Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seolah tak percaya, Masykur Abdul Kadir menerima berita gembira itu dengan mata terbelalak. Segera ia sujud syukur mencium lantai penjara yang dingin. Kedatangan Munik istrinya, empat anak, dan ibu mertuanya di Penjara Kerobokan, Denpasar, Bali, Jumat dua pekan lalu, benar-benar sebuah berkah. Dari mereka Masykur memastikan berita yang sebelumnya ia tahu dari televisi itu: Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonannya agar UU No. 16/2003 yang memberlakukan undang-undang antiterorisme dalam kasus bom Bali dibatalkan. ?Keluarga sangat bersyukur karena mereka tak percaya Masykur terlibat bom Bali,? kata Mirzen, salah satu anggota Tim Pengacara Muslim, pengacara Masykur.
Apa yang dialami Masykur memang sebuah mimpi buruk. Ketika itu pada September 2002 ia berkenalan dengan seorang lelaki yang mengaku bernama Sutomo. Perkenalan itu terjadi di rumah makan Nyonya Desi, tak jauh dari rumah Masykur di Denpasar, Bali. Dalam perbincangan sembari makan itu, Sutomo mengaku mencari rumah kontrakan. Masykur lalu menunjuk rumah Ni Luh Suandari, yang membuka kos di rumahnya.
Setelah perkenalan itu, beberapa pertemuan pun terjadi. Sutomo lalu meminta bantuan Masykur mencarikan kendaraan sewaan. Dua tiga kali ia mencarikan mobil rental untuk Sutomo. Masykur merasa lumrah karena di daerah wisata seperti Bali sangat lazim seorang pelancong mencari mobil sewaan. ?Sebagai sesama manusia, membantu orang adalah wajar,? kata Qadhar Faisal, salah satu pengacara Masykur.
Perkenalan Masykur dengan Sutomo itu ternyata berbuntut fatal. Pada 21 November 2002?sebulan setelah insiden bom Kuta?di Banten polisi menangkap Sutomo yang tak lain adalah Imam Samudra, tokoh utama insiden bom Bali. Tak lama setelah itu Masykur tambah syok: polisi juga menangkap dirinya dengan tuduhan membantu Imam Samudra melakukan kegiatan sebelum pengeboman. Belakangan ia malah diganjar hukuman 15 tahun di pengadilan tingkat pertama dan kedua.
Keputusan Mahkamah Konstitusi memberi harapan baru buat Masykur. Mahkamah memutuskan menerima permohonan uji material atas UU No. 16/2003 terhadap UUD 1945. ?Mahkamah menyatakan undang-undang itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, mencabut undang-undang itu, dan menyatakan tidak berlaku,? kata Jimly Asshiddiqie, Ketua MK.
Undang-Undang No. 16/2003 adalah hasil penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2/2002. Perpu ini dikeluarkan pemerintah bersama-sama Perpu No. 1/2002, yang mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme. Ketika itu, tak lama setelah bom Bali meledak, pemerintah kebingungan karena tak punya landasan hukum untuk menjerat pelaku insiden yang menewaskan sekitar 200 orang itu. Lalu Perpu untuk bom Bali dikeluarkan dinyatakan berlaku surut. Belakangan, Perpu No. 1/2002 disahkan menjadi UU No. 15/2003 dan Perpu 2/2002 dijadikan UU No. 16/2003 (lihat infografik).
Banyak yang menduga dikabulkannya permohonan judicial review itu berarti dicabutnya semua undang-undang antiteror. ?Yang dibatalkan hanya peraturan yang memakai asas retroaktif atau pemberlakuan surut bagi pengusutan kasus bom Bali,? kata Dirjen Hukum dan Perundang-undangan, Abdul Gani, kepada Maria Ulfah dari Tempo News Room.
Cerita di balik pembatalan itu berawal dari keberatan Masykur dituding membantu teroris. Karena itu, ia mempraperadilankan Kepala Polda Bali. Gugatan diajukan pada 20 Desember 2002 melalui kuasa hukumnya, Tim Pengacara Muslim. Tapi sidang yang ditangani hakim tunggal Cokorda Rai Suambha itu diwarnai demo massa. Dua hari berturut-turut, ratusan orang dari Forum Peduli Denpasar memenuhi ruang sidang, mencaci maki dan menyerang pengacara Masykur. Menurut mereka, pelaku pengeboman dan pembelanya adalah musuh orang Bali. Gugatan pun ditolak.
Ketika persidangan bom Bali dimulai, para pengacara terdakwa pun gencar mempersoalkan pemberlakuan undang-undang antiteroris yang berlaku surut. Mereka juga mempersoalkan tidak adanya bukti cukup untuk menghukum Masykur. Namun para majelis hakim dalam kasus bom Bali menilai pemberlakuan undang-undang itu secara surut tidak bermasalah.
Menurut A. Wirawan Adnan, salah satu pengacara, hubungan Masykur dengan Imam Samudra seharusnya hanya menjadikan Masykur sebagai saksi. Apalagi ia hanya tak sengaja berkenalan dengan orang yang mengaku bernama Sutomo. Masykur, kata Wirawan, setara dengan Silvester Tendean, pemilik Toko Tidar Kimia, Surabaya, yang menjual bahan-bahan kimia kepada Amrozi. Di pengadilan Tendean tak dijerat dengan UU Antiteroris, namun hanya dikenai UU Darurat serta KUHP sehingga hanya dihukum tujuh bulan penjara.
Melihat berbagai kejanggalan itu, para pengacara Masykur mencoba mencari jalan lain. Setelah Pengadilan Tinggi Bali menguatkan putusan pengadilan negeri, mereka mengajukan kasasi. Sambil kasasi, Masykur memohon judicial review terhadap UU No. 16/2003. Menurut para pengacaranya, undang-undang itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 I ayat 1, yang berbunyi, ?... hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.?
Permohonan pengujian undang-undang diajukan Tim Pengacara Muslim (TPM) ke Mahkamah Agung pada 1 Juli 2003. Sebelum ada Mahkamah Konstitusi, MA adalah lembaga yang berwenang memeriksa dan mengadili permohonan uji material. ?Oleh MA kami dikenai biaya Rp 2 juta,? kata Adnan.
Sebenarnya, menurut Adnan, mereka bisa saja memakai perkara Amrozi ataupun Imam Samudra untuk meminta uji material. Karena keduanya juga dijerat hanya dengan UU Nomor 16/2003 itu. Namun para pengacara itu tak ingin dicap membabi buta dalam membela para terdakwa. ?Kami mengajukan judicial review ini untuk menegakkan konstitusi, bukan sekadar membebaskan klien,? ujarnya.
Sementara permohonan judicial review belum diperiksa MA, Mahkamah Konstitusi lahirlah. Kasus Masykur dialihkan ke lembaga yang baru. Uang administrasi Rp 2 juta juga dikembalikan.
Sidang-sidang selanjutnya berlangsung efektif. Dalam sidang kedua, 10 Desember 2003, Mahkamah mengundang pemerintah, diwakili Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dan DPR, yang dihadiri para pimpinan Komisi Hukum.
Yusril menerangkan alasan pemerintah. Kata dia, kasus bom Bali harus diberlakukan asas retroaktif karena termasuk kejahatan luar biasa. Pemerintah juga berpendapat alasan pemohon yang mendasarkan pada UUD 45 pasal 28 I tidak lengkap. Pasal itu harus berlaku bersama pasal 28 J ayat 2 yang berbunyi, ?Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang....?
Sidang berikutnya menghadirkan saksi ahli, yakni guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia Harun Alrasid, anggota Komisi Hukum DPR Mutammimul Ula, dan dosen ilmu hukum UI Maria Farida. Keterangan para saksi memperkuat alasan pemohon. ?Retroaktif bertentangan dengan asas legalitas hukum,? kata Harun.
Mutammimul Ula malah membeberkan keanehan proses perubahan Perpu 2/2002 menjadi UU 16/2003. Menurut dia, proses pembentukan undang-undang ini tidak melewati prosedur pembahasan sesuai dengan aturan persidangan parlemen. ?DPR mengabaikan prosedur dengan tidak membahas Perpu ini dahulu,? ujarnya. Selain dirinya, beberapa anggota DPR seperti almarhum Hartono Mardjono dan Patrialis Akbar telah memprotes, tapi palu pengesahan buru-buru diketukkan.
Akhirnya, dalam lima kali sidang, MK memenangkan permohonan judicial review Masykur. Mahkamah menilai kewenangan pemberlakuan suatu undang-undang berlaku surut berada pada pengadilan, bukan pada pembuat undang-undang. Meskipun demikian, dari sembilan hakim konstitusi, empat hakim, yakni Maruarar Siahaan, H.A.S. Natabaya, Harjono, dan I Gede Dewa Palguna, mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).
Tapi, tak pelak lagi, putusan MK ini akhirnya mengundang kontroversi. Sebab, pencabutan undang-undang ini berdampak luas, terutama bagi para terhukum dan tersangka kasus peledakan bom di Bali pada 12 Oktober 2002. Jika dikaitkan dengan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), putusan ini bisa dikategorikan sebagai sebuah keadaan baru yang dapat melandasi diajukannya peninjauan kembali (PK). Namun Ketua MA Bagir Manan memastikan perubahan undang-undang tidak bisa dijadikan dasar peninjauan kembali.
Saat ini dari 33 tersangka bom Bali yang sudah disidangkan, 28 kasus sudah berkekuatan hukum tetap. Lima kasus dalam proses kasasi dengan terpidana Ali Gufron, Najib Nawawi, Suranto, Sarjio, dan Roichan. Dari 28 kasus, permohonan kasasi Imam Samudra dan Amrozi sudah ditolak. Sedangkan yang lain sudah menyerah di tingkat banding dan pengadilan negeri. Termasuk yang langsung menerima di tingkat PN adalah Ali Imron dan Hutomo Pamungkas alias Mubarok, yang langsung mengajukan grasi.
Para pelaku bom Bali yang vonisnya belum memiliki kekuatan hukum tetap di tingkat MA pun bisa lolos. Hal ini akan terjadi jika mereka hanya dijerat dengan UU No. 16/2003 yang telah dinyatakan tidak berlaku itu. Mereka juga tak bisa disidangkan lagi karena akan melanggar asas ne bis in idem (seseorang dengan perkara yang sama tidak boleh diadili dua kali). ?Mereka semua harus bebas demi hukum,? kata pengacara Masykur, M. Luthfie Hakiem. Upaya polisi mengaitkan Amir Majelis Mujahidin Ustad Abu Bakar Ba?asyir dengan bom Bali pun dipastikan akan gagal.
Karena itu, reaksi mulai bermunculan. Begitu putusan diketukkan, Menteri Yusril angkat bicara. Menurut dia, keputusan ini akan menyulitkan pemerintah dalam menjerat pelaku bom Bali. ?KUHP tidak bisa menjerat para pelaku yang memberikan fasilitas atau melindungi aktor lapangan bom Bali,? ujarnya. ?KUHP hanya bisa menjerat aktornya, tapi tidak jaringannya?.
Tapi, menurut Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, diterimanya permohonan judicial review terhadap UU Nomor 16/2003 ini tidak akan menghentikan langkah penegakan hukum dalam kasus terorisme, terutama terkait dengan kasus bom Bali. ?Andai kata (si pelaku) lepas dari (jerat) bom Bali karena alasan berlaku surut, dia tidak lepas dari perbuatan lain, yang kita anggap sebagai terorisme, jika (perbuatan) itu dilakukan setelah Undang-Undang No. 15/2003,? ujarnya kepada Danto dari Tempo News Room.
Kepala Polda Bali, Irjen I Made Mangku Pastika, mengatakan putusan itu telah mengabaikan aspek sosiologis masyarakat. ??Teroris sudah membuat Bali hancur. Secara sosiologis masyarakat Bali paling merasakan,? ujarnya. Setelah putusan itu, beberapa tokoh Bali berkumpul di DPRD membuat petisi kepada MA, DPR, dan Presiden untuk mencopot lima hakim MK yang mendukung pencabutan UU No. 16/2003. Mahkamah Konstitusi dinilai telah menjadi lembaga superbody dan telah memberikan kado yang sangat manis bagi para teroris.
Romli, yang juga bekas ketua tim perumus UU No. 16/2003, menyesalkan putusan ini pula. Menurut dia, ada tujuh kelemahan putusan itu. Salah satunya, Mahkamah tidak melihat kasus terorisme sebagai kejahatan luar biasa. Ia pun menyesalkan mengapa para anggota tim perumus seperti pengacara senior Adnan Buyung Nasution, guru besar ilmu hukum Universitas Diponegoro Prof. Dr. Muladi dan dirinya tak dimintai kesaksiannya. ?Padahal implikasinya banyak,? ujarnya.
Tapi Jimly membantah tudingan bahwa lembaganya memutus perkara sembarangan. Menurut dia, pada Februari-Juli 2004 para anggota Mahkamah terus mengkaji masalah ini dengan cermat. Menurut Jimly, pemberlakuan surut suatu undang-undang akan membuka peluang bagi rezim penguasa untuk membalas dendam pada lawan politiknya.
Karena itu, di negara yang penegakan hukumnya maju seperti Amerika Serikat, asas retroaktif juga tak diberlakukan. Kekecualian memang pernah terjadi, yakni dalam kasus pengadilan pemimpin Nazi di Nuremberg. Tapi, setelah itu, asas pemberlakuan surut ini tidak dipakai lagi. ?Inilah perbedaan cara berpikir politisi dengan hakim,? kata guru besar hukum tata negara UI itu (lihat wawancara Jimly: ?Politisi Mau Mudahnya Saja?).
Itulah sebabnya M. Luthfie menilai semua kekisruhan ini berawal dari kesembronoan pemerintah dan DPR yang terlalu buru-buru mengundangkan Perpu No. 2/2002 untuk menjerat para pelaku bom Bali. ?Ini kecerobohan politik yang nyata,? kata Luthfie.
Tapi nasi telah menjadi bubur.
Hanibal W.Y. Wijayanta, Sukma N. Loppies, Jalil Hakim, dan Rofiqi Hasan (Denpasar)
Perjalanan Undang-Undang Antiteror
Bom Bali
12 Oktober 2002, bom meluluh-lantakkan Sari Club, Paddy?s Cafe, dan beberapa bangunan di Jalan Raya Legian, Kuta, Bali. Sedikitnya 202 orang tewas.
Perpu Antiterorisme
- Pada 18 Oktober 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Terorisme, dan Perpu No. 2 tentang Pelaksanaan Perpu No.1 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom Bali.
- Pada 6 Maret 2003, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Perpu No. 1 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003, dan Perpu No. 2 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang No. 16 Tahun 2003.
Penangkapan
Pelaku bom Bali mulai tertangkap:
- Amrozi bin Nurhasyim, 5 November 2002.
- Abdulul Aziz alias Imam Samudra, 21 November.
- Muchlas alias Ali Gufron, 3 Desember.
- Ali Imron, 14 Januari.
Awalnya polisi menetapkan 29 tersangka, kemudian berkembang menjadi lebih banyak. Sebagian didakwa dengan sederet pasal Undang-Undang No.15 dan 16 serta Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Perencanaan dan Pelaksanaan Aksi Terorisme.
Pembatalan Undang-Undang No. 16 Tahun 2003
Pada 23 Juli 2004, Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2003. Masykur Abdul Kadir, salah satu pelaku yang sudah divonis 15 tahun penjara, mengajukan uji material Undang-Undang No. 16/2003. Lima dari sembilan anggota majelis hakim konstitusi menerima dengan pertimbangan pemberlakuan asas retroaktif atau berlaku surut tidak sesuai dengan peristiwa bom Bali, yang belum termasuk kategori kejahatan yang luar biasa.
Pilihan Para Hakim
Menerima
- Jimly Asshiddiqie
- Leica Marzuki
- Muktie Fajar
- Ahmad Rustandi
- Sudarsono
Menolak
- I Dewa Gede Palguna
- Maruarar Siahaan
- H.A.S. Natabaya
- Harjono
Tersangka Baru
Pada 30 Juni 2004, lima tersangka baru ditangkap di Solo, Jawa Tengah. Komarussin alias Fursan alias Mustakim, Sabturani alias Ruslan, Rahmat Puji Prabowo alias Yunus alias Pujo, dan Usman bin Sef alias Fahim masih dalam penyidikan mengenai keterlibatan mereka. Sedangkan Sunarto bin Kartodiharjo alias Adung diduga terlibat dalam upaya menyembunyikan Dr. Azhari dan Noordin M. Top, yang hingga kini masih buron.
Tugas Mahkamah Konstitusi
- Mahkamah Konstitusi bertugas menguji apakah sebuah undang-undang bertentangan dengan konstitusi (Undang-Undang Dasar). Termasuk dalam kewenangan mahkamah ini adalah mengadili sengketa keputusan antar-lembaga negara, menangani gugatan terhadap hasil pemilu, membubarkan partai politik. Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran konstitusi oleh presiden dan/atau wakil presiden.
- Mahkamah Konstitusi adalah lembaga baru dalam ketatanegaraan kita. Ia baru dibentuk tahun 2003 setelah Amendemen Ketiga UUD 1945.
MEREKA YANG TERLIBAT
PELAKU UTAMA | TUNTUTAN | VONIS |
Imam Samudra alias Abdul Aziz | Mati | Mati** |
Amrozi bin Nurhasyim | Mati | Mati** |
Ali Imron alias Ale | 20 tahun | Seumur hidup* |
Muchlas alias Ali Gufron | Mati | Mati* |
Mubarok alias Hutomo Pamungkas | Seumur hidup | Seumur hidup* |
Suranto Abdul Ghoni alias Umar alias Wayan | Seumur hidup | Seumur hidup |
Sawad alias Sarijo alias Zaenal Abidin | Seumur hidup | Seumur hidup |
Pelaku Pembantu | ||
Masykur Abdul Kadir | 15 tahun | 15 tahun |
Silvester Tendean (pemilik toko bahan kimia | 9 bulan | 7 bulan |
Thoriquddin alias Abu Rusydan alias Hamzah | 9 tahun | 3 tahun 6 bulan |
Idris alias Jhoni Hendrawan | 10 tahun | Belum divonis |
Sudigdoyo alias Sudiq alias Dwi bin Muryoyo | 10 tahun | 6 tahun |
Kelompok Serang | ||
Abdul Rauf alias Sam | 18 tahun | 16 tahun |
Andri Ocktavia alias Yudi | 18 tahun | 16 tahun |
Andi Hidayat alias Agus | 18 tahun | 15 tahun |
Junaidi alias Amin alias Engkong | 18 tahun | 15 tahun |
Kelompok Solo | ||
Hernianto | 20 tahun | 12 tahun |
Herlambang alias Lambang | 10 tahun | 6 tahun |
Muh. Musyafak alias Abdul Hamid | 10 tahun | 7 tahun |
Muhamad Nadjib Nawawi alias Nadjib | 10 tahun | 7 tahun |
Ahmad Budi Wibowo | 7 tahun | 4 tahun |
Makmuri alias Muri | 10 tahun | 7 tahun |
Bambang Setiono alias Saiful | 9 tahun | 7 tahun |
Kelompok Kalimantan Timur | ||
Mujarod alias Muhammad Rusdi bin Salim | 7 tahun | 5 tahun*** |
Muhammad Yunus bin Samijah bin Karim | 10 tahun | 7 tahun |
Syamsul Arifin alias Ilham bin Abdul Mutholib | 3 tahun | 3 tahun |
Eko Hadi Prasetyo bin Sukastopo alias Amin | 6 tahun | 4 tahun 6 bulan*** |
Sofyan Hadi alias Bejo alias Bae bin Niti | 7 tahun | 6 tahun |
Puryanto bin Yatimin alias Hartono alias Pak De | 7 tahun | 4 tahun 6 bulan*** |
Sirojul Munir bin Achmad Asmuni | 6 tahun | 5 tahun |
Imam Santoso alias Eko Suparman | 7 tahun | 4 tahun 8 bulan*** |
Firmansyah bin Edi Harun | 7 tahun | 4 tahun*** |
Hamzah Baya alias Soleh bin Bakir | 8.5 tahun | 6 tahun*** |
Sukastopo bin Kartomiharjo | 3 tahun | 3 tahun*** |
Muhajir bin Amin | 7 tahun | 4 tahun |
Ahmad Roihan alias Sa?ad alias Mat Kuncang | Status hukum belum jelas | |
Rudi Hermawan alias Ali | Status hukum belum jelas | |
Muhamad Fadli | Status hukum belum jelas | |
* Dalam proses kasasi MA ** Kasasi ditolak *** Mengajukan grasi kepada Presiden Megawati |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo