sean Penn), yang tumbuh sebagai jagoan kampung dan pemilik warung, tewas terbunuh, dan tersangka utama terfokus pada Dave (Tim Robbin), yang mempunyai gangguan jiwa akibat pelecehan seksual di masa kecilnya. Sean (Kevin Bacon), yang sudah berprofesi sebagai polisi, berusaha mencegah Jim agar tidak melakukan pembalasan dendam di luar hukum. Film ini berhasil karena Eastwood menguasai elemen-elemen yang diakrabinya. Di tangannya, Sean Penn makin optimal dan berhasil meraih gelar Aktor Terbaik Academy Awards tahun 2003. Film ini sendiri berhasil masuk sebagai nomine Film Terbaik Academy Awards, tapi digilas oleh film megah Lord of the Rings.
Selain bertindak sebagai sutradara dan produser, Clint Eastwood juga lahir sebagai penata musik yang apik. Di masa mudanya, pahlawan Eastwood adalah pelopor bebop Charlie Parker. Bakat musiknya itu sebetulnya sudah jauh terlihat saat ia melahirkan film tentang seorang penyanyi pemabuk Hongky Tonk Man (1982). Pada tahun 2002, Clint bahkan menyutradarai klip video album penyanyi Diana Krall, Why Should I Care?.
Puncak kedua dalam karier Clint Eastwood adalah bulan ini dan tahun ini. Di usianya yang menjelang 75 tahun, ia menerima Academy Awards untuk film terbaik atas karyanya yang menyentuh, Million Dollar Baby, yang bertolak dari dunia tinju. Dua puluh tahun silam, Eastwood juga pernah melahirkan film yang sosok utamanya adalah bekas petinju, berjudul Any Which Way You Can. Kini ia menjelma menjadi Frankie Dunn, seorang pelatih tinju yang ditinggalkan anak asuhnya. Ia kemudian menemukan Maggie Fitzgerald (Hilary Swank), seorang wanita dari kawasan selatan Amerika berusia 31 tahun, yang berkeras ingin belajar tinju.
Sesungguhnya amat jarang Eastwood bermain satu film dengan aktris berkelas. Tercatat ia menggunakan Shirley McLaine dalam Two Mules for Sister Sara (1970), Meryl Streep dalam The Bridges of Madison County, dan kini aktris Hillary Swank, lawan main Eastwood yang meraih gelar aktris terbaik. Arahan dan kehadiran Eastwood inilah yang kemudian mampu memberi stimulus permainan terbaik Hillary Swank dan Morgan Freeman, dua pemainnya yang sama-sama mendapatkan Academy Awards.
Di akhir film Million Dollar Baby, Maggie Fitzgerald sekarat terbaring terkena perdarahan otak akibat pukulan curang lawannya. Atas permintaan Maggie, yang sudah tak mampu bergerak, Frankie mengecup Maggie, lalu mencabut slang infus dan slang oksigennya. Sebuah kematian halus, bukan dengan tembakan magnum 44, bukan dengan kekerasan, melainkan dengan kecupan pasrah yang kemudian menjadi kontroversial.
Tapi, pada saat itulah Eastwood telah mencapai puncaknya.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo