Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIANG itu, di pinggir parit, di balik semak-semak dan rumput.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Eeehh…. Hheehhh…. Hheeehhh…! Aaahh!”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Hheehhh…. Hheeehhh…! Sialan kamu, Benito! Sudah kubilang, itu pepaya jangan dimakan. Jangan sekali-kali! Tapi kamu nekat! Sekarang, lihat ini!”
“…Kenapa aku yang disalahkan, Gonzalo? Kita sudah keliling dari rumah ke rumah sejak pagi, tapi selalu disuguhkan…. Ya, pepaya! Sudah disiapkan, masak tidak dimakan?”
“Hheehhh…. Hheeehhh…! Disuguhkan ya disuguhkan. Tapi kalau barangnya jelek begitu, masak mesti dimakan?!”
“…Lalu?”
“…Ah, dasar kamu yang rakus! Selalu beralasan sungkan!”
“Lho, kenapa aku lagi yang salah? Eh, kalau kamu yakin itu pepaya sudah jelek, kenapa dimakan? Kenapa ikut-ikutan makan?”
“Ah, dasar kamu mau menang sendiri…. Aduh! Hheehhh…. Hheeehhh…. Hheeehhhh!”
Dari jalan tanah, di atas parit dan di balik semak-semak, terdengar suara orang mengaduh.
…..
“Gonzalo, kenapa hari ini kita terus disuguhkan pepaya ya?”
“Maksud kamu?”
“Aku tidak paham! Sejak pagi kita keliling dari rumah ke rumah, untuk mendata kependudukan, tapi selalu disuguhkan pepaya. Aku tahu, daerah ini berkapur. Tidak banyak yang bisa tumbuh. Selain pepaya, ya pisang dan jagung, meski aku mesti bilang itu pisang tidak enak! Bijinya besar-besar. Aku juga tahu, penduduk di sini ramah-ramah. Kalau kita mampir, meski hanya sebentar, pasti disuguhkan sesuatu. Tapi kenapa hari ini kita selalu disuguhkan pepaya?”
“Mana aku tahu…. Eeehh…. Hheehhh…. Hheeehhh…! Aaahh!”
“Buset, Gonzalo! Kau makan apa semalam…?”
Hening sejenak. Dari jalan tanah, di atas parit dan di balik semak-semak, terdengar suara plung beberapa kali.
…..
“Soal ini mesti dibahas, Gonzalo!”
“Maksud kamu…?”
“Begini. Seperti yang kubilang, di desa ini, selain pepaya, mestinya ada pisang dan jagung. Tapi kalau sejak pagi, kita sebagai mahasiswa yang menjalankan program pengabdian masyarakat di sini, dan sering dianggap Orang Besar….”
“Orang Besar, katamu?”
“Ya! Kalau sejak pagi kita selalu disuguhkan pepaya, padahal bisa yang lain, itu berarti ada yang tidak benar. Soal ini mesti dibahas dalam kelompok, dan setelah itu… mungkin kita bikin laporan ke wali kota.”
“Ngawur! Kenapa soal ini mesti dibahas? Apa relevansinya? Apa… apa karena kamu sakit perut?”
“Bukan, bukan itu! Kita perlu mempertanyakan tingkat kesejahteraan masyarakat di sini. Kita perlu mengorek data, lalu fakta di lapangan….”
“Oke, oke! Anggap soal ini dibahas dalam kelompok, tapi setelah itu kenapa mesti bikin laporan ke wali kota? Mestinya soal ini diteruskan ke Koordinator Desa, lalu ke Koordinator Wilayah. Itu pun dengan catatan, setelah dibahas, ditemukan kejanggalan. Kalau Koordes dan Koorwil setuju, atas nama Lembaga Pengabdian Masyarakat di kampus kita, kita dorong ke ketuanya, yaitu Pak Edson Duarte. Kalau beliau juga setuju, baru kita pikirkan cara ke wali kota.”
“Itu kelewat bertele-tele….”
“Tapi itu prosedurnya! Kamu jangan bikin kasus, kayak si Ivone tempo hari! Maksudku, Ivone Herrera. Itu orang langsung tulis surat ke wali kota, minta jagung sekian ton, padahal cuma untuk program dusun alias komunitas. Menteng-mentang dia wakil ketua Senat, sekaligus Koorwil di wilayah lain. Jadi dia pikir bisa bertindak semaunya! Meskipun jagung itu untuk penduduk juga, tapi….”
“Ya! Lalu wali kota ‘mengadu’ ke Pak Edson Duarte. Pak Edson datang ke lokasi dan menegur langsung, meminta program itu diubah. Kalau tidak, satu kelompok bakal ditarik…. Aduh! Eeehh…. Hheehhh….”
“Bagus kalau kamu tahu! …Benito, ayolah, kita cuma menjalankan program pengabdian masyarakat di sini. Buat apa berulah yang macam-macam. Kalau kamu mau seperti si Ivone, kamu butuh dukungan tidak sedikit….”
“Hheehhh…. Hheeehhh…! Kenapa…. Hhhh…. Pak Edson… begitu ya? Aku yakin, si Ivone tak mungkin main-main.”
“Kita tak bisa terlalu menyalahkan Pak Edson. Masalahnya rumit. Dalam soal ini, Pak Edson juga bekerja di bawah tekanan. Kita bisa pengabdian masyarakat di sini karena perkenan wali kota. Ada kesepakatan, di samping kontrak beberapa tahun dengan universitas. Setelah itu kontrak bisa diperpanjang, bisa juga tidak. Jika tidak diperpanjang, program pengabdian masyarakat akan dialihkan ke universitas lain dan kita mesti mencari lokasi baru. Tapi harap diingat, Pak Edson juga banyak membela kita. Contohnya, waktu Juan Luis kena gasak kepalanya gara-gara membela tim yang dicurangi saat lomba voli desa, Pak Edson yang langsung turun tangan. Pak Edson yang meminta ke wali kota agar pelakunya diusut, karena kepala desa cenderung mendiamkan. Jika tidak, seluruh mahasiswa akan ditarik dan kontrak di wilayah ini…. Hhhh!”
“Ya, aku tahu kasus itu.”
“Sejak dulu urusan dengan pemerintah memang tak pernah tidak rumit.”
“Hheeehhh…! Tapi wali kota…. Hhhh… masih bisa tertawa-tawa… dengan Pak Edson…. Eeehh! Hheeehhh… waktu meresmikan jalan desa…. Hhh… yang kita bikin…. Aaahhh! Aaahh!”
“Sialan! Kamu…. Aduh! Eeehh…. Hheeehhh!”
Hening lagi. Benito Vasquez, salah satu mahasiswa, menghapus keringat di dahinya, sementara Gonzalo Arteaga, mahasiswa yang lain, meringis sambil menekan-nekan perut.
“Tapi kudengar, subsidi jagung untuk beberapa desa di wilayah ini sudah turun.”
“Sudah, Benito! Hheeehhh… tak usah bicara soal itu!”
“Tapi ini benar, Gonzalo! Subsidi jagung dari pusat sudah turun! Malah kudengar, sudah setengah tahun yang lalu.”
“Sebentar! Eeehh…. Hheehhh…. Hheeehhh!”
“Mungkin karena itu si Ivone jadi berani meminta pada wali kota. Kalau memang sudah turun setengah tahun, mestinya sudah didistribusikan. Tapi hingga hari ini banyak penduduk susah mendapatkan jagung. Belum lagi mereka yang sejak semula tak bisa membeli jagung. Mana sekarang kemarau panjang! Air jadi susah. Ladang-ladang penduduk kekurangan air. Bahkan rumput di balai desa juga ikut mengering….”
“Sebentar! Eeehh…. Hheehhh…. Hheeehhh! Aaahh!”
Hening lagi.
…..
“Benito, dari mana kamu tahu soal jagung itu?”
“Dari wartawan yang memotret kegiatan kita tempo hari.”
“Hmm. Lalu?”
“…Lalu?”
“Ya. Lalu?”
“….”
“Lalu kamu menduga ada korupsi kolusi di balik semua ini. Begitu?”
“Yah…. Tak tahulah, Gonzalo!”
“Benito, jangan segampang itu berpikir soal korupsi kolusi. Jangan begitu saja menilai sesuatu sebagai korupsi kolusi…. Aku tahu belakangan ini korupsi kolusi sedang marak. Hampir tiap hari televisi memberitakan peristiwa korupsi kolusi. Entah yang dilakukan pejabat di kabinet, pejabat legislatif atau yudikatif, perusahaan negara, atau perusahaan dan perorangan swasta yang punya afiliasi dengan negara. Ada kasus yang disiarkan sampai berjilid-jilid, sejak penangkapan sampai vonis di pengadilan. Tapi ada juga kasus yang ditutup-tutupi, dan pemberitaannya dimanipulasi, agar perhatian masyarakat beralih ke kasus lain. Kita sudah kenyang dengan semua itu….”
“Lalu?”
“…Lalu?”
“Ya. Lalu?”
“…Kamu mau membahas soal ini dalam kelompok? Begitu?”
“Yaaah….”
“Benito, please, dengarkan aku! Dalam soal ini, mungkin masalahnya tak sesederhana yang kamu duga. Tapi sebetulnya apa yang kamu permasalahkan? Subsidi jagung yang sudah turun dan tampaknya belum didistribusikan, atau korupsi kolusi…. Menurut aku, yang mana pun, tak ada bedanya. Kamu boleh menduga ada yang tidak beres. Kamu boleh mempertanyakan ke mana jagung subsidi itu atau kenapa belum didistribusikan. Kamu juga boleh menduga ada korupsi kolusi di sini. Tapi sebagai mahasiswa, kita tak bisa bicara hanya dengan dugaan. Kita mesti bicara dengan fakta dan data….”
“Jadi?”
“Kalau kamu tetap membawa soal ini ke Koordinator Kelompok, aku tak akan bicara lagi. Tapi, please, ikuti prosedur atau alur yang kubilang…. Benito, ayolah, kita cuma menjalankan program pengabdian masyarakat di sini. Sepuluh hari lagi kita balik ke kampus, dan selanjutnya kita sibuk dengan rutinitas kuliah dan beberapa rekan akan menempuh Tugas Akhir. Jadi, kalau kamu mampu, kumpulkan data selama sepuluh hari itu, dan… yang paling penting, tak usah berpikir soal demo segala macam. Tak usah ikut-ikutan, seperti rekan-rekan kita di ibu kota. Dalam soal ini, apa relevansinya? Buat apa, kalau pada akhirnya hanya bentrok dengan aparat keamanan atau dimanfaatkan orang-orang untuk bikin keributan…. Aduh! Eeehh…. Hheeehhh!”
“Jadi kamu mau bilang, kita ini selalu dimanfaatkan. Begitu?”
“…Benito, aku kira kamu bisa menilai. Waktu kumpul-kumpul dengan beberapa rekan di balai desa, aku dengar senior-senior kita berkata bahwa mahasiswa itu hanya dijadikan alat politik. Apalagi sekarang, ketika suhu politik sedang memanas. Betul tidaknya… aku kira kamu bisa menilai…. Hhh! Hheehhh…. Hheeehhh…. Aaahh!”
“….”
“…Benito, dalam soal ini kamu tak usah latah atau meniru rekan-rekan kita di ibu kota, yang kalau bisa dan dimungkinkan, mau berdemo setiap hari. Mungkin mereka pikir, mumpung perizinan untuk berdemo tidak lagi dipersulit, karena aturan baru itu. Sekarang apa pun, kalau bisa, dijadikan alasan untuk berdemo. Entah itu rancangan undang-undang yang belum disahkan, aturan ketenagakerjaan, kenaikan harga kebutuhan pokok, penyesuaian upah minimum, apa saja…. Masa iya, demo dari kemarin-kemarin sampai hari ini belum selesai juga, seolah sudah tak ada yang beres di negeri ini.”
“….”
“Menurutku, semua ada batasnya. Bukannya aku antireformasi. Tapi apa memang itu satu-satunya cara menyampaikan aspirasi, dengan turun ke jalan, berteriak di depan Istana Presiden atau Gedung Parlemen, lalu salah-salah disemprot dengan water cannon atau bentrok dengan aparat keamanan, lalu berdarah-darah dan dirawat di rumah sakit? Apa tak ada cara yang lebih elegan? Apalagi sekarang masyarakat suka resah tiap kali ada yang berdemo. Masyarakat masih trauma dengan peristiwa setahun lalu, ketika demo-demo berlanjut dengan kerusuhan dan perusakan. Apa ini yang disebut demokrasi?”
“Lalu… demokrasi itu apa? Eeehh…. Hheehhh…. Hheeehhh!”
“…Benito, kita ini mahasiswa. Kata orang, intelektual masa depan. Jadi mestinya kita bisa menjadi panutan. Kita mesti ikut menciptakan iklim yang lebih sehat…. Benito, dengarkan aku! Aku tahu apa isi kepalamu. Karena itu aku harus mengingatkan, dan kamu, dengarkan baik-baik! Sekarang ini, ibaratnya, kita hanya ikan-ikan kecil. Jangan pernah berpikir bahwa reformasi setahun lalu adalah berkat perjuangan kita. Jangan sekali-kali berpikir begitu! Waktu itu pemerintah makin represif, aktivis-aktivis prodemokrasi bergerak di bawah tanah, dan berbagai elemen masyarakat bergerak, tapi hanya perjuangan mahasiswa yang didengung-dengungkan. Waktu itu ada pergolakan, ada perpecahan dalam tubuh angkatan bersenjata, dan pemerintah gagal menyatukan kekuatan elite politik, tapi lagi-lagi perjuangan mahasiswa yang didengung-dengungkan….”
“Hhh…. Hheehhh! Hheeehhh….”
“…Kita hanya ikan-ikan kecil, Benito! Untuk apa ikan kecil melawan ikan yang lebih besar? Setahun lalu perjuangan kita mendapat banyak dukungan. Tapi setelah rezim berkuasa runtuh, dukungan-dukungan tak ada lagi. Waktu kita mau bertahan di Gedung Parlemen sampai Presiden baru terpilih, aparat keamanan mengusir kita. Setelah rezim baru terbentuk, dan ternyata hanya perpanjangan tangan rezim sebelumnya, kita turun ke jalan dan aparat keamanan menghadang kita…. Politik itu kotor, Benito! Karena itu, orang tua kita selalu bilang, tak usah ikut-ikutan politik. Politik itu jahat!”
“Sebentar, Gonzalo…. Eeehh! Hheehhh…. Hheeehhh…. Aaahh!”
Gonzalo teringat peristiwa setahun yang lalu. Dia sedang di ibu kota, mewakili senat mahasiswa dari kampusnya. Siang hari itu terik, ketika para mahasiswa turun ke jalan dan berniat ke Gedung Parlemen. Tetapi 100 meter dari kampus, mereka dihadang aparat keamanan bersenjata lengkap. Lalu terjadi negosiasi, tapi para mahasiswa tetap dilarang berparade ke Gedung Parlemen. Akhirnya mereka membuat panggung dadakan di tengah jalan, dan berkumpul dalam radius 100 meter dari kampus.
Beberapa orang tampil berorasi di panggung itu. Umumnya adalah mahasiswa, selain dua atau tiga akademisi. Menjelang sore hari, ada yang melempar batu ke arah aparat keamanan, yang sontak bergerak maju dan bentrok dengan para mahasiswa. Beberapa mahasiswa menjadi korban dalam peristiwa itu.
Esok hari, setelah tengah hari, muncul gerombolan orang tak dikenal di beberapa lokasi di ibu kota, yang mulai menjarah dan merusak. Selama dua hari, hampir tak ada aparat keamanan terlihat di jalan-jalan di ibu kota, sehingga penjarahan dan perusakan terus terjadi. Baru pada hari ketiga aparat keamanan bersenjata muncul dan menyisir seisi kota.
Setelah itu, demo mahasiswa yang mulanya sporadis mulai membesar. Berbagai lapisan masyarakat ikut turun ke jalan. Para akademisi, tokoh masyarakat, dan tokoh-tokoh oposisi menyerukan reformasi. Lalu para mahasiswa menduduki Gedung Parlemen. Seminggu kemudian, dalam situasi tak menentu, Presiden menyatakan berhenti.
Hari ini, setahun kemudian, Gonzalo teringat kata-kata Lu Xun, penulis Tiongkok itu, bahwa “mereka yang belum pernah duduk dalam kekuasaan meneriakkan reformasi”.
“…Apalagi kalau yang dipersoalkan itu korupsi kolusi, yang sudah membudaya dan berakar kuat. Kalau mau membersihkan, lakukan dari paling atas terus ke bawah. Tapi tetap butuh waktu, yang tidak sebentar.”
“Tapi, Gonzalo…. Seorang pengamat politik mengatakan, politik itu ibarat kertas putih polos. Tergantung apa yang akan dituliskan di situ.”
“Kamu percaya? Aduh….”
Hening lagi. Dari jalan tanah, di atas parit dan di balik semak-semak, terdengar suara mendesah. Lalu perlahan hening kembali.
“Benito, sudah selesai? Sudah…? Kalau sudah, ayo kita cepat pergi dari tempat ini!”
“Sebentar lagi, Gonzalo….”
“Ah, payah kamu! Ayo, berdiri! Tak enak dilihat penduduk kalau kita nongkrong di sini. Kalau belum puas, nanti teruskan di rumah. Kamu sudah akrab dengan bau di kakus kan?”
Benito membayangkan rest room, yang disebut kakus, di halaman belakang rumah penduduk yang ditempati mereka itu. Mereka menggali tanah sedalam kurang lebih 1,5 meter, lalu menutup muka tanah dengan perkuatan beton bertulang dan hanya menyisakan lubang sebesar lubang kloset. Sebagai pelindung, dipasang dinding dan atap dari papan kayu.
“Ayo berdiri, dan pakai ini!”
Gonzalo menyodorkan selembar kertas yang ditarik dari papan penjepit kertasnya.
“Kenapa pakai ini?”
“Terserah, kalau kamu punya cara lain!”
Benito cepat-cepat ‘berbenah’, sambil memandang parit di bawahnya. Sebetulnya parit itu adalah salah satu jalur irigasi untuk mengairi ladang-ladang penduduk, yang dibangun pemerintah dari bendungan di bukit. Parit itu berkelok-kelok. Gonzalo dan Benito pernah berniat menyusuri salah satu parit, untuk menemukan hilirnya, karena mereka mendapati ladang-ladang penduduk kekurangan air. Tapi niat itu sampai sekarang tinggal niat.
Gonzalo dan Benito berdiri dan merayap ke atas. Sesampai di jalan tanah, mereka menengok ke kiri-kanan, lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Sebetulnya, semula mereka mau menggali lubang di sekitar jalan tanah, tapi sudah tidak tahan, di samping memang tak ada tempat yang cukup terlindung di jalan tanah itu. Akhirnya mereka memilih berjongkok di atas parit, di balik semak-semak dan di bawah jalan tanah. Sementara itu, di pinggir parit tampak benda-benda tak berbentuk berwarna kuning terapung-apung, terbawa arus entah ke mana….
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo