Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABUT pekat belerang membekap sekujur tubuh Fitri Setyaningsih. Uap belerang membentuk gelembung-gelembung pada wajah Fitri. Gemuruh suara terdengar kencang di tebing-tebing curam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fitri berdiri membisu dalam balutan gaun berwarna merah yang menjuntai hingga menyentuh bebatuan. Dia mengikat rambut panjang keriting keperakannya dan memulas merah ujung dua bola matanya sehingga terlihat menyeramkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tubuhnya bergerak ke gigir tebing. Kadang tangannya menyentuh bebatuan berlumut. Tangannya yang bertato menggenggam kapak dengan erat, kuat, dan kukuh. Tepat di depan hidungnya, dia memutarkan mata kapak searah jarum jam.
Dari ketinggian tebing, alumnus Fakultas Tari Sekolah Tinggi Seni Indonesia—kini Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Jawa Tengah—ini mengayunkan kapak, membuat gerakan-gerakan menghantamkan kapak pada bebatuan. Gemericik air keluar dari pancuran menemani Fitri yang berdiri memaku dengan tatapan mata yang tajam. Di tengah sungai dia berendam, hanya menyisakan kepalanya di permukaan air.
Pada hari pertama Borobudur Writers and Cultural Festival, film tari karya Fitri berjudul Arus Bawah dalam Gelombang Merah itu membuka Durga Dance Film Festival, 24-27 November 2022. Koreografi Fitri sederhana. Dia tak banyak menggerakkan tubuhnya. Fitri juga tidak cerewet dengan teks-teks dalam karya itu.
Dia bertumpu pada belerang, bebatuan, air, lumut, dan bunyi kawah di sekitar Candi Gedong Songo di lereng Gunung Ungaran, Bandungan, Semarang. “Spirit dari alam itu yang aku ambil. Lapisan tanah seperti rahim perempuan,” ujar Fitri, Jumat, 25 November lalu.
Karya Fitri itu berangkat dari pengalamannya tumbuh di lereng Ungaran dari bocah hingga dewasa. Sebelum pindah ke Surakarta bersama orang tuanya, Fitri tinggal di Desa Sumberahayu, Ungaran. Dia akrab dengan kehidupan perdesaan. Dia kerap mandi di sungai, bermain dengan kerbau di kandang, berkeliaran di sawah, menghidu aroma belerang yang menyengat, dan menikmati kesegaran air.
Film tari karya Fitri berjudul "Arus Bawah dalam Gelombang Merah" saat pembukaan Durga Dance Film Festival, 24 November 2022. Dok. Panitia
Hal-hal personal yang dialami tubuhnya itulah yang ia jadikan pijakan untuk membuat koreografi bertema Durga. Pengalaman itu agaknya membuat dia terlihat tidak kaku, tidak punya rasa takut terhadap tebing-tebing tinggi, uap belerang, dan gemuruh yang muncul di sana. Spirit perempuan yang tangguh merasuk ke tubuh Fitri.
Yang menarik adalah interaksinya dengan kawanan kerbau dari lereng Desa Ungaran, tak jauh dari kawah Candi Gedong Songo. Di desa, kerbau membantu petani membajak sawah sebelum ditanami padi. Visual detail mata kerbau dengan tanduknya yang berhadapan dengan mata berpulas merah seakan-akan menggambarkan keduanya tengah berperang. Tapi ada adegan yang menunjukkan mereka bersahabat. Fitri berjalan di belakang rombongan kerbau seperti gembala.
Kerbau dalam kisah Durga menyimbolkan Mahisasura, musuh Durga yang bisa ditundukkan. Bagi Fitri, kerbau dalam karya itu punya sifat cerdik dan tubuhnya menggambarkan kesuburan. Durga dan Mahisasura menggambarkan keseimbangan, yakni baik dan buruk. Tak ada yang menguasai dan dikuasai. Dia menafsirkan keseimbangan itu sebagai simbol penggabungan kekuatan maskulinitas dan keibuan yang penuh kasih.
Durga menggambarkan kesatuan energi para dewa yang membentuk gelombang api yang memancar lalu pecah dan menjadi sosok perempuan, yakni Durga. Dia dipercaya sebagai sesuatu yang kuat, tenang, dan damai. Gaun merah menyala yang Fitri kenakan itu menyimbolkan gelombang api. “Wujud api, semangat, energi Durga,” tuturnya.
Sementara itu, kapak mewakili alat pertanian yang biasa digunakan masyarakat agraris di perdesaan. Upaya mendapatkan visual yang tajam tak mudah. Para juru kamera harus berdiri di gigir dan tubir tebing yang licin karena ditumbuhi lumut. Bila tidak hati-hati, mereka bisa tergelincir dan jatuh. Fitri dan segenap tim mulai datang ke sana sebelum matahari terbit.
Pengambilan gambar itu difokuskan pada ketenangan Fitri dalam posisi diam. Karakter itulah yang ditonjolkan dalam sinematografi tersebut. Kamera tak banyak bergerak dan hanya mengikuti tubuh Fitri yang dihujani uap belerang.
Kejutan ditunggu dalam pertunjukan itu, yakni adegan Fitri Setyaningsih menggerakkan kapak untuk menebas leher kerbau. Klimaks itu barangkali akan menambah tragis sebuah pertunjukan. Gambaran akan penderitaan karena peperangan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo